Sentani (ANTARA News) - Penyelenggaraan Festival Danau Sentani (FDS) III hari ke dua di Pantai Wisata Kalkhote, Sentani Timur, Jayapura, Minggu, dimeriahkan dengan pagelaran tarian Penjemputan Roh Leluhur dari Kabupaten Asmat dan tarian Ambiaro dari Suku Walak Kabupaten Mamberamo Tengah.

Dari Sentani, ANTARA melaporkan, pagelaran seni tari dari kedua kabupaten tersebut mampu menyedot perhatian pengunjung FDS. Tidak sedikit pula diantara pengunjung tampak sejumlah wisatawan asing.

Tarian Penjemputan Roh Leluhur dibawakan puluhan lelaki dan perempuan Asmat. Tarian ini mengisahkan seorang anak laki-laki yang bepergian dari arah barat ke timur namun dalam perjalanan ia tidak diterima oleh penduduk pada setiap kampung yang ia datangi.

Tarian ini diawali dengan masuknya rombongan penari perempuan bersama empat lelaki yang memukul tifa. Para penari perempuan menunjukkan kebolehan mereka bergoyang mengikuti irama dan bunyi tifa yang bertalu-talu.

Beberapa saat kemudian, sekelompok lelaki Asmat dimana salah satu diantaranya dengan badan penuh lumpur hitam berelumpur masuk ke panggung dengan suara gemuruh.

Setiba di panggung, puluhan laki-laki Asmat tersebut bergoyang ria dengan goyangan khas suku Asmat.

Sebelum penampilan penari suku Asmat, 24 penari suku Walak Mamberamo Tengah yang terdiri atas 12 laki-laki dan 12 perempuan menampilkan atraksi tarian Ambiaro.

Pelatih tim penari suku Walak, Petrus Mabel mengatakan tarian Ambiaro yang artinya satu mengisahkan perjalanan orang Papua alias bangsa Melanesia dari daratan Asia, tepatnya di Yunan hingga mencapai Pulau Papua.

Menurut Petrus yang didampingi Kepala Suku Walak, Fanus Kanelak, leluhur orang Papua berlayar dari Yunan menuju Papau dengan melintasi Taiwan, Filipina dan Lautan Pasifik sampai akhirnya tiba di Papua Nugini (PNG).

Dari PNG, leluhur orang Papua melintas ke arah barat hingga tiba di Pulau Ifala dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Genyem.

Sesampai di Genyem, leluhur orang Papua lalu satu persatu tersebar ke berbagai tempat di Papua yang selanjutnya melahirkan sekitar 252 suku yang menghuni Tanah Papua dewasa ini.

"Karena kami berasal dari satu nenek moyang dan satu keturunan serta satu perjalanan sejarah, maka tarian ini mengajak semua suku yang ada di Papua untuk bersatu membangun Papua baru," kata Petrus.

"Tidak ada perbedaan antara orang gunung dan orang Pantai, kita semua adalah satu," tambah Petrus.

Para penari suku Walak juga melakonkan pembuatan api dengan cara menggesek batu dan kayu serta alang-alang kering (tenggan) sebagai yang diperbuat para leluhur mereka di masa lampau.

Suku Walak dengan jumlah penduduknya sekitar lebih dari 30 ribu jiwa saat ini mendiami sebagian Kabupaten Jayawijaya, sebagian Mamberamo Tengah dan sebagian lagi di Kabupaten Yalimo.

Warga suku ini mendiami Lembah Kobakma, Ilugwa, Erageam, Wolo dan Yalengga di pinggir Sungai Mamberamo yang merupakan sungai terbesar di Provinsi Papua.

Pagelaran seni dan budaya dalam memeriahkan FDS juga menampilkan atraksi kesenian dari sejumlah paguyuban Nusantara di Kabupaten Jayapura, diantaranya Paguyuban Jember, Ikatan Keluarga Toraja (IKT), Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), dan Kerukunan Keluarga Batak.

Kegiatan FDS III dibuka pada Sabtu (19/6) oleh Irjen Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Surya Yoga dan berlangsung hingga Rabu (23/6). (E015/A038)


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010