Kupang (ANTARA News) - Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa, SH.MHum, berpendapat, lemahnya diplomasi Indonesia selama ini terkait kedaulatan dan harga diri bangsa disebabkan faktor ekonomi dan "political will" atau kemauan pemerintah pusat.

Di bidang ekonomi, ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara tetangga memang masih tinggi, namun tidak berarti menjadi kendala untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat diplomasi yang kuat dan mencapai hasil, kata Wetang Songa di Kupang, Rabu.

Ia mengatakan hal ini menanggapi hasil pertemuan antara delegasi Indonesia dan Malaysia di Kinabalu yang dinilai banyak kalangan gagal karena lemahnya diplomasi yang dimainkan pihak Indonesia.

"Untuk harga diri dan kehormatan sebagai sebuah bangsa, maka sebaiknya pembicarakan terkait kedaulatan, jangan hitung dengan untung rugi ekonomi nasional," katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato yang dilakukan pada Selasa (31/8), menyatakan, permasalahan dengan Malaysia sebaiknya diselesaikan secara diplomatik karena menimbang aspek ekonomi yang terdapat di dalamnya.

Aspek ekonomi yang dimaksud Presiden adalah nilai investasi Malaysia di Indonesia yang mencapai 1,25 miliar dollar AS, nilai perdagangan Indonesia dan Malaysia yang mencapai 11,4 miliar dollar AS, serta sekitar dua juta lebih TKI saat ini bekerja di Malaysia.

Wetan Songa yang juga dosen pada Fakultas Hukum Undana Kupang ini menilai alasan ekonomi inilah mejadi faktor yang melemahkan diplomasi Pemerintah Indonesia melalui delegasi Indonesia dipimpin Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bertemu dengan Malaysia dipimpin Menteri Luar Negeri Dato` Sri Anifah bin Haji Aman.

Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan segala persoalan di antara kedua negara melalui jalur diplomasi dan perundingan dengan mengedepankan asas kesetaraan dan saling menghormati.

"Kesepakatan ini dihasilkan dalam pertemuan joint commission for bilateral cooperation (JCBC) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia di Kota Kinabalu, Malaysia, Senin tanggal 6 Sepotember 2010," katanya.

Pada faktor "political will" pemerintah pusat belum sepenuhnya memiliki kemauan baik untuk menyelesaikan sengketa tapal batas antara Indonesia dengan negara tetangga.

"Kemauan politik ini penting sebagai salah satu solusi dalam mengatasi sengketa apakah wilayah perairan atau wilayah darat antar negara

Ia mencontohkan wilayah demarkasi antara Indonesia dan Timor Leste di Naktuka itu sudah diduduki warga Timor Leste dari Distrik Oecusse sejak Mei 2006 dengan membangun 40 unit rumah di atas tanah sengketa itu, meski proses penyelesaiannya tengah dilakukan oleh kedua negara namun Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah penyelesaian dalam mengatasi pendudukan wilayah demarkasi oleh warga Oecusse itu.

"Hanya dengan kemauan politik dari pemerintah pusat, ketegangan yang terjadi antara masyarakat Amfoang dan warga Oecusse yang menguasai lahan seluas sekitar 1.069 hektare dalam wilayah demarkasi itu bisa diakhiri," katanya.

Ia mengatakan, dari aspek hukum internasional, pendudukan wilayah demarkasi oleh 40 KK dari Timor Leste itu dikategorikan sudah melanggar hukum, karena daerah yang diduduki itu masih dalam sengketa antara kedua negara.

Ia meminta Gubernur NTT, Frans Lebu Raya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk memfasilitasi dan mendukung langkah-langkah pemerintah Kabupaten Kupang yang sedang berupaya menyelesaikan masalah tersebut melalui pendekatan budaya dan adat istiadat.

"Demikian pula wakil rakyat mulai dari pusat hingga daerah, perlu membela dan memperjuangkan hak-hak rakyat di wilayah itu yang saat ini dirampas oleh warga negara lain," katanya.

Willem Wetan juga mempertayakan sikap pemerintah pusat yang tidak proaktif menanggapi masalah yang diangkat pemerintah Kabupaten Kupang dalam rapat koordinasi peningkatan kualitas SDM aparatur daerah dalam rangka pembinaan wilayah, pertahanan, keamanan di wilayah perbatasan antarnegara dan pulau-pulau terluar di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ia menilai sikap "pembiaran" pemerintah terhadap sengketa batas wilayah antarnegara itu akan menjadi "bom waktu" pecahnya konflik horisontal antarnegara, terutama penduduk yang bermukim di tapal batas negara.

"Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah secepatnya dalam mengatasi situasi tersebut," katanya.

"Apabila masalah sengketa batas wilayah antarnegara tidak ditangani secara serius sejak dini oleh pemerintah pusat dan daerah, maka konflik horizontal yang mengarah pada perang saudara, tinggal menunggu waktu saja," katanya.(*)
(ANT/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010