Yogyakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengatakan, ada unsur rekayasa politik dalam kasus Komando Jihad di era Orde Baru yang ditandai operasi intelijen melalui Operasi Khusus.

"Selain itu, juga tampak jelas penyalahgunaan aparat militer yang bernaung di bawah Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) di tingkat pusat dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) di tingkat daerah," katanya di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia dalam ujian promosi untuk memperolehdoktor ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, seluruh proses peradilan menunjukkan bahwa institusi peradilan berjalan di bawah kontrol politik dan kekuasaan pemerintah.

"Akibatnya, proses peradilan berjalan tidak independen dan tidak transparan," katanya. Ia mempertahankan disertasinya berjudul Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman di hadapan tim penguji.

Ia mengatakan,rezim Orde Baru telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen untukmerekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim.

Muara dari proses peradilan kasus Komando Jihad itu adalah praktik kekuasaan kehakiman yang tidak independen dan tidak transparan di bawah tekanan sebuah rezim politik otoriter dan antidemokrasi.

"Indikasi itu tampak dalam proses peradilan dan putusan peradilan yang menyalahi peraturan dan ketentuan hukum sebagaimana yang harus dijunjung tinggi oleh negara hukum," katanya.

Menurut dia, institusi peradilan menjadi alat penguasa sehingga mengakibatkan sejumlah warga negara mengalami tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat pemerintah.

"Seiring dominasi penguasa, terjadi pelanggaran institusi peradilan yang menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mampu berjalan secara independen dan transparan," kata penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) pada 2008 itu.

Dalam uji disertasi dengan promotor Prof Mahfud MD itu promovendus dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sehingga berhak menyandang gelar doktor.
(ANT/A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010