Jakarta (ANTARA) -
"Aku bukan gelandangan, aku cuma... tidak punya rumah. Itu tidak sama, bukan?" demikian kata Fern (Frances McDormand) kepada salah seorang kenalannya dalam film "Nomadland".


Selarik dialog yang terucap sederhana, namun menohok. Mungkin gara-gara sebaris kalimat itulah film besutan penulis naskah sekaligus sutradara Chloe Zhao akhirnya tembus Oscar 2021.

Sebuah kalimat tanpa penghakiman atas pilihan hidup seseorang yang memilih memeluk erat kenangan ketimbang menyerah kepada kebebasan yang memilukan.

Baca juga: Frances McDormand raih Oscar ketiga lewat "Nomadland"

Baca juga: "Nomadland" dominasi kemenangan di BAFTA Awards 2021


Meski dipandang sebagai orang yang hidup diliputi kesusahan, nyatanya dalam penggambaran Zhao, Fern dan orang-orang di komunitas nomad adalah orang-orang yang menjalani hari seperti biasa dan bahkan menemukan satu atau dua kesenangan dalam sehari.

Mereka saling berbagi kisah, bertukar canda dan saling perhatian saat ada yg sakit atau bahkan meninggal dunia.

Zhao mengajak pemirsa melihat pandangan para nomad tentang kehidupan, bagaimana mereka beradaptasi melalui kebutuhan untuk menghadapi hampir setiap tantangan. Ada juga subplot romantis antara Fern dan Dave (David Strathairn), yang memberikan kesempatan bagi Fern untuk melupakan masa lalunya.

Dari awal kisah film, Zhao sudah menjungkir balikkan hati pemirsa membangun cerita agar kita berharap supaya Fern menemukan kebahagiaan. Awalnya hidup terasa suram bagi Fern tetapi baik McDormand maupun Zhao tidak mengizinkan kita untuk merasa kasihan pada sosok Fern.

Film pemenang Oscar "Nomadland" karya Zhao ini sudah tayang di Disney+ pekan lalu sebelum akhirnya nanti rilis di bioskop sekira tanggal 17 Mei mendatang. Sebagai film yang tayang di kala pandemi COVID-19, memang agak ironis menyaksikan perjalanan wanita tua berkelana bebas dengan van-nya. Nostalgia dan kerinduan berada di luar sana campur aduk saat menonton "Nomadland".

Film yang diadaptasi dari buku memoar Jessica Bruder "Nomadland: Surviving America in the Twenty-First Century" tersebut mengisahkan tentang sosok Fern, seorang wanita berusia enam puluhan yang telah kehilangan segalanya setelah krisis keuangan melanda Empire, sebuah kota fiksi di Nevada, Amerika Serikat di tahun 2008.

Krisis memporak-porandakan industri dan memaksa pabrik tutup sehingga memaksa warga kota eksodus meninggalkan Empire bak kota mati di tengah gurun Nevada, jalanan sepi, rumah-rumah terbuka tergerus cuaca, dan pabrik masih penuh dengan peralatan, seolah-olah habis disapu debu vulkanik.

Tanpa pekerjaan, dan baru saja mengalami tragedi ditinggal mati sang suami kesayangan, Fern lantas menjual isi rumahnya dan hidup sebagai Pengembara zaman modern, tinggal di luar van dan bepergian dari kota ke kota, mengambil pekerjaan musiman di mana dia bisa.

Salah satu pekerjaan musiman dia adalah di gudang Amazon. Hal ini cukup mendapat kritikan pedas. Pasalnya penggambaran gudang Amazon dan praktik kerjanya di film terasa sangat "dipoles".

Memang tak ada yang secara khusus menghujat perusahaan Jeff Bezos itu, namun bukankah itu sebagai bagian dari tindak pengabaian kapitalisme Amerika terhadap kebanyakan orang. Fern yang ada di luar jaringan, menggunakan situasi sementara yang disediakan gudang Amazon, justru karena sistem yang lebih besar mengecewakannya. Itu adalah gejala dari apa yang telah terjadi, bukan solusi.

Baca juga: Film terbaik Oscar 2021: "Nomadland"

Kembali ke plot, Fern kemudian secara bertahap mulai bergerak lebih jauh ke dalam komunitas nomad, berteman dengan orang-orang yang dia temui di jalan. Namun, masa lalu yang menyakitkan membuat Fern enggan merangkul masa depan apa pun, termasuk kemapanan dan cinta.

Frances McDormand bukan sosok asing di panggung Oscar. Setidaknya dia sudah enam kali masuk nominasi Oscar, dan tiga kali membawa piala Oscar pulang atas karyanya sebagai aktris. Pada 1997, ia pertama kali meraih Oscar sebagai Aktris Terbaik lewat film "Fargo". Aktris berusia 63 tahun tersebut lalu mengulangi kemenangannya pada 2018 lewat film "Three Billboards Outside Ebbing, Missouri".

Lewat "Nomadland", McDormand tampil sangat meyakinkan sebagai Fern sang nomad, dia berhasil menyembunyikan karakternya sebagai aktris papan atas yang sangat kompleks dengan sikap Fern yang sederhana. Fern yang hanya tahu mencintai suaminya.

Fern mengalami banyak hal, membentuk cangkang keras agar tidak pernah disakiti oleh dunia lagi. Meskipun demikian, tidak ada kejanggalan atau gengsi baginya. Saat dia duduk di kamp dan mengerjakan mobil van kesayangannya bernama Vanguard, dia bisa menjadi siapa saja, dan itulah intinya.

Yang menarik di "Nomadland" adalah penampilan dua tokoh luar biasa yang sebenarnya mereka adalah sosok nomad sungguhan yakni Charlene Swankie, seorang pengendara kayak yang bersiap untuk menjemput ajal serta ada Linda May, seorang pensiunan yang berbicara dengan kuat tentang bagaimana dia sempat berpikir untuk bunuh diri, sebelum menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup.

"Nomadland" adalah kisah yang lucu, sedih, dan mengejutkan bagi kita yang yang selalu menganggap Amerika adalah tanah di mana segala mimpi mungkin diraih.

Gambar-gambar yang disajikan Zhao di film sangatlah indah, langit yang luas dan pemandangannya tak terlupakan.

Keindahan lanskap yang dilewati Fern dengan van bobroknya seolah-olah menambah keteguhan hati pada keterpaksaannya untuk terus bergerak.

Di sini, Zhao menunjukkan kepada kita kerugian manusia yang ditimbulkan oleh segelintir orang kaya, dan kekuatan yang diperlukan untuk terus berjalan.
"Apa yang dikenang, akan terus hidup."


 Baca juga: Film kontender Oscar "Nomadland" rilis cuplikan pertama

Baca juga: Chloe Zhao, wanita Asia pertama yang menangi piala utama DGA

Baca juga: "Nomadland", film fitur terbaik di Gotham Awards 2021

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021