Jakarta (ANTARA News) - Anggota Badan Pengawas Keuangan Rizal Djalil mengatakan pemilik 21 rekening liar senilai Rp503 miliar di kementerian kesehatan berada di level bawah menteri.

"Tidak ada (setingkat menteri), level di bawahnya," katanya saat ditanya wartawan terkait pemilik rekening liar tersebut di Jakarta, Rabu. Ia menambahkan, 21 rekening liar tersebut atas nama perseorangan dan juga institusi.

Sementara itu, pihaknya mengendus kemungkinan korupsi di Kementerian Kesehatan atas laporan keuangannya 2009 yang dinilai disclaimer.

"Saya bilang tadi, sebagai auditor tentunya kita paham lah kalau sudah begini, cuman saya tidak bisa mengatakan pasti ada seperti itu (korupsi) tidak bisa, tapi bau-baunya sudah ada lah," katanya di Jakarta, Rabu ketika ditanya wartawan terkait indikasi korupsi dalam Kementerian Kesehatan.

Ia mengatakan, saat ini, pihaknya tengah mengadakan audit investigasi (pemeriksaan dengan tujuan tertentu) yang diperkirakan selesai pada Oktober 2010.

Ia menambahkan, pihaknya juga siap untuk bergandengan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. "BPK minta dan tak menutup kemungkinan untuk kerjasama dengan KPK," katanya.

Seperti diberitakan, dalam audit laporan keuangan negara 2009 Kementerian Keuangan, BPK menilai disclaimer. Hal ini karena didasarkan kepada sejumlah temuan yang tidak taat hukum dan terdapat banyak kejanggalan yang ditemukan BPK.

Seperti terdapat saldo dana untuk bantuan sosial sebesar Rp479 miliar yang tersimpan di Kantor Pos per 31 Desember 2009. Padahal dana tersebut seharusnya telah dipergunakan sesuai dengan program atau dikembalikan ke bendahara negara.

"Ini harusnya sudah dicairkan dalam bentuk program, tidak boleh disimpan karena menimbulkan pertanyaan bagaimana bunganya, siapa penanggungjawabnya. UU tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa tahun anggaran meliputi satu tahun sejak 1 Januari hingga 31 Desember. Itu melanggar UU," katanya.

Dana bansos itu antara lain untuk Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebesar Rp23,8 miliar, dana Program Pengembangan Desa Siaga Rp51 miliar, operasional Posyandu Rp67,9 miliar, dan pelatihan bidan desa Rp16,7 miliar.

Selain itu, BPK juga menemukan adanya 21 rekening liar senilai Rp503 miliar dalam bentuk dolar AS dan rupiah. Rekening liar tersebut tercatat atas nama institusi dan perorangan.

Disisi lain, BPK juga menemukan adanya aset-aset milik Kementerian Kesehatan yang disalahgunakan. Seperti tanah Rumah Sakit Jiwa Dr Marzuki Mahdi di Bogor dipakai untuk lapangan golf dengan status tidak jelas sampai saat ini.

"Sekarang sedang dalam proses hukum," katanya.

Kemudian, tanah Pusdiknakes BPPK Cilandak, tanah dan bangunan di Jalan Kimia Jakarta, tanah di Teuku Cik Ditiro, Menteng Jakarta Pusat, no 3, 5 dan 7 yang dimanfaatkan pihak lain tanpa ada perjanjian yang jelas.

Begitu pula ketidak jelasan aset tanah di Diponegoro seluas 7000 meter persegi, tanah Kementerian Kesehatan di Makasar Rp41miliar, tanah Poltekese seluas 10.500 meter persegi di Jalan Mojo no 33 Denpasar 10.500m2.

Selain itu tanah dan rumah dinas di Babakan Cianjur, Gunung Batu, Bandung yang digunakan pihak lain. Tanah Kementerian Kesehatan di Jalan Prof Usman no 40, tanah dan bangunan di eks Kampus Kebidanan di Bandung, tanah di RS Fatmawati, Jakarta, yang statusnya sengketa, tanah di Jalan Hang Jebat Tiga, Kebayoran Baru, Jakarta. Tanah di Jalan Percetakan Negara 2 Jakarta Pusat dan tanah di Jalan Percetakan Negara no 1 juga belum jelas.

"Kita ingin `eksplore` (mengungkap) persoalan aset yang cukup besar, nilainya lebih besar," katanya.

BPK juga menemukan kejanggalan dalam pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan. "Pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan memang sangat buruk, kontraktornya hanya ke itu, itu, Indofarma, Kimia Farma. Pihak BUMN itu biasanya juga mengkontrakan lagi ke pihak lain dan dikontrakan lagi sehingga menimbulkan biaya yang jauh dari normal naik rata-rata 20 persen," katanya.

BPK juga menemukan adanya tunggakan bayaran yang hingga kini tidak dibayar oleh rekanan Kementerian Kesehatan puls denda senilai Rp34,7 miliar.

"PT Pembangunan Perumahan Rp6,4 miliar, PT Kimia Farma Rp5,8 miliar, Rajawali Rp19,7 miliar, PT Indofarma Global Medika Rp2 miliar," katanya.
(T.M041/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010