Perlu pula mengedepankan pikiran positif agar selalu memikirkan hal yang terbaik yang bakal terjadi, bukan malah hal-hal yang terburuk yang berujung pada kecemasan
Semarang (ANTARA) - Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang mewabah hampir di semua negara, termasuk Indonesia, sejak 2020 hingga sekarang belum berakhir, bahkan bencana nonalam ini menjadi momok bagi masyarakat di seluruh dunia.

Namun, menurut Guru Besar dalam Bidang Ilmu Keperawatan Jiwa pada Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat, Prof. Suryani, Ph.D, jangan sampai ketakutan terhadap virus corona penyebab COVID-19 itu menimbulkan stres dan kecemasan.

Masalahnya, kata Suryani, stres atau cemas bisa menurunkan imunitas.

Lantas, ia menjelaskan bahwa saat stres dan cemas terjadi, antibodi lambat berproduksi sehingga tubuh lemah dan gampang terkena infeksi, termasuk infeksi virus corona.

Kecemasan juga muncul akibat banyaknya informasi simpang siur terkait dengan wabah ini di media sosial, katanya merujuk informasi yang dipublikasikan via laman unpad.ac.id pada bulan April 2020, atau setelah kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020.

Karena belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir, alangkah baiknya masyarakat ingat akan kata-kata bijak "Hadapilah nikmat dengan syukur dan terimalah musibah dengan rasa sabar". Setidaknya hal ini menenangkan pikiran ketika menghadapi musibah bencana nonalam ini.

Selain kata-kata bijak, perlu pula mengedepankan pikiran positif agar selalu memikirkan hal yang terbaik yang bakal terjadi, bukan malah hal-hal yang terburuk yang berujung pada kecemasan.

Banyak sisi positif ketika bangsa ini dilanda wabah COVID-19 sejak Maret hingga hingga sekarang. Setidaknya pandemi ini mendorong masyarakat untuk melek dan makin akrab dengan teknologi.

Pada masa pandemi ini masyarakat tampaknya sudah akrab dengan istilah pembelajaran jarak jauh (PJJ). Penerapan PJJ sejak April 2020 ini tidak lain bertujuan untuk mengurangi risiko penyebaran virus corona, terutama pada anak-anak.

Hasil survei Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Indonesia (P2GI) di akhir tahun 2020, misalnya, menunjukkan 70 persen guru menggunakan media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, Line, dan Instagram untuk PJJ selama pandemi COVID-19.

Disebutkan pula 54 persen responden menggunakan Google Classroom untuk PJJ, 42 persen responden memilih aplikasi Zoom untuk PJJ, 31 persen responden menggunakan Google Meet untuk PJJ.

Sementara itu, kurang dari 10 persen responden yang menggunakan aplikasi lainnya, seperti Cisco Webex, Microsoft Teams, U Meet Me, Rumah Belajar, Quipper School, Edmodo, dan Ruangguru untuk PJJ.

Menurut Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Dr Pratama Persadha, semuanya itu dipakai secara bergantian, atau tidak hanya memakai satu platform.

Pemakaian platform media sosial, khususnya WhatsApp, sangat tinggi karena menyesuaikan dengan aplikasi yang sudah ada, ditambah lagi mudah menggunakannya.

Bahkan, WhatsApp pada masa pandemi ini menambah beberapa fitur, misalnya untuk video call bisa sampai 50 orang. Inilah yang memudahkan para guru, murid, dan orang tua siswa untuk memakai WA. Apalagi, WhatsApp dan media sosial lain tidak memerlukan biaya langganan seperti zoom dan layanan konferensi video lainnya.

Minus Edukasi

Soal pemakaian sebenarnya ada pembelajaran secara cepat. Namun, pakar keamanan siber CISSReC ini menyayangkan masih minusnya edukasi tentang sisi keamanannya.

Dalam memakai WA dan media sosial, misalnya, sebisa mungkin semua akun sudah ditambahkan verifikasi dua langkah agar tidak mudah diretas atau diambil pihak lain. Ini sama sekali belum ada edukasi ke bawah.

Adapun cara mengaktifkan fitur verifikasi dua langkah di WhatsApp, pertama pilih ikon tiga titik di pojok kanan atas aplikasi WA, kemudian pilih menu Settings, masuk ke pengaturan Account, pilih two step verification, bikin personal identification number (PIN) 6 digit angka, lalu masukkan juga alamat surat elektronik (email).

