Jakarta (ANTARA) - Target untuk bisa mewujudkan kekebalan komunitas di Indonesia terbentur dengan beragam persoalan yang sudah bisa ditebak sebelumnya.

Salah satunya soal kehalalan vaksin yang hampir pasti tak terelakkan mengemuka ketika vaksin merupakan produksi dari luar negeri.

Namun, berbagai pendekatan jalan tengah kemudian diambil saat dalam kondisi darurat termasuk pandemi, solusi diperlukan dalam waktu yang sangat cepat.

Di luar semua itu, berbagai pertimbangan terkait vaksin untuk masyarakat di tanah air pun diharapkan dipilih dari kategori yang memang benar-benar aman, halal, dan suci.

Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PKB di Komisi VI DPR RI, Nasim Khan misalnya berharap Pemerintah dan BUMN di Sektor Farmasi (PT Bio Farma (Persero), PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk) untuk tetap bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek, tak terkecuali tentang unsur halal-haram ketika akan menyediakan vaksin COVID-19. Hal ini perlu dilakukan, supaya tak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Pasalnya, apabila penyediaan vaksin dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek halal haram, masyarakat bisa saja semakin ragu untuk mengikuti program vaksin dan malah berpotensi menghambat kelanjutan dan kelancaran program vaksinasi.

Untuk itu, hal ini pun perlu didorong agar Pemerintah tetap berupaya menyediakan vaksin COVID-19 yang aman, berkualitas, memiliki efektivitas, halal, serta suci.

Sebelumnya, LPPOM MUI menemukan bukti bahwa vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca dalam proses produksinya menggunakan menggunakan unsur tak suci dan haram lantaran mengandung tripsin yang berasal dari pankreas babi.

Dalam perkembangannya Komisi Fatwa pun memutuskan vaksin tersebut haram, kendati demikian, vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca itu tetap boleh digunakan karena adanya unsur darurat dan mendesak demi mengatasi pandemi COVID-19.

Sebagai salah satu fraksi di DPR, PKB ingin memperjuangkan prinsip-prinsip dan kepentingan semua umat, dan meminta pemerintah menjalankan prinsip kehati-hatian (saat menyediakan vaksin), agar (nantinya) tidak mubadzir dan tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

Pada akhirnya memang semua pihak memahami fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca tersebut. Akan tetapi, vaksin halal dan suci dalam segala proses idealnya bisa diprioritaskan supaya bisa diterima semua masyarakat dan tidak menimbulkan kontroversi.

Hingga kini tercatat Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 420 juta dosis vaksin untuk memenuhi kebutuhan 181,5 juta sasaran vaksinasi. Untuk itu, Pemerintah tak hanya mengandalkan pasokan Impor vaksin dari satu produsen melainkan menggenjot kemampuan dalam negeri untuk bisa memproduksi vaksin.

Banyak yang percaya kemampuan Pemerintah dan BUMN Sektor Farmasi dalam mengakses vaksin COVID-19 yang aman, berkualitas, memiliki efektivitas dan halal serta suci yang memang tak diragukan lagi.

Meski begitu, jaminan kepastian halal dan suci dalam seluruh proses produksinya sangat diharapkan khususnya bagi kalangan umat Islam di Tanah Air

Baca juga: Humaniora kemarin, warga jangan pilih-pilih vaksin hingga boleh PTM

Baca juga: Pemerintah minta masyarakat tidak pilih-pilih vaksin COVID-19


Vaksin Merah Putih

Selain mengandalkan pasokan impor, Pemerintah diharapkan juga memprioritaskan pengadaan vaksin dari dalam negeri seperti misalnya untuk vaksin merah putih.

Untuk mempercepat proses pengembangan Vaksin Merah Putih itu, Nashim Khan mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN, BUMN Sektor Farmasi dan lembaga terkait untuk terus melakukan penguatan koordinasi dan kolaborasi.

Sementara itu, terkait sudah adanya stok vaksin produksi AstraZeneca yang kini masih dimiliki pemerintah, diusulkan agar vaksin tersebut segera digunakan masyarakat, terlebih mempertimbangkan masa kedaluarsanya yang memang pendek.

Keputusan Pemerintah untuk memberikan vaksin secara gratis kepada masyarakatnya juga perlu mendapatkan dukungan yang optimal.

Namun dalam pelaksanaannya juga perlu dilakukan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat secara transparan agar tidak menimbulkan kontroversi dalam implementasinya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa membolehkan penggunaan vaksin produksi AstraZeneca dengan pertimbangan keadaan darurat.

Berdasarkan hasil kajian Komisi Fatwa MUI vaksin Astrazeneca itu mengandung tripsin (enzim babi) yang akhirnya membuat sidang Komisi Fatwa menentukan bahwa vaksin tersebut haram, namun tetap boleh digunakan karena keadaannya darurat.

Pihak AstraZeneca sendiri awalnya sempat mengatakan bahwa proses tersebut tidak ada kandungan babi. Namun, LPPOM MUI melalui kajian ilmiah menemukan fakta bahwa ada kandungan babi.

Baca juga: MUI tegaskan kehalalan dari vaksin COVID-19 Sinovac

Baca juga: Ketika ulama Aceh tak ragukan kehalalan vaksin COVID-19


Dipastikan Aman

Di luar isu vaksin yang berkembang di kalangan masyarakat, Pemerintah terus memonitoring perkembangan isu vaksinasi menggunakan vaksin AstraZaneca.

Hal ini menyusul laporan di beberapa negara Eropa yang mengaku menemukan ada Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) berupa penggumpalan darah dari target vaksinasi akibat vaksin AstraZaneca. Sehingga negara-negara tersebut menghentikan pemakaian vaksin tersebut.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito kemudian menjelaskan untuk vaksin AstraZaneca yang sudah tiba di Indonesia aman untuk digunakan. Dan hal ini sesuai dengan pernyataan European Medicine Agency (EMA) yang disampaikan pada Kamis (11/3/2021) lalu.

Saat ini, Wiku memastikan tidak ada indikasi bahwa vaksinasi AstraZaneca menyebabkan pembekuan darah. Hal ini juga tidak terdaftar sebagai efek samping AstraZaneca.

Berdasarkan fakta, lebih dari 10 juta vaksin AstraZaneca yang telah digunakan tidak menunjukkan bukti risiko emboli paru atau trombosis vena dalam golongan usia, jenis kelamin dan golongan lainnya di negara-negara yang menggunakannya.

Dari fakta tersebut jumlah kejadian sejenis ini secara signifikan lebih rendah daripada penerima suntikan dibandingkan angka kejadian pada masyarakat umum.

Dan untuk KIPI dari vaksin apapun, terus dipantau oleh fasilitas kesehatan pelaksana vaksinasi. Dan diawasi secara terpusat oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (POM), dan selanjutnya dianalisis lebih lanjut oleh Komnas KIPI.

Tarik ulur halal haram vaksin sejatinya merupakan masalah yang wajar terjadi namun bagaimana semua pihak bisa sepakat untuk mencari jalan tengah menjadi kunci tersendiri. Itu semata untuk segera mengakhiri pandemi yang mengubah cara hidup seluruh sendi.

Baca juga: AstraZeneca menyatakan vaksinnya tidak mengandung produk hewani

Baca juga: Wapres tegaskan ketentuan vaksin bukan kehalalan melainkan kebolehan


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021