Jakarta (ANTARA News) - "Saya orang yang sangat percaya bahwa memberi dan selalu memberi adalah rencana keuangan terbaik."

Siapa pun pasti suka mendengar pernyataan itu. Sarat pesan moral dan agama. Nilai-nilai yang dulu sering disuntikkan orang tua dan ustad ngaji, atau guru agama di sekolah. Juga para alim ulama, khatib Jum'at, dan Dai dalam ceramah-ceramah agama tentang sedekah. Mereka bilang tangan harus di atas, daripada di bawah. Mereka bilang memberi lebih mulia daripada menerima.

"Belum pernah ada cerita seseorang bangkrut akibat gemar bersedekah. Cerita yang ada, justru yang bangkrut itu orang pelit dan kikir. Tuhan yang Maha Pengasih saja membenci orang kikir, kata ustad. Tahu, kenapa? Karena jelas cara itu tidak mempercayai Dia!"

Segala pernyataan mengenai sedekah itu bukan tanpa dalil. Surat Al Baqarah (QS: 261) salah satu yang menjadi pijakannya. Isinya "... perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."


Bulan bersedekah

Ramadhan bagi umat Islam adalah bulan bersedekah. Itulah saat sedekah dikobarkan. Diyakini, sebaik-baik perbuatan adalah bersedekah, mengeluarkan zakat. Itu juga bermanfaat untuk membersihkan harta."

Perkataan yang menakjubkan, "Saya orang yang sangat percaya bahwa memberi dan selalu memberi adalah rencana keuangan terbaik", diucapkan oleh Michael Blomberg, Walikota New York yang disiarkan seluruh media massa dunia, persis di awal Ramadhan 1431 H.

Tidak jelas apa hubungan pernyataan yang mengandung perintah agama itu dirilis persis di bulan Ramadhan yang memuliakan sedekah. Mengesankan Blomberg seperti orang yang pernah belajar ngaji pada guru ngaji yang sama dengan kita, umat Islam, di masa kecil dulu.

Ini persoalannya: Blomberg bukan Muslim. Tentu tidak pernah mengaji, apalagi pada guru ngaji saya di kampung. Blomberg menyumbangkan 254 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp2,30 triliun kepada 1.400 lembaga nirlaba di seluruh dunia. Sumbangan itu kabarnya senilai 60 prosen dari seluruh hartanya.

Michael Blomberg bersama 40 miliarder AS memang telah berkomitmen menyerahkan separuh kekayaan mereka ke lembaga amal. Langkah itu kabarnya bakal diikuti para miliarder lain di dunia. Aksi amal dalam jumlah luar biasa besar ini dipimpin pendiri perusahaan piranti lunak komputer Microsoft, Bill Gates, dan investor saham kenamaan Warren Buffett.

Majalah Forbes memperkirakan dana yang terkumpul bakal mencapai lebih dari 150 miliar dolar AS atau setara Rp1.380 triliun. Tapi dalam hitungan Wall Street Journal dana amal yang terkumpul bisa mencapai 600 miliar dolar AS atau setara Rp5.451 triliun.

Aksi filantropi itu digalakkan Gates dan Buffett melalui program "The Giving Pledge". Aksi amal itu digelar kedua miliarder ternama itu sejak Juni lalu. Tujuannya hanya mengajak, bukan mengumpulkan atau menghimbun sumbangan dari para konglomerat dunia itu.


Gates dan cerita Rp5 Miliar per minggu

Bill Gates pendiri Microsoft. Sejak lama kita dengar orang terkaya kedua dunia ini memendam kegelisahan terhadap hartanya. Beberapa tahun lalu ada cerita, dia memanggil notaris dan menceritakan memiliki penghasilan per minggu sekira lima miliar rupiah.

Dia memerintahkan notarisnya agar seluruh penghasilan itu diserahkan kepada badan amal dan lembaga pendidikan yang membutuhkan. Dari uang sebanyak itu, dia cuma minta disisakan untuk mentraktir keluarganya tiap Sabtu-Minggu.

Buffett, Gates bersama istri Melinda Gates, telah berbicara di depan 20 persen orang terkaya di AS yang berjumlah sekitar 70 hingga 80 orang. Jumlah ini belum seberapa karena berdasarkan data Forbes, terdapat 403 taipan yang tinggal di AS.

