yang bergelimang dengan kehidupan modern akhirnya kembali ke desa
Magelang (ANTARA) - Oleh karena intonasi kata "rindu" rada-rada bergenit-genit disampaikan Riyadi, salah satu tokoh komunitas seniman petani gunung, saat pidato pembukaan Festival Lima Gunung XX/2021 Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ia pun seketika jadi bulan-bulanan tertawaan audiensnya.

Kata "rindu", dipakainya sebagai salah satu poin menjelaskan jadi lebih gampang makna simbolik instalasi seni bernama "Cakra", dengan mengaitkan tradisi mudik sebagai wujud orisinal kerinduan manusia akan kampung halaman bertepatan dengan Lebaran.

Respons ger-geran "merundung" dia atas diksi itu, membuat kata "rindu" terdengar hingga sembilan kali, baik diungkap Riyadi maupun audiens sekitar 50 orang yang hadir pada hajatan seni budaya tersebut. Mereka yang boleh hadir pada pembukaan festival jumlahnya diperketat karena pandemi COVID-19. Protokol kesehatan pun diterapkan.

Tangkapan cepat persepsi rindu berhimpitan dengan jagat percintaan. Soal percintaan dengan kilat pula dipersepsikan sebatas relasi romantisme manusia berkelamin laki-laki dan perempuan, lebih artifisial lagi sekadar asmara sinetron pemuda dan pemudi.

Kira-kira sedemikian itulah respons cepat audiens pembukaan festival membelokkan maksud "rindu" yang universal dan manusiawi dalam pidato Riyadi. Suasana pun jadi ger-geran dengan sesahutan ungkapan "pating ceblung" (tak keruan) berolok-olok dan bercanda.

"Mudik itu, yang di kota, yang bergelimang dengan kehidupan modern akhirnya kembali ke desa, rindu dengan alamnya, rindu dengan keramahan 'tonggo teparo' (tetangga), ini bagian dari peradaban desa," ucap Riyadi.

Pembukaan Festival Lima Gunung XX/2021 ditandai dengan peluncuran "Hari Peradaban Desa". Soal peradaban desa sekaligus menjadi tema festival mereka tahun ini.

Pembukaan festival seni budaya secara mandiri oleh komunitas tersebuat, Jumat (21/5), digelar di mata air Tlompak. Festival diselenggarakan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang berlangsung dua bulan ke depan, bersiasat dengan pandemi. 

Lokasi sumber air Tlompak di antara dua tebing, setinggi sekitar 30 meter, di kawasan Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Untuk mencapai sumber air di antara berbagai pepohonan rimbun, yang juga menjadi tempat ziarah warga desa-desa sekitar, dari gerbang Tlompak di tepi jalan utama dusun, mereka melewati jalan setapak dengan ratusan undak-undakan dari cor semen.

Dengan dukungan anggaran desa dari pemerintah, sejak beberapa bulan lalu warga bergotong royong memperelok kompleks Tlompak, antara lain pengecoran jalan setapak berundak-undak, pembangunan talud, dan pembuatan taman kecil di depan sumber utama.

Dalam alam spiritual warga dan cerita kerakyatan turun-temurun di daerah itu, sumber air Tlompak suatu kerajaan dipimpin Prabu Singobarong dan Nyai Silem Dalem.

Untuk pembukaan festival, Tlompak dipasangi instalasi seni berwujud cakra, dibuat dari anyaman janur aren. Idenya dari tokoh utama lainnya di komunitas itu, Sujono Keron, setelah memahami alam gunung setempat yang dijumpai pohon-pohon aren.

Sekitar 80 cakra janur, antara lain dipasang di tatanan 12 bambu dan satu lainnya di lengkungan bambu di depan sumber utama air (tempat doa dan ziarah), sedangkan puluhan lainnya dipasang dalam bentangan melintang di atas tempat lapang di kompleks Tlompak yang menjadi lokasi pidato dan berperforma seni para seniman komunitas.

Sumber air Tlompak nampak berhias jadi elok, namun tetap natural. Pementasan performa seni, pembacaan puisi, lantunan tembang-tembang Jawa, bunyi-bunyi musik dari seruling, rebab, dan kempul, serta pidato kebudayaan sejumlah tokoh komunitas sebagai sapaan atas lingkungan alam setempat. Macam-macam burung dan satwa lain menimpali.

