... Revisi itu poinnya seperti TNI bisa terlibat dalam tindak pidana terorisme...
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR, Saifullah Tamliha, menilai butuh kerjasama antar-institusi negara yang berwenang untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme, yaitu dengan memperkuat fungsi intelijen sebagai deteksi awal potensi tindakan teror.

"Kita harap pencegahan terhadap tindak pidana terorisme bisa dilakukan sedini mungkin tanpa terlebih dahulu mereka (teroris) melakukan teror," kata Tamliha dalam diskusi bertajuk "Lawan Geliat Radikal-Terorisme di Tanah Air", di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

Indonesia memiliki berbagai institusi yang bergiat intelijen sesuai tugas pokok masing-masing, di antaranya Badan Intelijen Strategis TNI, jBadan Intelijen Negara, Jaksa Agung Muda Intelijen, BNPT, dan Intelkam Kepolisian Indonesia.

Baca juga: Ridlwan Habib: Perpres TNI atasi terorisme mendesak disahkan

Sebelum ada BNPT, BAIS TNI memiliki Desk Antiteror yang memiliki jejaring serta bekerja sama dengan jajaran teritorial TNI mulai dari tingkat bintara pembina desa hingga Kodam sebagaimana juga pada aspek maritim dan kedirgantaraan nasional. Pemeo yang kondang pada masa itu adalah "jarum jatuh di pelosok bisa terdengar hingga ke pusat."

TNI juga memiliki berbagai satuan khusus antiteror dan kontra terorisme, di antaranya Detasemen Jalamangkara Korps Marinir TNI AL, Satuan 90 Bravo Komando Pasukan Khas TNI AU, dan Komando Pasukan Khusus TNI AD. Satuan-satuan ini juga memiliki kemampuan perang kota hingga gerilya dan anti gerilya. 

Baca juga: BNPT akan libatkan TNI secara proporsional untuk tanggulangi terorisme

Ia menilai konstitusi sudah memberikan kewenangan penegakan hukum kepada polisi menangkap seorang yang terindikasi melakukan teror.

"Saya yakin mereka memiliki datanya dan tinggal gunakan kewenangan saja, dan kementerian/lembaga lakukan pembinaan misalnya program-program deradikalisasi," ujarnya.

Ia mengatakan, pada UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah direvisi pada 2018 karena aparat tidak bisa menangkap seorang sebelum yang bersangkutan melakukan aksi teror.

Baca juga: DPR serahkan masukan Perpres pelibatan TNI dalam tangani terorisme

Menurut dia, saat itu pemerintah menginginkan hal yang lebih maju misalnya kalau seorang sudah terindikasi sebagai jaringan teror, aparat bisa menginterogasi orang yang diduga akan melakukan teror.

"Revisi itu poinnya seperti TNI bisa terlibat dalam tindak pidana terorisme namun ada masalah karena harus diatur dalam Peraturan Presiden tentang keterlibatan dalam operasi militer selain perang," katanya.

Baca juga: DPR gelar rapat gabungan bahas perpres pelibatan TNI tangani terorisme

Anggaran itu untuk melakukan operasi militer saat perang yang menyangkut tindak pidana terorisme, itu salah satu waktu dulu adalah dibiayai APBD, APBN dan sumber lain yang tidak mengikat.

Menurut dia, rancangan Perpres itu sempat dibahas di Komisi I DPR namun tidak disetujui, salah satunya terkait anggaran untuk melakukan OMSP karena dibebankan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Baca juga: Akademisi sebut pelibatan TNI tangani terorisme perlu didukung

Tamliha menjelaskan, tiap daerah memiliki karakter dan pendapatan yang berbeda-beda karena tidak semua daerah mampu membiayai pengeluaran di luar kepentingan pembangunan daerah.

"Kemudian sumber lain yang tidak mengikat, kami tidak ingin TNI 'keluyuran' cari dana dengan alasan untuk ikut serta dalam upaya penindakan terhadap tindak pidana terorisme. Karena dalam UU TNI mengatur bahwa biaya anggaran institusi tersebut semuanya berasal dari APBN melalui Kementerian Pertahanan," ujarnya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021