Jika kita lihat secara luas, terdapat banyak persamaan antara kondisi tahun 1955 dengan yang kita hadapi sekarang
Jakarta (ANTARA) - Peringatan 66 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun ini akan dilakukan Kementerian Luar Negeri RI dengan mengusung tema "Kemanusiaan dan Solidaritas".

Semangat kemanusiaan dan solidaritas bangsa Asia dan Afrika tercermin pada logo peringatan yang berbentuk angka 66 yang menggambarkan dua benua dengan dua tangan saling berpegangan erat sebagai simbol "Kemanusiaan dan Solidaritas" untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Warna merah melambangkan Asia, sedangkan warna hijau mewakili Afrika, dengan latar belakang putih menggambarkan dunia.

Lambang itu sesuai dengan tujuan awal dari penyelenggaraan KAA yang adalah untuk meningkatkan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika melalui peningkatan kerja sama ekonomi, kebudayaan, serta upaya melawan segala bentuk penjajahan atau imperialisme dan rasialisme.

Baca juga: Praktisi: KAA perlu dijadikan wadah dorong kesetaraan akses vaksin
Baca juga: Saatnya meneguhkan kembali Semangat Bandung


KAA juga bertujuan mengedepankan hak-hak asasi manusia serta memajukan perdamaian dunia dan kerja sama internasional.

Persamaan nasib dan semangat solidaritas yang melahirkan konferensi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika 66 tahun silam itu kembali menemukan relevansinya di saat negara-negara di dunia kembali diuji untuk dapat membangun solidaritas dalam perjuangan bersama menghadapi pandemi global COVID-19.

"Jika kita lihat secara luas, terdapat banyak persamaan antara kondisi tahun 1955 dengan yang kita hadapi sekarang. Kesenjangan antara negara maju dan berkembang semakin besar, sentimen antar ras dan budaya terus menerus memicu konflik, dan kekuatan-kekuatan besar masih menggunakan kewenangannya untuk kepentingannya sendiri," ujar Direktur Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Febrian A. Ruddyard kepada ANTARA.

Pada saat ini kesenjangan antara negara maju dan berkembang dapat terlihat dari kenyataan bahwa akses yang dimiliki setiap negara untuk mendapatkan vaksin guna melawan COVID-19 masih belum setara.

Mengutip pernyataan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, Febrian menyebutkan bahwa "Hampir satu dari empat orang penduduk di negara berpendapatan tinggi telah divaksin, sedangkan di negara berpenghasilan rendah hanya satu dari 500 orang yang sudah divaksin."

Relevansi
Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia berharap seluruh negara anggota KAA dapat kembali membangkitkan dan menjaga relevansi nilai solidaritas dan kemanusiaan yang terkandung dalam Dasasila Bandung yang lahir dari peristiwa Konferensi Asia-Afrika pertama pada 1955.

Pertemuan KAA 1955 menyepakati sepuluh poin yang kemudian dikenal dengan Dasasila Bandung yang merupakan suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam upaya memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.

"Secara prinsip, Indonesia mendorong agar seluruh negara KAA kembali berkaca pada Dasasila Bandung dan relevansinya dalam penghargaan terhadap hak asasi manusia, kedaulatan semua bangsa, dan perdamaian dunia," ucap Febrian.

Dia pun menekankan bahwa hingga saat ini Dasasila Bandung tetap relevan sebagai panduan hubungan di antara negara-negara, khususnya negara di Asia dan Afrika, serta untuk penyelesaian masalah-masalah global yang menjadi kepentingan bersama, termasuk pandemi global.

"Seperti yang Ibu Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi) berkali-kali tegaskan, tidak ada seorang pun yang benar-benar aman (dari COVID-19) sampai semua orang sudah aman," katanya.

Pandangan itu memang sepenuhnya selaras dengan Dasasila Bandung yang menekankan prinsip kemanusiaan, kesetaraan, dan kepentingan bersama.

Selanjutnya, di tengah kondisi dunia yang saat ini sudah sangat saling terhubung (interconnected) dan warga dunia bergantung pada interkonektivitas itu maka masalah penanganan pandemi global memang tidak bisa dipandang sebagai isu yang terkotak pada setiap negara.

Keterikatan atau keterhubungan tersebut paling mudah dilihat dari segi ekonomi. Walaupun suatu negara dapat berhasil mengendalikan ekonomi dan memulihkan produktivitasnya, keberhasilan negara itu tidak akan berarti jika negara lainnya yang menjadi pasar belum bisa menyerap produktivitas tersebut.

