Jakarta (ANTARA) - Pandem yangi mewabah setahun lamanya membuat gaya hidup dan aktivitas sehari-hari menjadi berubah, salah satunya adalah bekerja dari rumah (work from home) yang mengharuskan pekerja lebih berkawan dengan teknologi demi menyelesaikan pekerjaan setiap hari.

Dengan pola kerja yang semakin fleksibel bahkan tidak mengenal waktu, menimbulkan fenomena baru seperti burn out dan Zoom fatigue -- di mana pekerja merasa sangat lelah secara mental dan fisik karena pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya walaupun tidak perlu ke kantor.

Di tengah fenomena tersebut, muncul juga konsep gaya hidup work-life balance -- yang diharapkan bisa menyeimbangkan kembali ritme kerja. Namun, bisakah gaya hidup tersebut diterapkan?

Baca juga: Wanita wirausaha harus tetap "work - life balance"

Baca juga: Tips hidup seimbang versi orang-orang terkaya di dunia


Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Gina Anindyajati, SpKJ, melalui surelnya kepada ANTARA, ditulis pada Rabu, mengatakan bahwa work-life balance adalah konsep yang sudah lama digaungkan dan merupakan kondisi ideal yang diharapkan bisa dicapai semua orang.

"Bicara tentang work-life balance artinya bicara tentang prioritas, memilih dan menjalankan aktivitas berdasarkan prioritas. Hal ini dapat berbeda untuk tiap orang karena kondisi masing-masing orang juga berbeda," kata dr. Gina.

"Pada prinsipnya, work-life balance memungkinkan seseorang merasa puas dengan apa yang dikerjakannya dalam hal pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, serta tidak menimbulkan permasalahan dalam relasi dengan orang dekatnya," imbuhnya.

Lebih lanjut, meski tidak bisa langsung diterapkan secara instan, dr. Gina memberikan sejumlah kiat bagi pekerja yang mungkin merasakan kelelahan karena menghadap layar komputer dan telekonferens untuk waktu yang lama dan "bertubi-tubi".

Menurut dr. Gina, untuk mengatasi kelelahan berlebihan seperti Zoom fatigue, diperlukan pengaturan prioritas tentang mana pertemuan daring yang memang harus dilakukan, mana hal yang bisa didiskusikan dengan cara lain (misal surel atau telepon).

"Perlu juga dilakukan pengaturan waktu untuk melakukan pertemuan daring sesuai dengan anjuran kesehatan, ada jeda antara pertemuan dengan durasi pertemuan yang tetap menjaga kesehatan mata para pekerja," kata dia.

"Lakukan peregangan jika mengikuti pertemuan daring secara berkelanjutan dan atur waktu jeda antar tiap pertemuan," ujarnya menambahkan.

Baca juga: Kenali "zoom fatigue" dan pengaruhnya akan kesehatan mental

Baca juga: "Zoom fatigue" lebih terasa pada perempuan dibanding laki-laki

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021