Jakarta (ANTARA) -
Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Sesjen Wantannas) Laksdya TNI Harjo Susmoro menyebutkan, salah satu bentuk potensi ancaman stabilitas keamanan global terbesar adalah pusaran konflik hegemoni yang diikuti unjuk kekuatan militer AS-Cina di Laut Cina Selatan (LCS).
 
"Unjuk kekuatan militer AS-China kian menunjukkan eskalasi ketegangan yang mengkhawatirkan. Kehadiran kapal tempur kedua negara yang siap baku hantam membuat situasi di LCS dan wilayah ASEAN menjadi 'panas-dingin'," kata Sesjen Wantannas saat menjadi Dosen Tamu dalam kegiatan Kuliah Dinamika Kekuatan Global Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Senin.
 
Kegiatan dengan tema "Indonesia Dalam Dinamika Kekuatan Global di Asia Pasifik" yang digelar secara daring itu diikuti civitas mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Jenjang Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
 
Laksdya Harjo mengatakan, dalam merebut kekuatan hegemoni, AS dan China memiliki pendekatan yang berbeda. Implementasi "belt and road initiatif" yang dilakukan oleh China merupakan sebuah langkah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di negaranya pada masa yang akan datang.
Sementara itu, Amerika Serikat, melalui strategi re-balancing, berupaya membendung hegemoni Tiongkok.
 
Sebagai jalan tengah antara Amerika Serikat dan China, kata dia, ASEAN memperkenalkan AOIP (outlook on the indo-pacific) sebagai salah satu platform yang dapat digunakan untuk meningkatkan rasa saling percaya melalui kultur dialog dan kerja sama hingga terbentuknya "strategic trust".
 
"Ini sebagai kerangka kerja sama antar negara yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan," tutur lulusan AAL 1987 ini dalam siaran persnya.
 
Dalam paparannya, Laksdya Harjo juga menjelaskan bahwa laut memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media penyedia sumber daya alam, media pertahanan dan keamanan serta media membangun pengaruh.
 
Oleh karena itu, lanjut dia, menjadi suatu keniscayaan bagi Indonesia untuk dapat mengelola laut dengan sebaik-baiknya guna mendukung kepentingan nasional Indonesia.
 
Strategi maritim nasional yang tepat diperlukan agar mampu menjadi kekuatan maritim yang kuat di kawasan, khususnya di Asia Pasifik sebagai penyeimbang persaingan hegemoni AS dan China di wilayah Pasifik Barat, dengan tetap berpedoman kepada cita-cita nasional, tujuan nasional dan kepentingan nasional Indonesia guna menjamin stabilitas keamanan kawasan regional di Asia Pasifik, khususnya di Asia-Pasifik Barat.
 
Dalam kesempatan itu, lulusan terbaik peraih Satya Lancana Adhy Makayasa ini menjelaskan bahwa ada empat hal yang terpenting dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
 
Pertama, kemandirian (self-reliance), dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan republik indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
 
Kedua, kata Harjo, demokrasi (democracy). Masyarakat demokratis yang ingin dicapai setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
 
Ketiga, persatuan nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
 
Keempat, martabat internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional.
 
"Indonesia harus berani mengatakan 'tidak' terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional dan rasa keadilan sebagai bangsa merdeka," kata mantan Kepala Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (sekarang Danpushidrosal) itu.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021