Magelang (ANTARA News) - Salah seorang peraih Maarif Award 2010, Romo Vincentius Kirjito, Pr., mengatakan bahwa penghargaan yang diterimanya meneguhkan kesadaran komunitas Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terhadap kearifan lokal mereka karena kebudayaannya bernilai pendidikan untuk pembangunan karakter bangsa.

"Semangat pluralitas yang mereka kembangkan selama ini dan kearifan lokal yang mereka lestarikan mampu merespons tantangan hidup, dan menjadi poin penting bagi pembangunan karakter bangsa," katanya ketika dihubungi dari Magelang, Kamis malam.

Romo Kirjito, budayawan Merapi yang juga Kepala Gereja Katolik Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, di lereng barat Gunung Merapi itu salah satu di antara dua penerima "Maarif Award 2010" yang diselenggarakan oleh Maarif Institute.

Penerimaan penghargaan itu di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis malam, oleh pendiri Maarif Institute, Syafi`i Maarif. Seorang penerima lainnya adalah Habib S. Ali Al-Habsyi berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan yang juga telah dinilai oleh Tim Kerja Maarif Award 2010 telah mengabdikan diri, memberdayakan komunitas setempat.

Kirjito mengaku, ditemani Penasihat Unio (Persaudaraan Para Imam Praja) Keuskupan Agung Semarang yang juga pastor Gereja Tumpang, Kecamatan Sawangan, Magelang, Romo Modestus Supriyanto, Pr., Kepala Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Yatin, dan seorang petani Merapi, Gimin, saat menerima penghargaan itu. Kardinal Julius Darmaatmadja S.J., juga hadir pada kesempatan itu.

"Penghargaan ini untuk masyarakat Merapi yang selama ini, dengan kesederhanaan sebagai orang desa dan gunung, telah bergulat menghadapi berbagai tantangan zaman," katanya.

Ia menyebut penghargaan itu sebagai pupuk atas semangat perjuangan masyarakat Merapi dalam menggali kearifan lokalnya.

"Seperti tanaman yang disirami dan dipupuk. Ini (Maarif Award, red.) menjadi dukungan yang luar biasa," katanya.

Ia mengaku tidak menyangka bahwa kiprahnya selama ini bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat terutama di kawasan Merapi ternyata mendapat perhatian besar dari Maarif Institute yang didirikan tokoh nasional, budayawan, dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafi`i Maarif itu.

"Apa yang saya lakukan kecil-kecilan saja, ternyata ada yang memperhatikan dari jauh, oleh lembaga independen dengan pengurus yang kredibel, dewan juri yang independen," katanya.

Supriyanto mengatakan, sejak sekitar 10 tahun terakhir, Romo Kirjito (57) memimpin sekitar tiga ribu umat Katolik lereng barat Gunung Merapi di Kabupaten Magelang dan sebagian kecil di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.

Selain sebagai rohaniwan yang memimpin umat Katolik setempat, Kirjito juga bergaul secara akrab dengan berbagai kalangan masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial, kebudayaan, kemanusiaan, dan perdamaian.

Kirjito, katanya, bersama-sama masyarakat setempat antara lain mengembangkan kebudayaan lokal, kesenian rakyat, pemberdayaan masyarakat, gerakan peletarian lingkungan dan cinta air di kawasan lereng Merapi.

Ia mengatakan, selama beberapa tahun terakhir ini, Kirjito mengembangkan Program "Live In" di Desa Mangunsuko dan Ngargomulyo, Kecamatan Dukun yang ternyata menjadi daya tarik berbagai kalangan terutama para siswa berasal dari sejumlah kota besar.

Peserta program itu tinggal selama beberapa hari di rumah-rumah penduduk setempat. Mereka bergaul, menikmati keseharian hidup petani, berkesenian bersama komunitas petani setempat, belajar cinta air dan alam Merapi.

Ia mengemukakan, pemberian penghargaan itu membuktikan bahwa tindakan nyata yang bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan dan perdamaian oleh seseorang di setiap tempat, mampu mengantar seseorang itu menjadi tokoh dan teladan atas banyak orang.

"Ini menjadi pendorong kerja kemanusiaan secara berkelanjutan. Menjadi tokoh tidak harus memiliki nama besar dan bergaya hidup mewah tetapi sikap keseharian yang sederhana itu juga salah satu karakter ketokohan. Di gunung pun orang bisa berkiprah yang bermanfaat bagi upaya perdamaian dan kemanusiaan, yang penting ada tindakan tulus dan nyata. Harus selalu disadari bahwa desa adalah `ibu`," katanya.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010