Colombo (ANTARA News) - Bak tabu atau pamali dalam budaya asli Indonesia, "hukum" non formal serupa itu efektif membantu Srilanka memelihara alam, satwa, pepohonan dan tumbuhannya dari tangan jahil manusia.

Tak heran, di tempat-tempat apapun di Srilanka, nuansa hijau dominan menyelimuti alam, meski ada suguhan agak angker dari polisi dan tentara bersenjata lengkap yang menjaga sejumlah situs-situs politik dan ekonomi penting negeri itu.

Perlindungan warga Srilanka terhadap keselamatan hayati dan satwanya begitu tinggi. Tak saja karena keyakinan spiritual mereka, tapi juga karena negara memproteksinya lewat UU Perlindungan Satwa (Againts Animal Slauthering Act).

Di Colombo kota terbesar Srilanka, jalan-jalan raya yang umumnya lebar dijejeri pepohonan tinggi menjulang dan dedaunan yang lebat.

Tidak itu saja, taman-taman --baik peninggalan era lalu maupun yang dibangun kemudian-- siap menyejukkan pandangan, meski tak selalu terawat.

Tapi, pemandangan paling menonjol dari Colombo adalah cakrawala kota yang dipenuhi burung gagak. Ke sudut Colombo mana pun Anda pergi, gagak-gagak hitam akan selalu mengitari Anda, sementara suara kak kak kak-nya menjadi suara dominan di kota berpenduduk sekitar 1,6 juta tersebut.

Orang Indonesia umumnya mengasosiasikan burung gagak dengan kematian, tapi warga Colombo --begitu juga Srilanka-- memperlakukan burung hitam itu justru bagai simbol kehidupan.

Gagak tak saja terbang di atas pepohonan rimbun yang memenuhi pusat kota Colombo, namun juga "menguasai" trotoar jalan, terbang di antara jalan-jalan besar yang membelah kota, dan bersarang di atap-atap rumah penduduk.

Burung-burung hitam itu mengangkasa dan menghinggapi bagian dari banyak bangunan artistik nan monumental di kota yang sudah dikenal sejak 2.500 tahun lampau, namun baru dinamai Colombo oleh Portugal di abad 16 itu.

Gagak-gagak mengungkungi langit yang menaungi Masjid Jami Ul-Alfar yang merupakan situs paling banyak dikunjungi turis di Colombo.

Gagak juga memenuhi udara di atas Gereja St.Paul Milagiriya yang dibangun Portugis, juga menyelimuti distrik Fort yang terkenal karena kompleks Cargills & Millers yang dilindungi oleh UU dari kehancuran. Bahkan Galle Face Green, situs singgah paling elegan di Colombo juga dikuasai burung berparuh tajam itu.

Di Galle Face Green ini berjejer pohon palem asri menawan memagari pantai eksotis bertepikan ombak Samudera India.

Ini adalah kawasan paling sering dikunjungi warga Srilanka, bahkan pada Jumat dan Sabtu selalu padat pengunjung, terutama anak-anak yang bermain layangan dan muda-mudi yang lagi kasmaran.

Di daerah ini pula berdiri hotel bergaya kolonial yang sejak 1864 dianggap sebagai salah satu permata Asia, Hotel Galle Face.

Keluarga-keluarga kerajaan Inggris dan Eropa, serta selebriti dunia adalah pengunjung tetap hotel yang dikelilingi cafe, bar, dan butik-butik eksotis itu.

Semua satwa
Bukan hanya gagak, burung-burung eksotis lainnya yang mustahil Anda temui berkeliaran di kota-kota besar Indonesia dan ragamnya mencapai 400 spesies, bebas bersarang di mana saja di dalam kota yang sudah tercatat dalam peradaban Romawi kuno itu.

