Konsumsi lebih dari 58 persen perannya dalam pendapatan nasional. Dengan angka ini saja sudah memberi argumentasi kuat bahwa konsumen adalah kekuatan ekonomi yang sebenarnya.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi mengatakan bahwa konsumen adalah kekuatan ekonomi yang sebenarnya, yang mana dilihat dari struktur ekonomi Indonesia, apa yang dilakukan oleh konsumen merupakan komponen pembentuk nilai ekonomi nasional yang terbesar.

“Konsumsi lebih dari 58 persen perannya dalam pendapatan nasional. Dengan angka ini saja sudah memberi argumentasi kuat bahwa konsumen adalah kekuatan ekonomi yang sebenarnya,” kata Bayu dalam Catatan Bayu Krisnamurthi berjudul ‘Melindungi Para Raja’ yang diterima di Jakarta, Selasa.

Pada 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional. Penetapan Harkonas itu dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 13 tahun 2012. Tanggal 20 April dipilih mengikuti tanggal penetapan UU Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999.

Baca juga: Marak pengaduan asuransi, perlindungan konsumen butuh perhatian OJK

Bayu melanjutkan, secara mikro di dalam bisnis dan perusahaan, konsumen bahkan sering dipandang punya peran yang lebih penting lagi.

Sumber penerimaan perusahaan datang dari kantong dan dompet konsumen. Sedemikian pentingnya peran konsumen, oleh sebagian pebisnis konsumen dianggap sebagai ‘raja’ yang harus dipenuhi kebutuhan dan keinginannya jika bisnis ingin berhasil dan mendapatkan keuntungan.

“Mungkin banyak pebisnis yang sudah tidak lagi melihat bahwa yang disebut ‘raja’ itu bukan hanya konsumen, tetapi tetap saja konsumen adalah (salah satu) ‘raja’. Jika konsumen memang demikian perkasa, mengapa ‘sang raja’ masih harus dilindungi dengan UU Perlindungan Konsumen?,” ungkap Bayu.

Ada beberapa alasan, antara lain, pertama melindungi konsumen merupakan wujud kewajiban negara melindungi seluruh rakyat Indonesia karena seluruh rakyat adalah konsumen. Kedua, menghindari konsumen dari ekses negatif kegiatan konsumsi sendiri, termasuk konsumsi yang berlebihan atau salah.

Baca juga: Jamin keamanan konsumen, BPOM Palu periksa kandungan zat dalam takjil

Ketiga, menegakkan hak-hak konsumen sebagai warga negara, termasuk hak untuk mendapat perlindungan dari penipuan, serta hak mendapat kepastian dan perlindungan hukum.

Bencana pandemi dan resesi yang terjadi pada skala global jelas juga menghantam kehidupan konsumen, yang berakibat pada perubahan pola konsumsi dan menciptakan tren baru perilaku konsumen.

“Konsumen menjadi lebih waspada dan sensitif atas kondisi kesehatannya, tetapi masih banyak ketidakjelasan dan ketidakpastian tentang konsep hidup sehat dan bugar itu karena beberapa konsep yang lama (misalnya pergi ke gym, bermain sepakbola, atau badminton) sekarang justru dianggap berbahaya,” ujar Bayu.

Hal tersebut menurutnya dapat dimengerti karena konsumen perempuan ternyata memang memiliki kesadaran kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan pria.

Baca juga: BI perkuat perlindungan konsumen di era ekonomi digital

Bersamaan dengan itu, kesadaran akan pentingnya hubungan harmonis dengan lingkungan juga meningkat. Lingkungan yang nyaman lestari, tanpa polusi, dan tanpa degradasi menjadi idaman yang semakin kuat diperjuangkan konsumen.

Kesadaran keberdayaan kolektif dalam komunitas juga meningkat di antara konsumen, baik untuk saling bantu, untuk membangun bisnis, maupun untuk menyuarakan kepentingan bersama.

“Perubahan pandangan dan nilai-nilai di atas membuat prioritas belanja konsumen berubah. Hal-hal yang esensial dan pokok menjadi lebih didahulukan. Lebih banyak konsumsi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan berkegiatan produktif di rumah, untuk meningkatkan imunitas, serta untuk sehat dan bugar,” katanya.

Hal esensial yang dilakukan pada 2019 hanya 28 persen dari total pengeluaran konsumen, dan akhir 2020 telah meningkat mencapai 54 persen. Pengeluaran ‘leisure’ yang sebelumnya mencapai 14 persen turun menjadi hanya 6 persen.

“Dan ternyata, dalam kondisi perubahan itu, konsumen yang menyatakan belanjanya meningkat mencapai 56 persen, dan hanya 17 persen yang menyatakan menurun,” tukas Bayu.

 

Ia menambahkan, hehidupan virtual dan digital semakin menjadi bagian dari keseharian konsumen hampir di seluruh dunia, di mana belanja online di awal 2021 ini masih terus meningkat dengan laju hingga 31 persen.

 

Dibarengi dengan tumbuhnya usaha-usaha digital baru. Pada Februari 2021, sebanyk 18,2 persen pedagang (merchant) di lokapasar (marketplace) merupakan usaha mikro baru dengan perempuan sebagai pengusahanya.

 

Dengan sendirinya teknologi dan sarana digital semakin dirasakan manfaatnya, dan semakin menjadi kebutuhan sekaligus hal penting dalam pengalaman konsumsi. Namun, di sisi lain kekhawatiran atas dampak negatif dari kehidupan yang semakin terdigitasi dan virtual juga semakin meningkat.

 

Hari Konsumen Nasional 2021 memang masih dalam suasana yang rentan (vulnerable) dan banyak hal yang masih diselimuti ketidakpastian (uncertain).

 

Namun, konsumen Indonesia ternyata memiliki harapan yang baik. Bank Indonesia melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen bulan Maret mencapai 93,4, lebih tinggi dari Januari yang mencapai 84,9.

 

Indeks Kondisi Ekonomi dipersepsikan meningkat dari 63,0 bulan Januari menjadi 72,6 di bulan Maret. Sedangkan Indeks Ekspektasi Konsumen juga meningkat dari 106,7 di bulan Januari menjadi 114,1 di bulan Maret.

 

“Intinya, beradaptasi dengan pandemi dan resesi, konsumen – sang Raja ekonomi itu – telah dan masih akan berubah perilakunya, tetapi dalam semangat yang optimis dan positif,” pungkas Bayu.

 

Ia menambahkan, konsumen berjumlah banyak dan beragam. Semangat ‘para Raja’ itu perlu terus dijaga, didorong agar konsumen semakin cerdas dan berdaya, dan Indeks Keberdayaan Konsumen yang baru mencapai 48,2 harus ditingkatkan.

 

“Hal itu adalah juga bentuk perlindungan lain yang diperlukan, sekaligus agar ekonomi dapat segera pulih dan bangkit kembali,” tutupnya.

 

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021