Hawa sejuk dan angin gunung, serta cahaya Matahari yang menyelinap melalui pepohonan untuk mencapai Tlompak seakan juga ikut menonton pementasan. Air dari sumber Tlompak, bagaikan pemilik hajatan.

Baca juga: Festival Lima Gunung 2020 pamerkan wayang karya maestro Rastika

Baca juga: Festival Lima Gunung Ke-19 diusung ke Universitas Mulawarman


Proporsi

Budayawan Magelang Sutanto Mendut mengemukakan pandangannya kepada ANTARA tentang proporsi instalasi cakra janur aren dengan suasana alam Tlompak dalam kaitan komunitas seniman petani yang dirintis dan dibangunnya sejak lebih dari dua dasawarsa lalu.

Dalam suatu acara komunitas itu di situs candi di kawasan Gunung Merapi di Dusun Windu Sabrang, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, lima hari sebelum tahun baru lalu atau 27 Desember 2020, Sutanto beroleh macam-macam gelar kejawen, "Ki Ageng", dari para pegiat komunitas. Salah satu gelar berdiksi "cakra", yakni "Ki Ageng Cokro Jiwo", disematkan ketua komunitas, Supadi Haryanto.

Dunia pewayangan, menceritakan tentang cakra sebagai senjata ampuh di tangan Kresna dalam epos Mahabharata. Ketika senjata itu dilontarkan maka ia melesat sambil berputar untuk mencapai sasaran.

Perputaran hidup manusia di tengah keadaan alam dan desa, menjadi basis lahirnya peradaban. Peradaban sebagai respons manusia pada sekeliling yang terdekat.

Oleh Tanto Mendut dicontohkan tentang respons manusia terhadap tumbuhan, ternak, tanah, Matahari, dan hujan, menjadi awal lahirnya peradaban.

Peradaban desa disebut dia sebagai kemurnian ciptaan Allah yang tak boleh dilupakan manusia, termasuk yang membuat kehidupan masyarakat desa menjadi guyup dan kompak.

"Sesudah itu dikembangkan. Peradaban mulai dari desa. Jangan melupakan basis itu. Jangan lupakan kemurnian ciptaan Allah" ucapnya.

Bagi Riyadi, cakra menjadi simbol filosofi perputaran kehidupan manusia di alam yang melahirkan peradaban. Kelindan desa, alam, dan manusia titik lahirnya peradaban.

Baca juga: Pandemi tranformasikan wadak ke batin Komunitas Lima Gunung

Baca juga: "Tapak Jaran Sembrani" kirim efikasi budaya hadapi pandemi
Para tokoh Komunitas Lima Gunung menjalani prosesi ritual di sumber air Tlompak, kawasan Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, saat pembukaan Festival Lima Gunung XX/2021, Jumat (21/5/2021). (ANTARA/Hari Atmoko)


Meskipun manusia tergoda dengan kehidupan mewah, ketercukupan, dan modern sebagaimana teridentifikasi dalam wajah kehidupan kota, akhirnya kehidupannya berputar dalam energi rindu akan makna desa dengan nilai-nilainya.

"Mudik dalam pandangan saya bagian dari pemaknaan simbolik cakra," ucap Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Desa Banyusidi di kawasan Gunung Merbabu itu.

Pemakaian janur aren untuk instalasi cakra menekankan penguatan warna kuning yang lebih tajam --ketimbang janur kelapa-- akan simbol warna keemasan, sebagai capaian tinggi keemasan perjalanan perputaran hidup manusia.

"Kalau mau cari nilai-nilai keemasan, alamatnya di desa," ucapnya seraya menambahkan bahwa tempat di mana tumbuh pohon aren tanda keberadaan sumber air. Soal makna perjalanan air juga tidak lepas dari perputaran kehidupan. Air dari mata air mengalir dan menguap menjadi awan serta hujan. Air hujan jatuh ke tanah kemudian masuk Bumi.

