Jakarta (ANTARA) - Dosen IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Dr Jonson Lumban Gaol mengemukakan teknologi satelit dapat mengurangi praktik pencurian ikan di Natuna.

"Kita bisa melakukan pengawasan dengan berbagai metode, seperti metode non-konvensional dengan teknologi satelit," ujar Jonson Lumban Gaol dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Ia menyampaikan beberapa teknologi yang telah digunakan untuk memonitoring kapal di dunia, antara lain automatic identification system (AIS) dan vessel monitoring system (VMS).

Baca juga: KKP tangkap enam kapal berbendera Vietnam saat curi ikan di Natuna

Selain itu, lanjut dia, dapat juga menggunakan teknologi setelit dari sensor optical imagery, night-ime optical imagery dari instrumen Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) dan Sybtetic Aperture Radar (SAR).

Pemanfaatan teknologi satelit ini dimaksudkan untuk memantau kapal ikan yang tidak menyiarkan posisinya, baik melalui AIS maupun VMS dan berada pada mode gelap (dark) dalam sistem pemantauan publik.

"Sebagian besar kapal-kapal ikan di Indonesia itu tidak menyiarkan posisinya dan berada dalam kondisi gelap dalam sistem pemantauan publik," katanya.

Dengan bantuan teknologi satelit, kapal-kapal penangkap ikan dapat termonitor secara aktual. Teknologi satelit juga dapat memantau kapal yang mematikan sinyal dari AIS dan VMS-nya.

Ia mengatakan satelit dengan instrumen VIIRS dapat memantau kapal ikan yang menghidupkan lampu penerangan saat melakukan operasi penangkapan pada malam hari.

Biasanya, katanya, kapal penangkap ikan itu menyasar komoditas cumi-cumi dan ikan yang memiliki sifat fototaksis positif atau menyukai cahaya.

Baca juga: KKP: Jaringan Interpol I-24/7 bantu ungkap kejahatan sektor perikanan

Jonson menyebut kapal-kapal penangkap ikan biasanya beroperasi pada malam hari, sehingga pengawasan dengan metode konvensional seperti patroli akan sulit dilakukan terutama jika tidak ada fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai.

Dengan kondisi yang demikian, Jonson menyarankan supaya melakukan pemantapan sistem pengawasan kapal-kapal ikan di perairan Indonesia dengan mengintegrasikan teknologi yang ada. "Integrasi teknologi ini perlu dilakukan, karena masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan," katanya.

Meskipun telah mengintegrasikan teknologi dan metode, Jonson menyebut perlu adanya dukungan dalam pengembangan armada penangkapan ikan, khususnya bagi nelayan Indonesia di perbatasan. "Kapal-kapal perikanan itu, selain melakukan usaha menangkap ikan, juga menjadi penjaga perairan Indonesia," tuturnya.

Nelayan Indonesia di perbatasan Natuna berdasarkan data satelit, lanjut dia, lebih sedikit jika dibandingkan nelayan dari Malaysia dan Vietnam.

Ia menduga keberadaan nelayan yang sedikit itu dikarenakan faktor armada nelayan Indonesia yang hanya mampu berlayar di sekitar perairan pantai Natuna, sementara laut Natuna membentang luas hingga perbatasan.

Baca juga: KKP amankan kapal pencuri ikan setelah kejar-kejaran di Natuna Utara

Baca juga: KKP sergap kapal ikan ilegal berbendera Malaysia di Selat Malaka


"Dukungan armada ini sangat penting supaya nelayan juga bisa mengambil sumber daya laut kita dengan optimal. Kalau armadanya kecil, pasti nelayan tidak berani melaut menuju laut lepas, apalagi kalau cuacanya sedang ekstrem," kata Jonson.

Namun demikian, ia berharap pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan insentif yang lebih menarik bagi para nelayan yang melaut.

Insentif tersebut, kata dia, dapat berupa peningkatan harga jual ikan maupun gaji awak kapal, sehingga lebih banyak generasi muda yang tertarik menjadi nelayan sekaligus menjadi garda depan untuk mengawasi perairan Indonesia dari pencurian ikan oleh kapal-kapal asing.

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021