Jakarta (ANTARA) - Bekas Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Leni Marlena dan anggota ULP Juli Amar Ma'ruf didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp63,829 miliar dalam proyek "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) yang terintegrasi dengan "Bakamla Integrated Information System" (BIIS) tahun anggaran 2016.

"Terdakwa Leni Marlena selaku Ketua ULP di Bakamla bersama-sama dengan Juli Amar Ma'ruf selaku anggota (koordinator) ULP Bakamla, Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi merugikan keuangan negara sebesar Rp63,829 miliar sebagaimana audit perhitungan kerugian keuangan negara pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS pada Bakamla tahun anggaran 2016 yang dibuat tim auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Kresno Anto Wibowo di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Baca juga: KPK limpahkan berkas perkara dua terdakwa korupsi proyek Bakamla

Selain merugikan keuangan negara, perbuatan keempatnya juga memperkaya Rahardjo Pratjihno selaku pemilik PT CMI Teknologi sebesar Rp60,329 miliar dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp3,5 miliar.

Leni ditunjuk sebagai Ketua ULP dan Juli Amar sebagai anggota (koordinator) ULP pada 16 Juni 2016. Setelah keduanya ditunjuk, Leni dipanggil Ali Fahmi selaku staf khusus Kepala Bakamla Arie Soedewo untuk menyampaikan pengadaan BCSS dan akan dibantu oleh Juli Amar.

Pada Juni 2016, Juli Amar Ma'ruf diperkenalkan dengan Rahardjo Pratjihno melalui perantaran Hardy Stefanus (relasi Ali Fahmi). Hardy memberitahukan bahwa ia diarahkan untuk mengerjakan proyek BCSS di Bakamla.

Pada Juni 2016, anggaran pengadaan BCSS ditampung dalam DIPA Bakamla TA 2016 senilai Rp400 miliar tapi masih diberi tanda bindang karena butuh persetujuan dari Kementerian Keuangan.

Pada Juli 2016, Rahardjo memaparkan rencana BCSS di Bakamla.

"Setelah pemaparan, Arie Soedewo mengarahkan agar PT CMI Teknologi milik Rahardjo Pratjihno dapat ditunjuk langsung sebagai pelaksana pekerjaan namun Rahardjo meminta agar tetap dilakukan proses pelelangan yang akan diatur sedemikan rupa sehingga nanti pelelangan tetap dimenangkan PT CMI Teknologi," tambah jaksa Kresno.

Leni Marlena dan Juli Amar Ma'ruf lalu bertemu dengan Fachrulan Amir untuk membahas bagaimana cara "mengunci spek" dalam Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) pengadaan. Selain itu PT CMI Teknologi akan menyiapkan 2 perusahaan pendamping yang akan didaftarkan pada LPSE Bakamla yaitu PT Kaesa Indah Sejahtera dan PT Catudaya Data Prakasa.

Baca juga: Tersangka kasus korupsi proyek Bakamla Juli Amar segera disidangkan

Pada 16 Agustus 2016, meski tanda bintang belum dicabut karena harus menunggu Laporan Audit yang disebut "Probity Audit" oleh tim BPKP, Juli Amar Ma'ruf mengumumkan lelang pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" secara elektronik di lpse.BAKAMLA.go.id dengan pagu anggaran sebesar Rp400 miliar.

Leni berpedoman untuk Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp399,805 miliar yang berasal dari "file" yang dibuat PT CMI Teknologi. HPS juga dibuat tanpa PPK karena Bambang Udoyo baru ditunjuk sebagai PPK pada 22 Agustus 2017.

Juli Amar Ma'ruf lalu menetapkan sistem pelelangan yang digunakan adalah dengan metode pascakualifikasi sistem gugur padahal pengadaan BCSS tersebut termasuk jenis pekerjaan kompleks yang seharusnya menggunakan metode penilaian prakualifikasi sehingga hanya 2 perusahaan yang memberikan dokumen penawaran yaitu PT CMI Teknologi dan PT Kaesa Indah Sejahtera sebagai perusahaan pendamping yang sudah disiapkan.

PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" pada 16 September 2016 namun kontrak belum dapat dilakukan karena anggaran masih ada tanda bintang.