Untuk mengamankan akun media sosial, tidak lupa juga untuk mengaktifkan verifikasi dua langkah dan mematikan layanan pihak ketiga pada akun media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan YouTube.

Pratama yang pernah menjadi pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang kini menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) itu mengutarakan bahwa tingkat keamanan memang bergantung pada dua pihak, pihak penyedia platform dan pihak pengguna (user).

Oleh karena itu, dari sisi media sosial sebenarnya akan sangat aman bila sudah dilakukan verifikasi dua langkah. Namun, dari sisi platform konferensi video sempat banyak keluhan, seperti zoom yang mudah diretas. Kendati demikian, seiring dengan berjalannya waktu, beberapa kelemahan sudah berusaha ditutup.

Penerapan WFH

Sejak virus corona melanda Tanah Air hingga sekarang, sejumlah perusahaan menerapkan sistem bekerja dari rumah (work from home/WFH) guna mencegah klaster baru penularan COVID-19 di lingkungan kerja.

Apakah penerapan WFH ini berdampak pada penambahan atau pengurangan biaya suatu perusahaan? Pertanyaan ini dijawab oleh hasil survei Microsoft terhadap empat negara bahwa penambahan atau pengurangan anggaran terkait dengan keamanan siber bergantung pada fokus masing-masing perusahaan.

Sejumlah negara yang disurvei Microsoft, yakni Jerman, India, Amerika Serikat, dan United Kingdom (UK) atau Kerajaan Bersatu Britania Raya (Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales).

Bagi perusahaan besar, terutama teknologi, menurut Pratama, anggaran keamanan jelas ditingkatkan, mengingat banyaknya pegawai yang harus bekerja dari rumah. Ditambah lagi, belakangan ini marak penjualan data pribadi masyarakat di RaidForums.

Oleh karena itu, perusahaan yang menerapkan WFH perlu membekali tools keamanan siber kepada pegawai yang berkerja di rumah guna mencegah peretasan data.

Terkait dengan penerapan WFH, sejumlah platform untuk menunjang mobilitas pegawai agar peretas tidak mudah menjebol data mereka pun tumbuh di tengah pandemi COVID-19, seperti aplikasi jaringan pribadi virtual atau virtual private network (VPN) untuk bekerja dari jarak jauh.

Berikutnya, firewall (sistem keamanan yang melindungi komputer dari berbagai ancaman di jaringan internet). Bahkan, implementasi teknologi seperti zero trust (keamanan pusat data yang memeriksa seluruh traffic pada network) yang menurut Pratama biayanya tidak murah.

Di lain pihak, dengan penerapan WFH, membuat jam kerja lebih fleksibel sekaligus lebih lama, bahkan di luar jam kerja masih melakukan pekerjaan kantor. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru sejak era BlackBerry Messenger (BBM) dan WA.

Namun, pada masa pandemi ini menjadi sebuah kebiasaan. Meski semua itu bergantung pada setiap perusahaan apakah bisa melakukan penyesuaian atau tidak ke arah yang lebih produktif.

Semestinya dalam kondisi saat ini mengarah pada produktivitas kerja karena waktu tidak tersita untuk perjalanan pergi/pulang kantor sehingga kondisi fisik lebih prima dan fokus.

Hal positif lainnya, banyak sekali peluang di tengah pandemi karena banyak hal baru yang bisa dilakukan lewat aring. Misalnya, memberikan ursus singkat memasak dari rumah dan semacamnya.

Karena hingga kini belum ada teknologi yang mampu memprediksi bencana alam maupun bencana nonalam secara akurat, berpikirlah positif dalam menghadapinya.

Di sinilah butuh kepiawaian sang pemimpin dalam mengatasi pelbagai persoalan, termasuk pandemi COVID-19 yang memerlukan langkah cepat dan akurat tetapi tidak menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.

Baca juga: Kemendikbud sebut pandemi COVID-19 turunkan kecemasan pada teknologi

Baca juga: Metode EFT efektif atasi stres saat pandemi COVID-19, kata akademisi

Baca juga: Psikoedukasi bantu masyarakat hadapi kecemasan selama pandemi

Baca juga: Kemenkes: jangan lakukan hal monoton untuk atasi stres saat pandemi


 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021