Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian terus menggenjot optimalisasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada setiap produk industri nasional, guna memacu daya saing dan mendukung produktivitas bagi pembuat komponen.

“Langkah optimalisasi teknologi ini sejalan dengan kebijakan Kemenperin untuk menaikkan nilai TKDN menjadi 50 persen pada tahun 2024 sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Sabtu.

Ia menegaskan seluruh satuan kerja (satker) di bawah binaannya siap melayani industri dalam negeri untuk memenuhi pengoptimalan TKDN produknya, baik itu melalui optimalisasi teknologi rekayasa proses dan rekayasa bahan baku.

Baca juga: Imbas kebijakan TKDN, RI tak lagi impor ponsel Korea lewat Vietnam

“Jadi, akan meningkatkan penggunaan bahan baku sumber daya alam lokal atau hasil industri hulu lokal,” katanya.

Salah satu satker BSKJI Kemenperin, yakni Balai Riset dan Standardisasi Industri (Baristand Industri) Banjarbaru (BRSBB) telah berhasil menyediakan substitusi pemenuhan bahan baku dari clay impor dengan clay lokal (kaolin) dari Pulau Belitung yang diterapkan pada produksi lembaran rata kalsium silikat. Inovasi ini merupakan bentuk sinergi antara BRSBB dengan PT Sinar Nusantara Industries (PT SNI) melalui kerja sama magang industri dan layanan jasa optimalisasi teknologi industri.

“Melalui kolaborasi tersebut, BRSBB berhasil menunjukkan bahwa kualitas lembaran rata kalsium silikat yang dihasilkan dengan bahan kaolin Belitung sebanding dengan kualitas produk serupa dengan bahan clay impor,” kata Doddy.

Baca juga: DPR minta KPK awasi penyerapan TKDN industri nasional

Kaolin merupakan mineral tanah liat yang penting digunakan di sektor industri. Sementara itu, lembaran rata kalsium silikat digunakan sebagai komponen bahan bangunan meliputi dinding, partisi, plafon, listplank, lantai ataupun penggunaan lainnya baik di dalam maupun di luar ruangan.

Saat ini, nilai impor bahan clay terus mengalami penurunan. Pada tahun 2018, total impor clay dari seluruh negara sebesar 81.427 ton atau senilai USD40,9 juta, turun menjadi 74.758 ton atau senilai 42 juta dolq3 pada 2019, dan turun lagi menjadi 56.195 ton atau senilai 22,6 juta dolar pada 2020.

Substitusi clay impor dengan clay lokal akan membawa penurunan nilai impor sebesar 579.104 dolar atau setara Rp8,37 miliar per tahun. Nilai ini merupakan kebutuhan clay dari pabrik PT SNI di Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan yang mencapai 1.440 ton per tahunnya.

“Di masa mendatang, rekayasa proses ini diharapkan dapat mendorong substitusi impor bahan baku clay untuk menguatkan struktur industri dalam negeri dan menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri domestik,” papar Doddy.

Kepala BRSBB Budi Setiawan mengemukakan, kolaborasi BRSBB dengan PT SNI ini telah berlangsung sejak tahun 2018.

“Percobaan pertama aplikasi clay impor dengan clay lokal pada lembaran rata kalsium silikat dilaksanakan pada skala laboratorium di BRSBB. Setelah itu, kemudian diujicobakan pada skala penuh di lini produksi PT SNI dan mendapatkan hasil yang memuaskan,” katanya.

Menurut Budi, berdasarkan hasil pengujian, kualitas lembaran rata kalsium silikat dari bahan baku clay lokal sudah mampu kompetitif dengan produk serupa yang terbuat dari bahan baku impor.

“Hal ini sudah teruji dengan parameter sifat fisika, sifat mekanika, bentuk dan sifat tampak, serta uji ketahanan panas atau hujan,” ujarnya.

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021