Buffett maupun Gates membujuk orang kaya itu untuk menyumbangkan separuh hartanya. Dalam setiap makan malam bersama para miliarder, Buffett meminta keluarga kaya untuk berbicara tentang apa yang akan mereka lakukan dengan kekayaan tersebut.

“Dalam banyak kasus, saya memiliki alasan yang dipercaya bahwa orang-orang itu punya kepentingan untuk beramal. Hingga kini 40 pengusaha telah menandatangani kesepakatan,” ujar Buffett.

Target Buffett dan Gates bukan hanya orang kaya di AS. Mereka juga mengincar para miliarder di China dan India. Mereka bakal bertemu para miliarder China September mendatang. Setelah itu mereka akan bertemu para pengusaha India pada bulan Maret tahun depan.

Buffett membantah bahwa aksi filantropi itu untuk menghindari pajak. Menurut dia, tak ada seorang pun yang ingin mendapatkan pengurangan pajak. “Saya pikir motivasinya lebih jauh, bukan masalah pajak,” ujarnya.


Penghianatan konglomerat

Belum diperoleh keterangan apakah Gates dan Buffett akan mengajak para konglomerat di Indonesia bergabung dalam The Giving Pledge. Menggugah konglomerat Indonesia menyumbangkan 50 prosen harta kekayaannya demi menyelamatkan umat manusia. Menyadarkan mereka untuk menghentikan kebiasaan menyelenggarakan charity bukan untuk tujuan murninya melainkan justru untuk semakin membenarkan perilaku buruk bisnisnya.

Menurut hemat saya, konglomerat di sini mestinya lebih sensitif untuk beramal, bersedekah, untuk tujuan perbaikan kualitas manusia Indonesia di masa depan. Pertama, mereka hidup di negara yang penduduk miskinnya amat besar, bayangkan lebih separuh dari 230 juta penduduk Indonesia.

Kedua, falsafah bangsa kita adalah Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial, dan keseimbangan kehidupan dunia dengan akhirat.

Ketiga, beramal dan bersedekah adalah momentum penyucian harta bagi sebagian konglomerat yang mungkin dulu terlibat kompolotan yang mengragot uang negara, uang rakyat lewat skandal Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), kong kalikong yang merugikan rakyat, mengubur aset dan asa komunitas warga masyarakat dengan lumpur beracun, dan beberapa tindak kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) lainnya.

Serangkaian tindakan itu pernah nyaris menenggelamkan bangsa dan negara, yang dampak kerusakannya masih terasa hingga sekarang. Yang beban pembayaran utangnya harus dipikul hingga sekarang oleh rakyat melalui pemotongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Keempat, mereka, maksudnya para konglomerat itu, harus memahami sejak rangkaian kasus itu terjadi, yang merupakan tindak penghianatan kepada Ibu Pertiwi, pengingkaran kepada nilai-nilai moral dan agama, praktis sejak itu bangsa ini tak kunjung habis menghadapi musibah bencana alam.

Kelima, tidak perlu sampai negeri ini karam dan bangsanya hancur berkeping-keping baru mereka unjuk keperdulian.


Gagasan Pak Harto

Sejak dulu kita prihatin pada sikap sebagian besar konglomerat dan orang-orang kaya Indonesia. Kita tahu di era kekuasaan Presiden Soeharto yang amat kuat pun, tidak mudah menagih komitmen berbangsa pada mereka.

Hampir dua dasawarsa lalu Pak Harto sudah secara terang-terangan menyatakan kecemasan terhadap sepak terjang konglomerat Indonesia yang bakal mengundang bencana dan malapetaka.

Data Bank Dunia yang menunjukkan hanya 5 persen orang Indonesia yang menguasai 85 prosen ekonomi di tanah air sudah mengisyaratkan Indonesia, seperti tabung tiga kilogram yang mudah terbakar dan meledak. Dan, memang itulah yang terjadi ketika kritis politik dan ekonomi bertandang bareng pada akhir tahun 1997, dan puncaknya terjadi kerusuhan massal pada 12 – 13 Mei 1998, yang mencabik-cabik bangsa ini.

Kejadian itu empat tahun setelah Pak Harto baru saja menggagas penggalangan dana dari para konglomerat untuk tujuan mengentaskan kemiskinan di tahun 1994. Pak Harto mengumpulkan para konglomerat di Bali, dan juga di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Pak Harto menagih komitmen sosial para konglomerat yang sudah menagantongi banyak keuntungan dari berbagai usaha mereka di negeri ini.

