Jakarta (ANTARA News) - Sukur menatap semu sekelilingnya sambil mengisap rokok yang terselip di jemarinya.

Dia menikmati asap-asap putih yang keluar dari mulutnya hanya dengan menggunakan cawot, semacam kain yang menutup alat kelaminnya, sabil duduk di papan kayu.

Papan kayu berukuran satu kali satu setengah meter itu berada di bawah tenda tak berdinding beratapkan terpal hitam.

Pada pertengahan Juli itu, ia berdiam diri di pondok menunggu kedatangan istri dan anaknya dari bermalam, sebutan bagi orang rimba yang mencari ikan di sungai.

"Sudah habis semua hutan, hanya ini yang tersisa," ujar Sukur, anggota suku Anak Dalam yang bermukim di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT), di perbatasan Riau-Jambi,Kabupaten Tebo, Jambi.

Sambil terus menikmati rokoknya, ia bercerita mengenai kehidupan suku Anak Dalam atau yang dikenal dengan sebutan orang rimba yang semakin terdesak kemajuan zaman.

"Dulu, tak perlu susah-susah cari makan. Tinggal buka lahan dan tanam ubi. Bisa untuk makan berbulan-bulan. Tapi kini, lahan tak ada, hutan telah berubah," katanya.

Hutan yang merupakan habitat suku Anak Dalam, perlahan-lahan mulai berkurang. Dan perlahan-lahan pula, kebiasaan suku Anak Dalam yang selalu membuka lahan dengan cara berpindah semakin hilang.

Menurut dia, cara tersebut ditinggalkan sejak hutan tempatnya menetap mulai dirambah pihak perusahaan pada pertengahan 70-an.

"Sedikit demi sedikit memang, tetapi kami semakin terpinggirkan," kata dia, sembari mengibaskan tangan, menghalau nyamuk yang hinggap di kulitnya.

Untuk bertahan hidup, dirinya terpaksa menunggu sumbangan beras dari saudaranya yang sudah dirumahkan pemerintah. Saudaranya tersebut datang tiap bulan untuk memberikan beras padanya.

Kegiatan bermalam yang digunakan untuk berburu pun, tak menghasilkan banyak lauk pauk. Istri Sukur, Sanggul, usai pulang bermalam mengatakan ia hanya mendapatkan beberapa ekor ikan hasil bermalamnya di anak Sungai Batang Hari.Sanggul ketika itu mengenakan kain hingga sebatas dada.

Menurut Sanggul, kain tersebut menutupi dada ketika ada tamu asing. Jika ia dalam kelompoknya, kain tersebut hanya sebatas perut.

Hal itu yang membedakan antara perempuan yang sudah menikah dan yang belum menikah.

"Hutan tempat kami tinggal memang semakin habis. Bahkan dulu, kami terkejut begitu pulang melangun, hutan tempat kami tinggal sudah hilang," tutur Sanggul.

Melangun bagi suku orang rimba yang menetap di perbatasan Provinsi Riau dan Jambi adalah pergi jauh hingga waktu yang tak tentu untuk menghilangkan kesedihan akibat ditinggal mati anak maupun saudara.

Akibatnya, tradisi tersebut perlahan-lahan mulai hilang. Masyarakat Suku Anak Dalam takut hutan mereka akan habis akibat mereka pergi melangun.

Sukur dan Sanggul telah kehilangan tiga anaknya akibat penyakit yang menyerang. Gejalanya panas tinggi, kemudian sembuh dan meninggal dunia. Hingga saat ini, Sukur tak tahu apa nama penyakit tersebut.

"Pemerintah memang mau merumahkan kami, tapi kami tak mau. Pakai baju dan diam dirumah bukan budaya kami," kata dia.

Seorang Tumenggung atau kepala suku Anak Dalam, Ndamal, mengakui keberadaan mereka semakin terdesak dari hari ke hari.

Terdapat sedikitnya tiga perusahaan HTI, yaitu PT Tebo Multi Agro (TMA) 19.800 hektare, PT Lestari Asri Jaya (LAJ) 16.000 hektare, dan PT Wira Karya Sakti (WKS) 18.430 hektare di sekitar hutan yang biasa ditinggali orang rimba.

Kehidupan mereka pun terancam dengan adanya jalan koridor yang membelah hutan di Tebo tersebut. Ditambah lagi banyaknya penyakit yang diderita akibat masyarakat setempat yang mulai mengenal makanan kemasan.

"Istri saya, perutnya semakin membuncit. Sekarang terkulai lemah. Mau dibawa ke puskesmas tak ada kendaraan. Terpaksa dibiarkan saja," ujarnya sembari menunjuk istrinya yang terkulai lemah di dekat pondoknya, tepat di samping jalan koridor perusahaan.

Pihak perusahaan, kata dia, tak peduli dengan keberadaan suku Anak Dalam.

Di hutan tersebut diperkirakan terdapat 25 harimau sumatra, 30 gajah dan 100 orang utan. Selain itu, juga terdapat tanaman herbal yang digunakan untuk pengobatan Anak Dalam.

Suku Anak Dalam termasuk kategori Melayu Tua (Proto Melayu) dan berasal dari Kubu Karambia, daerah di Padang Panjang. Suku itu, menurut sebagian kalangan antropolog, merupakan suku penakut, sehingga melarikan diri masuk ke hutan pada masa penjajahan Belanda.

