Mataram (ANTARA News) - Di antara 1001 masalah terkait urusan tenaga kerja Indonesia (TKI) terdapat berbagai langkah perbaikan untuk memperlancar pekerjaan dan meredusi masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Berbagai langkah perbaikan itu diperlihatkan di Bumi Gogo Rancah (Gora) --sebutan provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)-- sehingga tak berlebihan bila dalam urusan TKI perlu belajar dari NTB.

NTB memiliki sejumlah keunggulan dalam urusan TKI yang tak dimiliki oleh provinsi lain, antara lain memiliki Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2008, memiliki rumah internet untuk TKI (Mahnetik), dan sinergi yang kuat antara pemerintah provinsi beserta 10 pemerintah kabupaten/kota di NTB, asosiasi pelaksana penempatan TKI swasta, lembaga swadaya masyarakat, bahkan lembaga asistensi dari luar negeri, seperti ANTARA (Australia-Nusa Tenggara Assistance for Regional Autonomy).

Tidak heran bila Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat dalam rangkaian kegiatan safari Ramadhan III di NTB 25-29 Agustus 2010 memuji komitmen pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota hingga kecamatan dan desa serta pihak terkait di NTB dalam urusan TKI.

"Kita memang perlu pemimpin yang luar biasa seperti ditunjukkan oleh Gubernur NTB dan kepala daerah di semua tingkatan di provinsi ini. Kita tidak perlu pemimpin yang reguler atau sekadar mengisi jabatan tanpa berbuat apa-apa bagi kemajuan rakyatnya," kata Jumhur kepada Gubernur NTB Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi di Mataram, Jumat.

Siapa nyana, ternyata Majdi pun mantan seorang TKI meskipun dikenal sebagai tokoh masyarakat yang lekat dengan kegiatan keagamaan.

Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi mengaku merupakan salah seorang mantan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

"Waktu belajar di Kairo saya bekerja menerjemahkan berita dan tulisan dari media berbahasa Arab ke bahasa Indonesia dan saya digaji sebanding dengan enam juta rupiah," kata Majdi yang bergelar akademi Master of Arts ini.

Majdi yang pada tahun 2009 menerima penghargaan Setya Lencana dari pemerintah pusat atas prakarsanya dalam meningkatkan kualitas urusan TKI itu menyatakan kepeduliannya untuk terus memperbaiki penempatan dan perlindungan TKI.

"Kalau ada yang kurang dalam urusan TKI jangan dicari siapa yang salah tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk mengisi kekurangan itu sehingga perbaikan dapat dilakukan bersama-sama," kata Gubernur termuda karena baru berusia 40-an tahun.

Jumhur mengandalkan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam peningkatan urusan TKI.

"NTB paling padat menempatkan TKI ke luar negeri dibandingkan jumlah penduduknya," kata Jumhur.

Jumhur menyebutkan Provinsi NTB setiap tahun menempatkan TKI ke luar negeri sebanyak 50.000 hingga 60.000 orang sedangkan jumlah penduduk NTB sekitar empat juta orang.

Sementara Jateng dan Jatim menempatkan TKI masing-masing sekitar 40.000 orang tiap tahun padahal penduduk di dua provinsi itu masing-masing puluhan juta orang.

Jumhur juga memuji NTB sebagai satu-satunya provinsi yang membuka layanan terpadu satu pintu (LTSP) sehingga pelayanan penempatan dan perlindungan TKI dapat dilakukan secara efektif dan efisien di satu tempat.

"Provinsi lain masih dalam persiapan. Sumut misalnya sudah ada surat keputusan gubernur tentang LTSP tetapi belum bisa " berjalan"," katanya.

Jumhur berharap pemerintah Provinsi NTB dapat meningkatkan keterampilan dan keahlian para calon TKI agar kualitas TKI yang ditempatkan ke luar negeri tidak sekadar menjadi penata laksana rumah tangga atau bekerja di sektor informal.

Ia menyebutkan, kebutuhan tenaga kerja sektor formal yang memiliki keterampilan dan keahlian sangat terbuka seperti di AS yang membutuhkan satu juta orang tenaga kerja dan di Eropa membutuhkan 1,1 juta orang. Begitu pula negara-negara Timur Tengah yang banyak membutuhkan perawat.

"Ke depan diperlukan penempatan TKI yang lebih profesional," katanya.

Gubernur NTB, Tuan Guru Haji M. Zainul Majdi, menambahkan bahwa NTB dalam waktu dekat membuka balai latihan kerja internasional di Lombok Timur sebagai tempat penyiapan TKI yang profesional dan terlatih yang bisa menampung hingga 1.000 orang calon TKI.

Ia berharap, pemerintah pusat dapat memberikan kuota TKI dari NTB sehingga dapat kepastian dan terukur kemampuan provinsi ini dalam menempatkan TKI.

"Misalnya, dari NTB dibutuhkan 200 orang tenaga kesehatan berkemampuan bahasa Inggris, kami akan mati-matian menyiapkannya. Mohon ini jadi perhatian pemerintah pusat," katanya.

Sedangkan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram Prof Galang Asmara, mengingatkan bahwa pemerintah jangan terjebak menempatkan TKI tetapi yang ada sesungguhnya merupakan perbudakan karena banyak TKI yang tidak mendapat perlakuan yang baik.

"Saya setuju suatu saat tenaga kerja pembantu rumah tangga perlu distop karena bisa menjadi perbudakan karena tidak terlindungi oleh undang-undang sehingga berpotensi menimbulkan masalah," kata Jumhur.

Apa yang disampaikan Galang menjadi perhatian mengingat dari sekitar enam juta orang TKI yang bekerja di 41 negara, sebagian besar bekerja sebagai penata laksana rumah tangga alias pembantu rumah tangga atau pekerja sektor informal.

Pekerja sebagai pembantu rumah tangga rawan terhadap masalah karena hubungan kerja dengan majikan bersifat subyektif, sifat kerja tertutup karena 24 jam sehari berada di rumah majikan, tidak terjangkau oleh undang-undang ketenagakerjaan, dan tidak jarang tanpa kontrak kerja yang dapat dilindungi.

Dan NTB sedang bergeliat menempatkan TKI sektor formal yang lebih terbekali dengan berbagai keahlian dan keterampilan.
(T.BS/P003)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010