Tanjungpinang (ANTARA News) - "Belum sah pergi ke Tanjungpinang, jika tidak singgah ke Pulau Penyengat. Belum sah bagi umat Islam yang sudah ke Tanjungpinang, jika belum menyempatkan diri untuk singgah dan sholat di Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat".

Itulah beberapa ungkapan sebagian warga Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), kepada tamu yang datang dari daerah lain, maupun warga lainnya di Indonesia.

Pulau Penyengat terletak di bagian barat Kota Tanjungpinang, dapat ditempuh dengan perjalanan laut lebih kurang 15 menit dengan menggunakan "pompong" atau kapal motor kecil dari Pelantar Penyengat yang bersebelahan dengan pelabuhan internasional Sri Bintan Pura.

Cukup merogoh kocek dengan uang Rp5.000, sudah bisa sampai di pulau yang menyimpan sejarah kebesaran Kerajaan Riau-Lingga pada abad ke-18 tersebut di ibu kota Provinsi Kepri itu.

Ada sekitar 17 situs sejarah Kerajaan Riau-Lingga yang bisa dilihat peninggalannya oleh warga atau wisatawan yang berkunjung ke Pulau Penyengat, diantaranya Masjid Sultan Riau yang langsung menyambut siapapun tamu yang datang di pelabuhan beton Pulau Penyengat dari Tanjungpinang.

Masjid Sultan Riau, dibangun pada 1803 Masehi oleh Sultan Mahmud Syah dan direnovasi oleh Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman pada 1832 Masehi.

Masjid yang masih berdiri kokoh dan digunakan sehari-hari untuk ibadah sholat bagi umat Islam tersebut, seolah menarik pendatang dari umat Islam untuk segera menunaikan sholat dan mengetahui sejarah Masjid yang konon sebagian bahan bakunya berasal dari putih telur ayam.

"Masjid Raya Sultan Riau masih asli dan belum pernah dilakukan pemugaran dari tahun 1832 Masehi," kata Ketua Pengurus Masjid Sultan Riau, Raja H Abdurrahman (62), yang ditemui dikediamannya tidak jauh dari Masjid, Kamis (5/8).

Laki-laki yang sudah ubanan tersebut mengatakan, Masjid yang juga dikenal dengan sebutan Masjid Raya Penyengat mulai dibangun pada 1803, saat Sultan Mahmud Syah membenahi Pulau Penyengat yang merupakan benteng pertahanan pada masa Raja Ali Haji berperang melawan Belanda pada 1782 Masehi.

"Saat Sultan Mahmud membenahi Penyengat untuk pusat bandar (kota), pertama sekali dibangun adalah Masjid Raya Sultan Riau," ujarnya.

Pulau yang mempunyai luas sekitar 240 hektar atau 3,5 kilometer persegi, terdiri atas daratan 40,8 hektar dan perbukitan seluas 192,2 hektar tersebut terus dibangun Sultan Mahmud Syah dengan membangun istana serta bangunan pendukung lainnya hingga menjadi pusat kota.

"Barulah pulau Penyengat dihadiahkan kepada Engku Putri sebagai hadiah perkawinan dari Sultan Mahmud Syah setelah semua fasilitas pendukung lengkap," jelas Abdurrahman.

Raja Hamidah atau Engku Putri menetap di Pulau Penyengat semenjak itu dan diberi kekuasaan oleh Sultan Mahmud Syah dengan menyerahkan alat-alat kebesaran Kerajaan Riau-Lingga yang salah satunya berupa Cogan.

Seiring perkembangan pusat perkotaan dan pertumbuhan penduduk Pulau Penyengat, maka direnovasilah Masjid Sultan Riau oleh Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdul Rahman pada 1932 Masehi.

"Saat itu pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M), Raja Abdul Rahman menyerukan kepada rakyatnya untuk berjihat di jalan Allah (Fisabilillah) dengan membangun Masjid Sultan Riau lebih besar agar bisa menampung jamaah," kata Abdurrahman.

Seluruh warga Pulau Penyengat waktu itu secara bergotong-royong siang dan malam membangun Masjid dan juga dibantu oleh masyarakat sekitar Pulau Penyengat, bahkan rakyat dari seluruh daerah kekuasaan Raja Abdul Rahman.

"Kaum perempuan bekerja di malam hari dan laki-laki bekerja pada siang hari, pondasi Masjid waktu itu bisa diselesaikan selama tujuh hari tujuh malam," ujarnya seolah-olah bisa mengenang waktu pembuatan Masjid itu.

Putih telur

Bantuan makanan, berupa lauk-pauk, sayur-sayuran dari berbagai penjuru juga datang untuk pekerja yang membangun masjid, termasuk telur ayam kampung yang mencapai beberapa kapal tongkang.

Saking banyaknya telur ayam, pekerja hanya mengambil kuningnya untuk dimakan dan membuang putihnya.

"Saat itulah arsitek Masjid asal India yang didatangkan dari Singapura, memanfaatkan putih telur sebagai bahan campuran pasir, tanah liat dan kapur," jelasnya.

Padahal menurut dia tidak ada rencana membangun Masjid dengan putih telur oleh arsitek yang menurut sejarahnya juga pernah mengerjakan salah satu keajaiban dunia Taj Mahal, India.

Saat itu, menurut dia, Yang Dipertuan Muda memerintahkan seluruh rakyat didaerah kekuasaannya untuk mencari telur burung layang-layang di tukong-tukong (goa batu) di Laut Natuna dan Lingga sebagai persiapan jika putih telur ayam kampung tidak mencukupi.

