Jakarta (ANTARA News) - Persoalan sengketa perbatasan Indonesia - Malaysia bukan barang baru. Kasus fenomenal Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia tahun 2002 dan Blok Ambalat yang sempat meresahkan tahun 2005 dan 2009 adalah dua dari banyak contoh.

Tulisan ini tidak akan membahas semua aspek perbatasan Indonesia dan Malaysia. Setidaknya kita perlu tahu konsep kewilayahan dan tatacara berbagi laut dengan negara-negara tetangga.

Menurut hukum internasional yang dianut bangsa-bangsa di dunia, wilayah dan batas wilayah suatu negara adalah hasil warisan dari penguasa pendahulu, dalam hal ini para penjajah.

Prinsip ini disebut dengan uti posidetis juris yang juga mendasari konsep kewilayahan di Asia Tenggara. Wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Belanda, demikian pula wilayah Malaysia ada warisan dari Inggris.

Maka dari itulah, ketika menetapkan batas darat di Borneo, Indonesia dan Malaysia mengacu pada perjanjian Belanda dan Inggris, salah satunya Traktat 1891.

Dalam perkembangannya, penguasaan terhadap wilayah darat saja tidak cukup bagi suatu bangsa. Munculah kemudian usaha untuk menguasai laut di sekitar daratannya.

Pembagian laut sesungguhnya sudah terjadi sejak abad ke-15 saat terjadi kesepakatan antara Portugis dan Spanyol yang dengan kekuasaannya membagi-bagi laut di dunia.

Keduanya adalah kekuatan besar masa itu yang sangat berpengaruh. Seperti halnya isu lain di zaman itu, kekuatan gereja juga berperan penting.

Pada abad 20, usaha untuk menguasai laut ini terus berlanjut. Melalui Ordonansi 1939, misalnya, Belanda yang menguasai Indonesia saat itu menetapkan bahwa kewenangan terhadap laut berjarak tiga mil laut dari garis pantai masing-masing pulau di Indonesia.

Kawasan laut ini disebut laut teritorial atau laut wilayah yang juga diklaim oleh negara-negara lain ketika itu. Pada tahun 1945, misalnya, Amerika melakukan langkah lebih agresif lagi.

Presiden Harry S. Truman memproklamasikan bahwa dasar laut di sekitar daratan Amerika adalah kekuasaan Amerika sehingga mereka berhak memanfaatkan sumber daya yang ada padanya.

Pernyataan ini dikenal dengan Proklamasi Truman yang kemudian diikuti juga oleh negara-negara lain di Amerika Latin.

Pada tahun 1957, Indonesia mendeklarasikan penguasaannya atas laut diantara pulau-pulau di Indonesia melalui Deklarasi Djuanda. Hal ini merupakan respon atas Ordonansi 1939 yang dianggap tidak menguntungkan bagi Indonesia yang berbentuk kepulauan.

Dengan hanya memiliki 3 mil laut dari masing-masing pulau, ada banyak laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia. Selanjutnya hal ini diperjuangkan dalam dunia internasional.

Melihat fenomena klaim kawasan laut yang bersifat sporadis ini, pada 1958 PBB merasa perlu adanya pengaturan penguasaan atas laut. Dilakukanlah Konferensi PBB pertama tentang Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea) yang menghasilkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1958.

Dalam perkembangannya, terjadi penyempurnaan hingga disepakati konvensi terbaru yaitu UNCLOS 1982 yang kini sudah diakui (diratifikasi) oleh 159 negara dan satu Uni Eropa.

Indonesia, Malaysia dan Singapura juga telah meratifikasi UNCLOS 1982 ini yang artinya mereka tunduk pada aturan yang ditetapkan di dalamnya.

UNCLOS mengatur kewenangan suatu negara akan laut. Disebutkan bahwa sebuah negara pantai (coastal state) berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut, zona tambahan sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen (dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih.

Selain itu diatur juga apa yang dimaksud laut bebas dan Kawasan (the Area). Lebar masing-masing zona ini diukur dari garis pangkal (baselines) yang dalam keadaan biasa merupakan garis pantai saat air surut terendah.

Indonesia sebagai negara kepulauan berhak menarik garis pangkal berupa sabuk yang melingkupi keseluruhan kepulauan. Garis pangkal ini disebut garis pangkal kepulauan, berupa garis yang menghubungkan titik tepi pulau-pulau terluar Indonesia.

Indonesia telah menetapkan garis pangkal ini dan penyelesaiannya dilakukan Maret 2009 dengan menyerahkan daftar koordinat titik-titik pangkal kepada PBB.

