Borobudur, Jawa Tengah (ANTARA News) - Pelukis Nani Sakri (48) menggelar pameran puluhan karya bertajuk "Conserve Our Heritage" yang didominasi goresan motif batik dan figur perempuan sebagai gabungan atas keindahan ekspresi pribadi dengan warisan nenek moyang itu.

"Tidak semata sebagai ekspresi pribadi melainkan upaya menjaga warisan nenek moyang, agar selalu dikenal dan disayang," kata mantan peragawati itu saat pembukaan Pameran Lukis "Conserve Our Heritage" di Limanjawi Art House Borobudur sekitar 700 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Sabtu malam.

Pameran dibuka oleh kolektor lukisan Indonesia, dr. Oei Hong Djien, dihadiri antara lain kalangan pelaku seni, pemerhati seni, dan budayawan seperti Deddy Paw, Ingrid Widjanarko, Haris Kertaraharjo, Agus Merapi, Yeha, Fajar Purnomo Sidi, Damtoz Andreas, Ariswara Sutomo, dan Sutanto Mendut.

Pembukaan pameran selama sebulan itu antara lain juga ditandai dengan performa "Melukis Tubuh Bermotif Batik" oleh anggota Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI), tarian kontemporer "Topeng Saujana" pimpinan Sujono, dan pentas tunggal musik kendang oleh Sujud.

Berbagai karya Nani Sakri yang dipamerkan di galeri milik Umar Chusaeni itu antara lain berjudul "Homage To My Mother", "The Grace Of Balance", "Tribute To My Grandmother", "Blooming Love", "Gentle Giant", "Prayer For A Child 1", "As Magical As Five Phoenix", The Race For Power", "Fluttering Butterflies", dan "Yin And Yang".

Ia mengaku, akrab dengan batik sejak kecil karena almarhum nenek dan ibunya pengusaha dan pembuat batik di Yogyakarta pada era 1960-an.

Filosofi atas motif batik, katanya, menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya seperti corak parang, kawung, sidamukti, sidamulya, dan sidaluhur karena memiliki pesan dan berbagai doa tentang kebaikan manusia.

"Semua memiliki pesona keindahan tersendiri karena terciptanya warna dan motif selalu menyiratkan karakter dan budaya dari asal batik," katanya.

Ia menyebut batik bagaikan mata air inspirasi berkarya yang tidak pernah kering.

"Dan saya seolah menemukan sebuah `kamus` bahasa baru di dalam batik," katanya.

Ia menjelaskan tentang penyertaan figur perempuan dalam karyanya yang sebagai representasi atas pribadinya.

Figur perempuan dalam lukisannya, katanya, untuk mempertajam pesan dan sekaligus mengemas menjadi karya yang berbeda dari sekadar memindahkan corak batik ke atas kanvas.

Oei Hong Djien mengatakan, kecenderungan seni rupa kontemporer saat ini tidak melepaskan diri dari berbagai ikon lokal untuk memberikan nilai tambah atas suatu karya.

"Mereka mengambil ikon lokal yang terkenal untuk membahasakan karyanya. Itu nilai tambah dan lebih dihargai karena mempunyai kesan budaya lokal, sehingga menjadi karya kontemporer dengan unsur budaya lokal," katanya.

Ia mengemukakan, tren seni rupa saat ini telah mengalami pergeseran dari Barat ke Asia khususnya Asia Tenggara.

Setiap bangsa, katanya, memiliki sejarah seni rupa masing-masing.

"Mereka sekarang mau mendengarkan bahwa sejarah seni rupa tidak hanya Barat, setiap bangsa memiliki sejarah seni rupa sendiri. Sekarang era Asia khususnya Asia Tenggara sehingga seniman-seniman Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini," katanya.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010