Kupang (ANTARA News) - Ketua Lembaga Penelitian Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Dr Marianus Kleden, berpendapat ketidakadilan gender lebih dominan terjadi di wilayah pedesaan.

"Ketidakadilan tersebut sejalan dengan pencitraan sosial di masyarakat yang memposisikan perempuan seolah-olah hanya terkurung dalam wilayah domestik sehingga tidak bisa memasuki wilayah publik," kata Marinus Kleden di Kupang, Jumat.

Dia mengemukakan hal itu dalam seminar bertajuk "Membangun Kapasitas Masyarakat Menuju Peningkatan Partisipasi Dalam Pembangunan" yang digelar Oxfam Great Britain bersama Australia Nusa Tenggara Assistance for Regional Autonomy (Antara-AuSAID) di Kupang.

Seminar itu bertujuan mencari solusi mengenai persoalan yang menghambat partisipasi perempuan dalam pembangunan.

Di desa-desa di Kecamatan di Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur misalnya, perempuan melakukan pekerjaan berat di sawah dan di ladang, yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.

Menurut dia, dalam mengolah kebun, peran laki-laki hanya terlihat pada pembukaan kebun baru, tetapi selanjutnya penanaman, penyiangan, pemanenan, dan penjualan hasil, dilakukan oleh perempuan.

Hal yang sama juga berlaku bagi pekerjaan nelayan. Penangkapan ikan di laut dilakukan oleh laki-laki, tetapi tugas selanjutnya seperti pembersihan, pengawetan sampai penjualan di pasar, tetap dilakukan perempuan.

"Dalam perkembangan gender modern, wilayah publik dipandang lebih prestisius. Karena itu hendaknya dilakukan pembagian peran lebih adil dan berimbang antara wilayah publik dan domestik untuk laki-laki dan perempuan," kata Marianus.

Dia mengatakan, Adonara memiliki ungkapan adat yang semakin kentara menekan perempuan untuk masuk ke wilayah publik. Misalnya, ungkapan "laki-laki menuntut ilmu yang tinggi untuk bekal mencari nafkah, sementara perempuan harus tinggal di rumah".

Di sisi lain, konsep gender yang awalnya berasal dari dunia barat, sering diposisikan salah di wilayah perdesaan.

Sejumlah temuan, lanjut dia, menunjukkan, perempuan tidak boleh makan bersama laki-laki di meja makan, dan tidak punya hak suara dalam musyawarah adat.

"Perempuan Asia dan Afrika malah mengalami dua kali ketidakadilan yaitu gender dan rasial," tambahnya.

Akan tetapi, di wilayah perkotaan di Indonesia, kata dia, kesetaraan gender sangat terasa. Meski begitu masih ada sedikit ketimpangan dalam birokrasi dan politik.

(B017/Z003/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010