Tbilisi (ANTARA News/Reuters) - Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton hari Senin mengecam pembangunan pangkalan Rusia di dua wilayah separatis Georgia dan menggarisbawahi dukungan AS bagi Tbilisi yang condong ke Barat.

Pernyataan itu disampaikan Hillary dua tahun setelah perang antara Georgia dan Rusia terkait dengan wilayah-wilayah separatis Abkhazia dan Ossetia Selatan. Rusia memperkuat hubungan dengan kedua wilayah itu dengan menandatangani perjanjian untuk membangun pangkalan-pangkalan militer permanen.

Tbilisi adalah perhentian terakhir dalam lawatan Hillary untuk menjamin negara-negara tetangga Rusia bahwa penataan kembali hubungan oleh Presiden Barack Obama dengan Kremlin tidak akan merugikan mereka.

Hillary menekankan amarah Washington terhadap "invasi dan pendudukan" Rusia atas wilayah Georgia.

"Saya datang ke Georgia dengan pesan tegas dari Presiden Obama dan saya: AS tetap teguh dalam komitmennya bagi kedaulatan dan integritas wilayah Georgia," kata Hillary dalam penjelasan kepada pers bersama Presiden Georgia Mikheil Saakashvili.

Namun, ia memperingatkan Georgia agar tidak memprovokasi Moskow dan mendesak Saakashvili berbuat lebih banyak untuk mendorong demokrasi, dan menyarankan bahwa cara terbaik untuk merangkul provinsi-provinsi separatis kembali ke wilayah Georgia adalah melalui peningkatan ekonomi dan politik yang kuat.

"AS akan melakukan segala sesuatu untuk membantu mitra kami, di dalam dan luar pemerintah Georgia, ketika mereka berusaha memperkuat proses dan lembaga demokrasi," kata Hillary.

Saakashvili, politikus pendidikan AS dan sekutu kuat Washington, mengatakan, kekhawatiran awal telah terhalau dan Georgia yakin penataan hubungan AS-Rusia itu dilakukan "dalam cara yang benar... tidak hanya mengubah hubungan dengan Rusia dengan mengorbankan yang lain".

Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus tahun 2008, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.

Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.

Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.

Pada 27 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun 2008.

Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".

Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.

Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010