"Telur burung layang-layang tidak jadi digunakan karena telur ayam kampung mencukupi untuk membangun Masjid seluas 20x18 meter yang masih kokoh dan berfungsi hingga saat ini," katanya.

Ketebalan dinding bangunan masjid cukup tebal diperkirakan mencapai sekitar 40 centimeter.

Menurut Abdurrahman, lama pengerjaan Masjid Sultan Riau tidak tercatat dalam sejarah, yang diketahui hanya lama pengerjaan pondasi setinggi lebih kurang 3 meter selama tujuh hari tujuh malam.

"Saat itu warna bangunan Masjid Sultan Riau berwarna putih, saat ini sudah dicat dengan warna kebesaran Melayu warna kuning dipadukan dengan warna hijau sebagi warna kebesaran umat Islam," katanya.

Disisi kiri kanan masjid terdapat bangunan tambahan yang disebut dengan Sotoh (tempat pertemuan), sehingga luas keseluruhan komplek Masjid Sultan Riau mencapai 54,5 x 23,5 meter.

Simbol rakaat sholat

Ruangan Masjid Sultan Riau bisa dibagi lima ruangan, yang menurut Abdurrahman sebagai penanda Rukun Islam ada lima, dengan ditopang empat tiang beton didalam ruangan berdiameter sekitar 1 meter yang menggambarkan Gurindam Dua Belas yang dinyatakan Raja Ali Haji, "Barang siapa mengenanal yang empat, maka dia itulah orang yang ma`rifat".

Empat tiang tersebut juga menandakan Islam mempunyai empat Mazhab, yaitu Hambali, Maliki, Syafii dan Hanafi.

Atap kubah Masjid Sultan Riau juga ada 13 kubah yang diartikan sebagai penanda Rukun Sholat lima waktu ditambah dengan empat menara tempat Bilal mengumandangkan azan yang diperkirakan setinggi 18 meter.

"Jika digabungkan 13 kubah dengan empat menara menandakan jumlah rakaat sholat lima waktu sebanyak 17 rakaat," kata Abdurrahman.

Corak bagian dalam 13 kubah tersebut juga memiliki corak dan variasi yang berbeda satu sama lainnya, ada yang berbentuk bulat, segi tiga, segi lima, segi empat dengan lonjong keatas, yang menurut sejarahnya diartikan sebagai sholat lima waktu memiliki jumlah rakaat yang berbeda.

Di Masjid Sultan Riau yang sudah berumur lebih kurang 207 tahun tersebut juga masih tersimpan peninggalan sejarah yang memiliki nilai sejarah tinggi, diantanya dua buah kitab Alqur`an tulisan tangan pada tahun 1752 Masehi dan tahun 1867 Masehi.

Alqur`an tulisan tangan pada tahun 1752 ditulis oleh Abdullah Al Bugisi dan pada 1867 ditulis oleh Abdurrahman Istambul, putra Riau yang disekolahkan ke Istambul oleh Raja dan menulis Alqur`an sesampai di Penyengat.

Alqur`an tulisan tangan Abdurrahman Istambul masih bisa dilihat didalam Masjid yang dipajang didalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan karya Abdullah Al Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena sudah rusak dan rapuh.

"Alqur`an tulisan tangan Abdullah Al Bugisi sudah rusak, tulisan ayat-ayat Alqur`an yang ditulisnya seperti terbakar dan tidak bisa dibaca lagi, sedangkan bagian pinggir kertasnya masih utuh," kata Abdurrahman yang sehari-hari mengurus Gurindam Center.

Selain Alqur`an tulisan tangan, peninggalan sejarah yang ada di masjid tersebut berupa Mimbar untuk Khatib dalam Sholat Juma`t yang didatangkan dari Demak, berupa kayu jati ukiran Jepara dan masih difungsikan sampai sekarang untuk Khatib Sholat Jum`at dan hari raya.

"Lampu kristal hadiah dari Kerajaan Pruisia (Jerman) pada tahun 1860-an masih terpasang di salah satu bagian kubah masjid," kata Abdurrahman.

Kitab-kitab kuning juga masih banyak tersimpan di Masjid yang hampir setiap harinya ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun dari Malaysia dan Singapura, apalagi menjelang puasa dan pada saat lebaran untuk beribadah dan melihat situs peninggalan sejarah lainnya di Pulau Penyengat.



Hari besar Islam



Di Masjid Raya Penyengat juga sudah menjadi tradisi memperingatai hari-hari besar Islam, seperti I Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga hari pada malam hari dengan Ratib Saman.

"Tujuannya untuk pembersihan kampung dari hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat yang dianggap angker," kata Abdurrahman.

Pada Maulid Nabi Muhammad SAW juga berkeliling kampung sebelum membacakan surat Barzanji di Masjid.

Selain itu juga pembacaan hikayat Isra Mi`raj saat peringatan Isra Mi`raj.

"Beberapa hari sebelum datang bulan Puasa juga dilakukan `Kenduri Jamak` yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga lainnya di Masjid Sultan Riau," katanya.

Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau milik Engku Putri itu.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Abdul kadir Ibrahim, mengatakan, pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerjaan Riau-Lingga du pulau itu.

"Kami juga telah mengusulkan kepada Pemerintah Provinsi Kepri untuk menata lebih baik kawasan dilingkungan Masjid yang satu-satunya di Indonesia memakai bahan baku putih telur, agar tertata dengan lebih baik dan tetap terpelihara keasliannya," ujarnya yang biasa disapa Akib.

Pelestarian benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat dibawah pengawasan Pemkot Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kebudyaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Sumatra Barat dan Balai Arkeologi Medan.
(T.HM/P003)

Oleh Oleh Henky Mohari
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010