Hal itu menunjukkan bahwa dalam menghadapi pandemi global ini, kepentingan semua negara dan bangsa adalah setara.

"Di dalam pandemi ini kita semua setara ... semua orang menghadapi musuh yang sama. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk menghadapi musuh bersama tersebut," ujar Febrian.

Di tengah pandemi global COVID-19 yang merupakan masalah kemanusiaan terbesar abad ini, solidaritas, vaksin multilateralisme dan akses untuk memperoleh vaksin COVID-19 yang setara, aman, dan terjangkau merupakan prinsip-prinsip yang selalu diusung dan diperjuangkan oleh Indonesia.

Prinsip-prinsip itu pun sejalan dengan semangat Dasasila Bandung.

Selanjutnya, untuk memiliki kemampuan yang sama untuk menghadapi musuh bersama, COVID-19, setiap negara tentunya harus memiliki kesempatan dan kemampuan yang setara dalam mengakses vaksin.

Platform kesetaraan
Untuk itu, Konferensi Asia Afrika (KAA) perlu dijadikan platform untuk mendorong kesetaraan atas akses terhadap vaksin, menurut praktisi hubungan internasional dari Synergy Policies Dinna Prapto Raharja.

"KAA hendaknya dihidupkan lagi, dijadikan platform atau wadah untuk mengedepankan posisi negara-negara berkembang yang menuntut kesetaraan hak atas vaksin," kata Dinna saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Jumat (16/4).

Dia berpendapat bahwa KAA memiliki keunikan tersendiri karena ideologi yang dianut adalah pengakuan atas kesetaraan hak antarbangsa, "alih-alih siapa yang dapat membayar berapa, atau siapa mau mengikuti siapa."

Oleh karena itu, KAA juga dapat menjadi wadah bagi upaya-upaya penanggulangan pandemi COVID-19 secara sinergis antarnegara.

Dinna juga menekankan bahwa KAA menjadi pengingat bahwa dalam kondisi keterpurukan, negara-negara berkembang perlu kembali merujuk pada solidaritas sebagai sesama negara yang menginginkan perdamaian dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia, penghormatan atas kedaulatan negara, dan persamaan semua bangsa.

Terkait hal itu, semangat Dasasila Bandung, yang merupakan hasil pertemuan pertama KAA yang dilakukan pada 18-24 April 1955, perlu diangkat kembali.

"Agar dalam situasi tertekan akibat COVID-19 dan globalisasi yang ternyata tidak sepenuhnya memanusiakan bangsa-bangsa secara adil, negara-negara tidak mengedepankan kepentingan sesaat dan sempit dan jalan sendiri-sendiri," ujarnya.

Senada dengan pandangan itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pertemuan GAVI-COVAX Facility yang digelar secara virtual pada 15 April 2021 telah menegaskan penolakan terhadap aksi penimbunan, nasionalisme dan politisasi vaksin.

Menlu Retno pun telah beberapa kali menyerukan bahwa seluruh negara harus bersatu menolak penimbunan dan nasionalisme vaksin. Selain itu, dia menekankan bahwa politisasi vaksin juga harus dihilangkan karena berpotensi menyebabkan perpecahan geopolitik.

Menlu Retno Marsudi saat ini dipercaya menjadi salah satu ketua bersama pada COVAX Advance Market Commitment Engagement Group, yakni forum yang mempertemukan negara berkembang dengan negara-negara donor untuk membahas pengadaan dan distribusi vaksin bagi negara-negara berkembang.

Inisiatif yang ditempuh pemerintah Indonesia itu pun sejalan dengan semangat KAA dan Dasasila Bandung, khususnya sila ke-3.

Sila ke-3 Dasasila Bandung menyatakan tentang pengakuan persamaan  bagi semua ras dan persamaan semua bangsa besar dan kecil, di mana hal itu sangat relevan untuk pemerataan akses memperoleh vaksin COVID-19.

Menjelang peringatan KAA yang ke-66 pada 18 April tahun ini di tengah penanganan pandemi global, sudah saatnya seluruh negara anggota KAA mengarahkan diri untuk menghidupkan kembali semangat kemanusiaan dan solidaritas yang diamanatkan dalam Dasasila Bandung yang lahir dari peristiwa KAA pertama pada 1955.

Baca juga: Praktisi: kolaborasi KAA diperlukan untuk dorong kemerdekaan Palestina
Baca juga: 110 bendera dipasang di Gedung Merdeka Bandung peringati 66 tahun KAA

Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021