Kementerian Keuangan pada Oktober 2016 kemudian hanya menyetujui anggaran BCSS sebesar Rp170,579 miliar atau kurang dari HPS penawaran PT CMI Teknologi sebagai pemenang lelang sehingga pada pertemuan 8 Oktober 2016 antara Bambang Udoyo, Leni, Juli dan PT CMI Teknologi disepakati nilai pengadaan adalah sebesar Rp170,579 miliar.

Pada 18 Oktober 2016, Rahardjo dan PPK Bakamla Bambang Udoyo menandatangani kontrak pengadaan berbentuk lumpsum dengan nilai pekerjaan senilai Rp170,579 miliar namun kontrak tidak dijelaskan kualitas hasil keluaran (output based) yang dikehendaki Bakamla selaku user, melainkan hanya berupa rincian item barang sebagaimana bentuk kontrak harga satuan.

PT CMI Teknologi lalu melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan yaitu PT CSE Aviation (Rp1,89 miliar), PT Catudaya Data Prakasa (Rp6,131 miliar), PT Spasi Indonesia (Rp5,424 miliar), PT Tricada Intronik (Rp10,624 miliar), PT Westcon (Rp6,188 miliar), PT Satria Samudera (Rp4,277 miliar), PT Compnet (Rp20,65 miliar), BAP Precision Ltd (531.867 dolar AS), LHS Electronic Enterprise (2.427 dolar AS), PT CNI (Rp2,11 miliar), dan Metrasat Telkom (Rp3,744 miliar).

"Pada akhir Oktober 2016 bertempat di daerah Menteng Jakarta Pusat, Rahardjo Pratjihno memberikan selembar cek Bank Mandiri kepada Hardy Stefanus senilai Rp3,5 miliar untuk diberikan kepada Ali Fahmi sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla," ungkap jaksa Kresno.

Hardy lalu mencairkan dalam bentuk dolar Singapura sebesar Rp3 miliar dan sisanya Rp500 juta tetap dalam bentuk rupiah. Hardy menyerahkan uang itu kepada Ali Fahmi di gerai Starbuks dekat PRJ Kemayoran saat pameran Indo Defense.

Baca juga: KPK menahan dua tersangka kasus korupsi proyek di Bakamla

"Pada November 2016, terdakwa Leni bersama Juli Amar dan anggota ULP serta tim teknis Bakamla mengikuti kegiatan rapat 'factory acceptance test' di kantor PT CMIM Bandung yang dibiayai PT CMI Teknologi meliputi akomodasi, biaya hotel Ibis TSM, dan makan siang serta 'snack'. Selain itu PT CMI Teknologi juga memberikan uang saku kepada terdakwa Leni dan Juli Amar Ma'ruf masing-masing sebesar Rp1 juta serta untuk anggota ULP dan tim teknis masing-masing sebesar Rp500 ribu," tambah jaksa Kresno.

PT CMI kemudian menerima pembayaran Rp134,416 miliar yang dibayarkan secara bertahap pada 7 November - 8 Desember 2016 padahal panitia penerima hasil pekerjaan (PPHP) Bakamla tidak pernah melakukan pengecekan di lapangan namun hanya berdasar dokumen PT CMI Teknologi.

"Dari Rp134,416 miliar yang dibayarkan, ternyata untuk pembiayaan pekerjaan hanya Rp70,587 miliar sehingga terdapat selisih sebesar Rp63,829 miliar yang merupakan keuntungan Rahardjo Pratjihno selaku pemilik PT CMI Teknologi. Adapun keuntungan tersebut dikurangi pemberian kepada Ali Fahmi sebesar Rp3,5 miliar sehingga Rahardjo mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp60,329 miliar," ungkap jaksa Kresno.

Atas perbuatan keduanya, Leni Marlena dan Juli Amar Ma'ruf didakwa pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Terhadap dakwaan tersebut, Leni mengajukan nota keberatan (eksepsi) sedangkan Juli Amar tidak mengajukan keberatan.

Baca juga: KPK perpanjang masa penahanan dua tersangka korupsi proyek di Bakamla

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021