Talang Mamak
Talang Mamak, suku pedalaman yang hidup di Kabupaten Indragiri Hulu pun tak luput dari ancaman kepunahan.

Irasan, lelaki berusia 77 tahun, keluarga suku Talang Mamak yang bermukim di Talang Gedabu, Rakit Kulim, Indragiri Hulu, mengatakan, hutan adat yang selama ini menjadi kebanggaan mereka lambat laun hilang dan berganti dengan area perkebunan.

"Adat itu seperti nyawa bagi kami, terutama para orang tua warga Talang Mamak. Hutan adat dijadikan salah satu pedoman dalam menjalani hidup bagi kami. Tanpa hutan, kami tak ada artinya," kata dia.

Hutan memberi peran bagi Talang Mamak seperti pengobatan. dukun-dukun Talang Mamak biasa mengobati pasiennya dengan dedaunan yang ada di hutan.

"Di sini, kami sudah menetap. Tak lagi berpindah, namun jauh dari puskesmas. Tetap saja, kami berobat dengan dukun," kata Johanen.

Berdasarkan hasil Ekspedisi Biota Medika (1998) menunjukkan, Suku Talang Mamak memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan mengenali 22 jenis cendawan obat.

"Ketika zaman penjajahan, kami dilindungi. Tapi kini, ketika sudah merdeka, kami semakin tak punya rumah. Adat istiadat kami, seperti begawai (pesta pernikahan) atau turun tanah (upacara kematian) sudah jarang," tambah dia.

Di lingkungan tempat tinggal Talang Mamak yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, terdapat empat kawasan Rimba Puaka, yakni Hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, Hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare, dan Hutan Kelumbuk Tinggi Baner 21.901 hektare.

"Hutan pusaka, yang tak boleh ditebang pun sudah habis kini. Habis hutan, habislah adat. Generasi muda pun semakin tak beradat," tutur lelaki yang merupakan seorang batin (kepala suku) di Talang Gedabu tersebut.

Ada dua versi asal muasal Suku Talang Mamak. Pertama, mereka berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat, yang terdesak akibat konflik adat dan agama.

Yang lain, mereka berasal dari keturunan Nabi Adam ke tiga yang diperkuat bukti berupa tapak kaki manusia di daerah Sungai Tunu Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu.

Jejak itu diyakini sebagai tapak kaki tokoh masyarakat adat Talang Mamak. Dulunya ada tiga patih yang memerintah Talang Mamak di bawah Kesultanan Indragiri, yakni Patih Durian Cacar, Talang Gedabu, dan Perigi.

Namun karena satu dan lain hal, Sultan Indragiri pada masa itu, menurunkan jabatan dua patih menjadi batin, hingga akhirnya saat ini hanya ada satu patih yakni Patih Durian Cacar yang saat ini dijabat Patih Laman.

Patih Laman, pemimpin tertinggi suku Talang Mamak, sempat menghebohkan bumi lancang kuning pada awal tahun 2010.

Ia bersikukuh ingin mengembalikan kalpataru yang diterimanya pada 2003. Patih Laman menilai dirinya gagal menjaga hutan kelestarian, Hutan Panguanan dan Panyabungan, yang merupakan hutan adat. Hal itu disebabkan pemerintah terus memberikan izin perkebunan di daerah tersebut.

Terancam
Pengamat suku pedalaman Yoserizal Zen mengatakan, kebudayaan suku pedalaman yang hidup di sejumlah Kabupaten di Riau maupun Jambi terancam punah jika pemerintah tidak mengambil langkah pencegahan untuk melindungi suku tersebut.

"Dengan banyaknya izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada sejumlah perusahaan HTI, bukan tidak mungkin akan mengancam kebudayaan suku pedalaman tersebut," kata dia.

Ia mengatakan, suku pedalaman atau yang biasa disebut dengan suku asli Riau tersebut hidup di sejumlah hutan yang terdapat di Riau.

Jika pemerintah terus memberikan izin konsesi, maka dipastikan suku pedalaman tersebut tidak lagi mempunyai rumah dan kebudayaan yang hinggap bersama mereka akan punah.

"Contohnya saja bahasa yang digunakan oleh suku Talang Mamak yang hidup di Kabupaten Indragiri Hulu. Bahasa tersebut mulai jarang digunakan. Suatu bahasa, jika yang menggunakannya kurang dari seratus maka dikategorikan punah," katanya.

Tak hanya bahasa, lanjutnya, juga sejumlah kebudayaan lain seperti tarian bola api yang juga dimainkan masyarakat Talang Mamak.

Saat ini, tarian tersebut tidak lagi dimainkan karena hilangnya salah satu mantra.

"Hal ini juga terjadi pada tarian Zapin Api pada suku Akit, yang juga tidak lagi dimainkan akibat hilangnya satu mantera. Akibatnya, tak satu pun yang berani memainkan tari zapin karena takut terpanggang," tutur dia.

Terlebih lagi, warisan yang diberikan dari suku pedalaman ini tak hanya dalam bentuk tarian maupun bahasa saja, melainkan juga teknologi, seperti sistem penanaman padi yang berlaku di Talang Mamak.

Menurut Yoserizal, setidaknya terdapat 12 suku pedalaman yang ada di Riau."Mungkin sudah nasib suku pedalaman seperti itu," katanya.
(KR-IND/B/s018/s018)

Pewarta: Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010