Pontianak (ANTARA News) - Kalau sebagian masyarakat Indonesia umumnya lebih menginginkan anak yang dilahirkan adalah laki-laki, tetapi berbeda dengan sebagian masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat.

Sebagian besar masyarakat menganggap anak laki-laki bisa menopang ekonomi orang tua ketika mereka besar nantinya, selain itu sebagai penerus gen si bapak kalau anak tersebut nantinya membina rumah tangga.

Berbeda dengan masyarakat Tionghoa, mereka lebih menginginkan anak yang dilahirkan perempuan agar bisa menghasilkan dolar Amerika Serikat (AS) yang banyak ketika mereka dewasa.

Pandangan terbalik itu banyak dijumpai pada masyarakat Tinghoa yang melakukan praktek pengantin pesanan bagi anak gadisnya untuk dikawinkan dengan pria asal Taiwan yang mereka anggap dari keluarga kaya.

A Miau (70) salah seorang warga Tionghoa, Tebas Pasar, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, misalnya telah sukses mengantar tiga anak gadisnya menikah dengan pria Taiwan. Perekonomian A Miu sebelum anaknya menikah dengan pria Taiwan bisa dikatakan tergolong miskin.

Kini kehidupan mereka cukup mampu dibanding tetangga dan setelah menikahkan ketiga gadisnya dengan pria Taiwan.

Rumahnya saja kini sudah dua lantai dengan atap seng metal dan pondasi semen, sehingga terbilang mewah kalau dibandingkan dengan tetangga terdekatnya.

Pengantin Pesanan

Tokoh Tionghoa Kota Pontianak, Kalimantan Barat, XF Asali, menyatakan bahwa kawin pesanan yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan Tionghoa asal Kota Singkawang dengan pria asal Taiwan tidak semuanya berdampak negatif.

"Hampir 98 persen kawin pesanan/kontrak yang dilakukan oleh gadis Tionghoa Singkawang dan Sungai Pinyuh, berdampak positif," kata XF Asali.

Karena media hanya mengangkat yang bermasalah, sehingga seolah-olah kawin kontrak banyak dampak negatifnya daripada positif. "Padahal tidak sedikit devisa yang dihasilkan oleh mereka, pada saat mengirim uang pada orang tua mereka," katanya.

Menurut Asali, tiga keponokannya kawin dengan warga negara Hongkong. "Kini kehidupan mereka cukup mapan, perekonomian orang tua mereka juga ikut mapan karena sering dikirimi uang oleh anaknya," kata Asali.

Kencenderungan pria Taiwan memilih gadis Tionghoa asal Singkawang karena suku Hakka, yakni lebih mudah bersosialisasi, kemiripan budaya, dan manut atau patuh kepada suami.

"Malah saat ini ada pola pikir warga Tionghoa berharap melahirkan anak perempuan ketimbang laki-laki, karena bisa menghasilkan banyak dolar Amerika," kata XF Asali.

Terselubung

Aktivis Perhimpunan Perempuan Dayak Kalimantan Barat, Katarina Lies, menyatakan bahwa kawin pesanan yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan Tionghoa asal Kota Singkawang dengan pria asal Taiwan, kini dilakukan secara terselubung.

"Sejak Kalbar memiliki Peraturan Daerah tentang Trafficking/perdagangan manusia. Praktek kawin kontrak pada dasarnya masih banyak, tidak dilakukan secara terang-terangan seperti dulu, tetapi sudah terselubung," katanya.

Katarina mencontohkan, kalau dulu sebelum pemerintah dan aktivis gencar mengkampanyekan perdagangan manusia. Para pria Taiwan langsung datang ke Kota Singkawang untuk memilih calon pengantin wanita yang dia sukai.

"Sekarang, mereka sudah tidak langsung datang, melainkan melalui calo-calo. Cukup berbekal contoh foto, kalau cocok, si pria transfer uang, calon pengantian wanita menyusul ke Taiwan," katanya.

Akibat praktek terselubung tersebut, sehingga sulit dilacak. "Kalaupun baru muncul ke permukaan ketika kawin kontrak itu mengalami masalah," ujarnya.

Katarina menjelaskan, dampak negatif akibat kawin kontrak, tidak sedikit masalah yang dialami korban, seperti kerap mendapat perlakukan kasar oleh suami maupun keluarga, karena dianggap tidak sederajat, serta kehilangan kewarganegaraan.

"Kawin kontrak termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, sehingga harus ditekan seminimal mungkin praktek tersebut," katanya.

Duta Anti Trafficking Nasional Desak Made Hugeshia Dewi atau Dewi Hughes mengaku kaget, adanya pola pikir masyarakat Tionghoa, bahwa kaum perempuan terutama gadis dapat menghasilkan dolar Amerika Serikat dalam jumlah banyak.

"Yang saya tahu, ada pola pikir masyarakat yang menginginkan anak laki-laki agar dikemudian hari bisa menjadi penopang ekonomi keluarga," kata Dewi Hughes.

Hughes mengaku, khawatir masih adanya masyarakat yang berpola pikir kalau anak perempuannya bisa menghasilkan uang banyak kalau bisa ikut dalam kawin pesanan atau kawin kontrak yang masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

"Mereka tidak sadar kalau anak perempuannya sangat rentan dijadikan korban perdagangan manusia ketika masuk dalam jurang kawin pesanan tersebut. Saya berharap masyarakat yang berpola pikir seperti itu membuka matanya, karena lebih banyak negatif dari positif akibat kawin kontrak," kata Hughes.

Dua trafficking

Data Organisasi Internasional untuk Migrasi mencatat dari tahun 2005 - 2010, Provinsi Kalbar berada di urutan kedua dari 12 provinsi di Indonesia dalam kasus korban perdagangan manusia sebanyak 722 atau 19,33 persen.

Sedangkan urut ketiga, Jawa Timur sebanyak 461 atau 12,34 persen, disusul Jawa Tengah 428 orang atau 11,46 persen, Sumatera Utara 254 orang atau 6,80 persen, Nusa Tenggara Barat 237 orang atau 6,35 persen, Lampung 189 orang atau 5,06 persen, Nusa Tenggara Timur 163 orang atau 4,36 persen, Banten 81 orang atau 2,17 persen, Sumatera Selatan 72 orang atau 1,93 persen, Sulawesi Selatan 60 orang atau 1,61 persen, dan DKI Jakarta 61 orang atau 1,61 persen.

Sementara untuk perdagangan manusia internal atau domestik tertinggi di Kepulauan Riau 221 orang atau 32,08 persen. Provinsi Kalbar berada pada urutan keenam, yakni sebanyak 21 orang atau 3,05 persen.
(U.A057/P003)

Oleh Oleh Andilala
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010