Banda Aceh (ANTARA News) - Aktivis lingkungan menilai matinya seekor gajah liar jantan di areal perkebunan di kawasan Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, merupakan salah satu dampak semakin parahnya kerusakan hutan yang menjadi koridor satwa di wilayah tersebut.

"Matinya seekor gajah menunjukkan kondisi hutan Aceh mulai mendekati kritis. Apalagi, hampir setiap hari kita mendapatkan informasi menyebutkan satwa dilindungi keluar hutan, bahkan memasuki pemukiman penduduk," kata Manajer Riset dan Kampanye Pusat Studi Masyarakat Adat Aceh (Puslima), M. Oki Kurniawan, di Banda Aceh, Senin.

Hal itu disampaikan menanggapi matinya seekor gajah liar jantan di kawasan perkebunan milik PT Bumi Flora, Aceh Timur atau sekitar 450 kilometer arah timur Kota Banda Aceh.

Satwa dilindungi seperti gajah dan harimau, katanya tidak akan memasuki kawasan pemukiman penduduk yang berdekatan dengan hutan jika koridor hewan tersebut tidak terganggu ulah manusia merambah "rumah" yang menjadi habitatnya.

"Kerusakan ekosistem hutan di Aceh sangat kompleks, tidak hanya pembalakkan hutan tapi pembukaan areal perkebunan kelapa sawit dan kakao yang telah memasuki kawasan tempat bersarangnya satwa dilindungi tersebut," katanya.

Ketika ditanya tentang program "Moratorium Logging" yang telah dicanangkan Pemerintah provinsi Aceh sejak 2007, Oki menilai belum mampu mengatasi masalah perambahan hutan di wilayah berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa tersebut.

"Moratorium logging itu jangan dinilai sebuah keberhasilan pemerintah. Artinya, kalau HPH memang tidak ada pascaberlakunya moratorium logging, tapi kenyataannya bahwa hutan di Aceh terus menciut, dan konflik satwa-manusia terus terjadi, bahkan semakin meluas," kata dia.

Dipihak lain, Oki Kurniawan juga menyebutkan pascaberlakunya moratorium logging maka Pemerintah Aceh mengangkat ribuan tenaga kerja sebagai "jagawana" (Polisi hutan/Polhut), tapi beberapa kasus pembalakkan hutan terindikasi keterlibatan oknum Pulhut tersebut.

"Artinya, keterlibatan oknum Polhut dalam kasus ilegal logging itu erat kaitan dengan pendapatan yang mereka terima tidak sebanding dengan tugas berat menjaga kawasan hutan. Bisa jadi sebuah anggapan bagaimana kita jaga hutan, sementara perut masih lapar," katanya menambahkan.
(T.A042/H011/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010