Gagasan itu pada awalnya tidak berjalan mulus. Pak Harto memang menghendaki agar pengusaha itu menyumbangkan satu persen dari kekayaaan mereka, namun disambut dingin oleh para konglomerat.

Menurut cerita yang beredar, Liem Soei Liong keberatan dengan menunjukkan contoh bahwa satu prosen dari kekayaan Group Salim terlalu besar untuk disedekahkan. Keberatan Om Liem membuat Pak Harto sempat naik pitam. Belakangan disepakatilah formulasi bantuan: yaitu konglomerat menyumbangkan dua perssen dari keuntungannya.

Sebenarnya jumlah itu masih lebih rendah dibandingkan zakat harta menurut ketentuan Islam, yaitu 2,5 persen. Bandingkan pula dengan Gates dan kawan-kawan yang menyerahkan lebih dari separuh kekayaannya.

Disaksikan Presiden Soeharto, pada suatu acara di tahun 1994, sedikit-dikitnya ada 96 konglomerat menandatangani "Deklarasi Jimbaran" yang berisi komitmen mereka untuk menyisihkan dua persen dari keuntungannya untuk pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Mereka diwakili Sudwikatmono, Bambang Trihatmodjo dan Sudono Salim (Liem Soei Liong). Hadir pula Aburizal Bakrie, Eka Tjipta Widjaja, William Suryajaya, Sofyan Wanandi, Ciputra dan Joso Abdullah, Mochtar Riady, James Riady, Henry Pribadi, Anthoni Salim dan Moeryati Sudibyo.

Gagasan Pak Harto ketika itu mengumpulkan para konglomerat, menurut Soedwikatmono, terkait kebijakan yang dikeluarkannya pada tahun 1993 tentang percepatan penurunan angka kemiskinan.

Kebijakan tersebut diwujudkan dalam program pemberdayaan penduduk miskin yang kemudian dikenal sebagai program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang pendanaannya berasal dari APBN. Program ini difokuskan pada sekitar 22.000 desa yang digolongkan tertinggal dari sekitar 65.000 desa di Tanah Air.

Pada bulan-bulan pertama sejak Desember 1996 hingga akhir Januari 1997, sekira 7.000 pengusaha secara sadar menyumbang dana yang jumlahnya mencapai Rp370 miliar yang disimpan atas nama Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) di Bank BNI.

Keluarga-keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah mempunyai buku tabungan Takesra diperkenankan untuk mulai “belajar” berusaha, baik dalam kelompok atau secara perorangan dengan mendapatkan kredit murah melalui program Kukesra. Takesra dan Kukesra merupakan program awal dan menjadi monumen bersejarah yang menandai kehadiran Yayasan Darmais.

Tidak jelas apakah ketika krisis politik meletus pada bulan Mei 1998 yang melengserkan Pak Harto, sumbangan para konglomerat penandatangan Deklarasi Jimbaran seluruhnya sudah disalurkan. Yang pasti, ongkos sosial dan politik peristiwa Mei 1998 luar biasa besar. Posisi hampir semua konglomerat pada masa itu menjadi fakir miskin. Seluruh konsekwensi bisnis mereka akibat krisis itu dibiayai negara alias dipikul rakyat. Dan, hal itu masih berlangsung hingga sekarang. Rakyat yang semula dianggap oleh para konglomerat itu sebagai beban.

Baik, kita tunggu respons para konglomerat kita ketika nanti diajak oleh Bill Gates bergabung dalam proyek Giving Pledge.

Saya khawatir Gates akan mengingatkan pula, "Hai orang orang kikir, suatu ketika Anda akan mendapat ganjaran, harta benda diambil oleh Tuhan kembali dengan cara yang amat menyakitkan dirimu.

Sebab, hal itu bisa berarti Gates lebih Pancasilais, dan mengerti kandungan surat At-Taubah (QS 9: 34): "Wahai orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah . Dan, orang-orang yang menyimpan emas dan perak yang tidak menginfakkan di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."

Hehh, kalau nantinya benar begitu, jangan-jangan Gates memang pernah mengaji, dan satu ustad ngaji dengan saya dulu. (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id, twitter: @ilham_bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010