Jika suatu negara tidak pernah mendeklarasikan garis pangkal semacam ini maka yang berlaku sebagai garis pangkal adalah garis pantainya ketika air surut terendah. Selanjutnya, zona-zona maritim seperti yang dijelaskan sebelumnya diukur dari garis pangkal ini.

Bisa dibayangkan, laut teritorial Indonesia yang berukuran 12 mil laut, misalnya, diukur dari garis pangkal kepulauan bukan dari garis pantai masing-masing pulau. Demikian pulau zona lainnya yang totalnya bisa berjarak 350 mil laut, atau lebih, dari garis pangkal.

Batas terluar zona-zona maritim ini bisa ditentukan sendiri (unilateral) jika ruang yang tersedia memungkinkan. Misalnya, di sebelah barat daya Sumatra, Indonesia bisa menentukan batas terluar ZEE sejauh 200 mil laut karena tidak ada negara lain di sekitar itu pada jarak 400 mil laut dari garis pangkal Indonesia.

Meski demikian, pada kenyataannya, tidaklah mungkin satu negara bisa mengklaim semua zona maritim hingga 350 mil laut dari garis pangkalnya di semua sisi tanpa berurusan dengan negara lain.

Jarak antarnegara yang cukup dekat membuat adanya tumpang tindih klaim antarnegara karena masing-masing memiliki hak yang sama sesuai hukum laut internasional.

Sebagai contoh, di sebelah utara Pulau Bintan dan Batam, misalnya, Indonesia tidak mungkin mengklaim laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pangkal karena jarak antara Bintan/Batam dengan Malaysia/Singapura kurang dari 24 mil laut.

Karena kedua negara tersebut juga memiliki hak atas laut seperti diamanatkan UNCLOS, maka harus terjadi pembagian laut sesuai aturan yang ditetapkan. Tentu bisa dipahami, baik Indonesia maupun Malaysia atau Singapura tidak mungkin akan mendapatkan laut teritorial selebar 12 mil laut seperti yang diatur UNCLOS.

Proses pembagian laut ini disebut dengan proses delimitasi batas maritim.

Mengingat zona maritim yang bisa dikuasai oleh suatu negara beragam jenis dan lebarnya, maka kemungkinan tumpang tindih juga beragam. Jika dua negara berjarak kurang dari 24 mil laut misalnya maka yang tumpang tindih adalah laut teritorialnya.

Jika jarak keduanya lebih dari 24 mil laut tetapi kurang dari 400 mil laut maka yang tumpang tindih adalah zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.

Maka dari itu, delimitasi atau pembagian laut juga berbeda-beda. Ada delimitasi laut teritorial, delimitasi zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Dalam situasi tertentu, delimitasi bisa dilakukan untuk multi zona. UNCLOS mengatur masing-masing delimitasi ini dengan ketentuan berbeda.

Dengan memahami proses delimitasi ini, bisa dimengerti bahwa suatu negara seperti Indonesia memang bisa menentukan sendiri garis pangkal yang melingkupi wilayahnya tetapi tidak bisa menentukan sendiri batas-batas kekuasaannya atas laut.

Diperlukan proses bilateral/multilateral. Karena posisinya, Indonesia memiliki 10 tetangga yang dengannya wajib menetapkan batas maritim. Proses ini bisa dengan negosiasi, mediasi, arbitrasi, atau menyerahkan kepada pengadilan internasional seperti International Court of Justice atau International Tribunal on the Law of the Sea.

Sampai kini, Indonesia sudah menyelesaikan sekitar 18 perjanjian batas maritim dengan tujuh tetangga (India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Papua New Guinea, dan Australia), meskipun belum tuntas.

Perjanjian batas maritim dengan Malaysia misalnya sudah disepakati tahun 1969 untuk Selat Malaka. Meski begitu, masih ada segmen batas maritim yang belum diselesaikan misalnya di selat Singapura dan perairan Tanjung Berakit.

Selain itu, Indonesia belum menyepakati batas maritim dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste. Jika pertanyaannya adalah 'mengapa sampai kini batas-batas itu belum terselesaikan?' maka jawabannya kembali pada kaidah interaksi antarbangsa tadi.

Batas maritim adalah urusan bilateral atau bahkan multilateral. Indonesia bisa saja cukup semangat menyelesaikannya tetapi tidak akan berhasil jika tetangga tidak/belum mau berproses bersama.

Bagaimana Indonesia bisa 'memaksa' tetangga agar gesit menyelesaikan masalah perbatasan? Ini sudah masuk ranah politik yang tentunya tidak mudah dijawab.

(Bersambung)

*) Penulis adalah Dosen Teknik Geodesi UGM dan saat ini sedang menyelesaikan jenjang S3 bidang kelautan di Universitas Wollongong, Australia

Oleh I Made Andi Arsana *)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010