Simbol-simbol bersumber dari kekayaan pustaka alam dan gunung nampak selalu menjadi kekuatan Komunitas Lima Gunung dalam penyelenggaraan berbagai acara seni dan budaya. Festival mereka menjadi semacam perayaan tahunan kedekatan pegiat dengan alamnya.

Baik sebelum pandemi maupun selama dua tahun terakhir pandemi, suasana bersumber alam dihadirkan dalam festival, seperti pembuatan panggung di tempat terbuka dan pemasangan instalasi seni menggunakan karya kreatif jerami, bambu, kayu, belarak, bonggol dan daun jagung, rerantingan, serta janur.

Begitu juga dengan pusat aktivitas komunitas di Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang di mana Sutanto tinggal. Suasana studio di mana terdapat, panggung beralas tanah, Museum Lima Gunung, Perpustakaan Lima Gunung, serta beberapa tempat berincang-bicang, sebagai ruang terbuka dengan berbagai pepohonan, patung, lukisan, dan benda-benda seni lainnya, termasuk beberapa alat musik tradisional.

Oleh karena kedekatan mereka dengan alam, alam pun menanggapi dengan caranya yang mungkin absurd. Realitas absurd terakhir, terjadi ketika para tokoh utama komunitas itu berhalalbihalal Lebaran di Studio Mendut, Minggu (16/5) sore atau lima hari sebelum pembukaan festival.

Pada sesi satu persatu mereka sungkem dengan Sutanto Mendut, turun rintik-rintik air dari langit. Padahal langit sedang terang benderang. Peristiwa itu hanya sebenar, tak lebih dari 10 detik.

Saat rangkaian awal FLG XI/2012 di kawasan Gunung Andong Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, tiba-tiba hujan deras. Supadi yang menjadi tuan rumah festival bersama sesepuh dan warga setempat menggelar kenduri kedua kali di depan panggung terbuka samping rumahnya. Festival pun hingga hari puncak berlangsung lancar dan meriah.

Begitu pula hujan saat FLG XVI/2017 di Gejayan Merbabu. Berulang kali sejumlah seniman petani menyebarkan garam ke atas genting rumah warga di dekat panggung terbuka. Pementasan berbagai kesenian tetap lancar dan meriah. Peristiwa itu bagaikan mereka berdialog dengan alam yang mementaskan hujannya.

Sebelum Sutanto mengakhiri pidato kebudayaan tentang peradaban desa pada pembukaan FLG XX/2021, alam seakan memberi tanda. Langit di atas Tlombak yang sebelumnya relatif cerah makin bermendung agak tebal. Langit terkesan meredup, meskipun hingga akhir acara tidak hujan.

Salah satu pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaen Magelang Kiai Haji Muchammad Yusuf Chudlori pernah mengemukakan berbagai acara seni, tradisi, dan budaya diselenggarakan komunitas itu lancar dan bermakna. Ia menyebut komunitas tidak mengkhawatirkan hujan saat berkesenian.

Penulis kebudayaan, Bre Redana, saat penutupan FLG XIX/2020 di Candi Pendem, Dusun Candipos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun di kawasan Gunung Merapi pada 8 November 2020 menyebut Komunitas Lima Gunung sebagai kalis. Mereka memiliki pengalaman dan kekayaan batin secara bersama-sama dengan basisnya nilai-nilai budaya petani gunung.

Alam memang memikat dan menakjubkan, terasa pula tanda-tanda absurdnya. Keterbatasan jangkauan akal dan pancaindera terhadap macam-macam rupa sapaan alam, membuat manusia membenamkan fenomenanya ke benak, batin, dan imajinasi.

Dengan arah untuk bersyukur dan memandang positif berbagai peristiwa alam, nampaknya dialektika mereka itu bagian catu daya peradaban.

Kalau kaitan rahasia percintaan seniman petani Komunitas Lima Gunung dengan lingkungan alam dan gunung-gunung yang dirayakan dalam rupa festival tahunan, mungkin itu hanyalah testimoni peradaban desa.

Baca juga: Pembukaan Festival Lima Gunung ditandai peluncuran Hari Peradaban Desa

Baca juga: Komunitas Lima Gunung selenggarakan "Larung Sengkala" di Sungai Progo

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021