Di halaman Kedutaan Besar Indonesia di Colombo, Abdullah Zulkifli, Sekretaris Kedua Penerangan dan Sosial Budaya Kedubes RI di Colombo, menunjukkan kepada ANTARA News sejenis burung langka mirip burung anis enggano di Indonesia.

Burung ini bebas terbang hidup di taman kecil nan rimbun yang menghiasai halaman muka kompleks seluas satu seperempat hektar di mana Gedung Kedubes RI di Srilanka berada.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Srilanka, Djafar Husein, kompleks kedubes Indonesia di Colombo adalah areal kedubes terluas di antara semua kompleks kedubes Indonesia di seluruh dunia.

"Burung-burung ini bahkan bebas bersarang di sini. Tak ada satu pun manusia yang mengganggunya," sambung Zulkifli.

Warga Srilanka yang 70 persen beragama Budha menganggap tabu mengganggu, apalagi merusak, alam, baik satwa maupun fauna.

Pandangan relatif serupa diyakini orang-orang Hindu yang sebagian besar beretnis Tamil.

Tak heran, Srilanka menjadi surga satwa, tak saja untuk fauna langka dan dilindungi, tetapi juga binatang peliharaan biasa.

Oleh karena itu, jika Anda pergi ke negeri ini, jangan terlalu berharap mudah mendapatkan daging, kecuali daging ayam.

Unsur utama makanan orang Srilanka adalah ikan dan sayuran. Untuk itu, orang Srilanka, terutama dari etnis Shinala, begitu melindungi hewan.

Reinkarnasi
Bhudisme meyakini manusia berinkarnasi dalam satwa, fauna, atau manusia yang hidup kemudian. Untuk itulah mereka tidak pernah mengganggu alam, karena itu berarti mengusik sesamanya. "Bahkan kecoa saja mereka lindungi," kata Djafar.

Sebuah sikap hidup unik yang mungkin berlebihan bagi sementara orang, tapi faktanya efektif membuat alam Srilanka tetap elok dan lestari meskipun digerogoti lama oleh konflik yang kini mereda.

Eksotisme dan hijaunya alam Srilanka ini bahkan membuat New York Times menempatkan Srilanka pada urutan pertama dari 31 tujuan wisata dunia pada 2010, karena daya tarik alamnya yang mempesona.

Bagaimana tidak, hewan menjijikkan seperti kecoa saja mereka lindungi, apalagi satwa dan flora terancam punah yang jumlahnya memang tidak sedikit di Srilanka. Alhasil, keanekaragaman hayati pun terjaga.

Kendati luas tanahnya relatif kecil, hanya 65.000 km persegi, Srilanka dikaruniai keanekaragaman hayati yang luar biasa tinggi.

Inilah yang membuat negeri ini dikategorikan sebagai "hot spot" keanekaragaman hayati dunia. Asal tahu saja,di dunia ini ada 34 tempat yang diidentifikasikan sekategori dengan Srilanka.

"Endemi keanekaragaman hayati di Srilanka luar biasa tinggi," kata Vimukthi Weeratunga, kepala Unit Biodiversitas dari International Union of Conservation of Nature (IUCN) Srilanka.

Weeratunga menunjuk 27 persen spesies bunga-bungaan, 84 persen amfibi, 50 persen reftil, 54 persen ikan tawar, dan 85 persen siput dari total yang ada di dunia, hidup di Srilanka.

Dan negeri yang sedang memasuki tahap rekonsiliasi nasional itu menyadari betul keadaan wilayahnya.

Keasrian dan keindahan alam inilah yang mereka jual untuk memajukan negerinya, seperti Bali yang menawarkan eksotisme budaya, seni dan alamnya yang sudah mendunia itu.

Indonesia jelas bukan Srilanka, tapi ada pesan positif dari Srilanka, bahwa berbaik-baik dengan alam dapat dimulai dari meyakini alam sebagai tubuh kita sendiri.
Anda sakiti binatang dan pohon, berarti Anda merugikan diri Anda sendiri. (*)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010