Marah merupakan respons emosional yang kuat yang muncul ketika tubuh merasa menghadapi ancaman atau bahaya
Jakarta (ANTARA) - Dosen IPB University dari Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Husnawati mengungkapkan pengaruh rasa lapar terhadap perilaku seseorang yang menjadi gampang marah.

"Marah merupakan respons emosional yang kuat yang muncul ketika tubuh merasa menghadapi ancaman atau bahaya. Pada kondisi tersebut, sumbu hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) di otak akan teraktifkan, dan memicu respons melawan atau lari (fight or flight)," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Husnawati mengatakan bahwa kombinasi rasa lapar dan amarah merupakan respons emosional yang rumit yang melibatkan interaksi biologi, kepribadian, dan isyarat lingkungan.

Baca juga: IPB University masuk peringkat 511-520 QS WUR 2021

“Sistem limbik di otak adalah pusat dari segala emosi baik itu marah, takut, dorongan seksual, dan lainnya. Di sini emosi diterjemahkan secara biokimia dan diberi label sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian memicu dikeluarkannya hormon senang atau hormon stres,” katanya.

Pada beberapa orang, kata Husnawati, rasa lapar dapat dianggap sebagai ancaman bagi tubuh, sehingga muncullah kondisi “hangry” atau rasa marah yang muncul ketika seseorang mengalami lapar.

"Rasa lapar yang berkepanjangan membuat tubuh menjadi stres, dan dikeluarkanlah hormon kortisol yang merupakan hormon stres," katanya. 

Baca juga: IPB dan UT selenggarakan diskusi virtual penguatan SDM kearsipan

Husnawati mengatakan kondisi stres yang dirasakan tubuh menyebabkan penurunan kadar hormon serotonin yang memiliki peran penting dalam mengatur suasana hati. “Kadar serotonin yang rendah sangat berkaitan dengan munculnya rasa marah dan kecenderungan ke arah perilaku kekerasan,” ujarnya.

Di sisi lain, berdasarkan kepribadian dan pengaruh lingkungan, perilaku emosi karena makanan terbentuk sejak masa kanak-kanak, dan sangat terkait dengan pengalaman masa kecil.

Menurut teori psikosomatis, kata Husnawati, rasa emosional yang muncul karena lapar merupakan respons terhadap perasaan negatif, seperti stres, kecemasan, kekecewaan, dan perasaan kesepian.

Baca juga: IPB University-Kota Dumai kembangkan program penelitian dan pendidikan

"Seseorang yang tinggal di lingkungan yang memperebutkan makanan sebagai usaha untuk bertahan hidup, akan sangat mudah mengalami 'hangry'," katanya.

Husnawati menambahkan tingkat kesadaran emosional seseorang juga memengaruhi munculnya “hangry”. Orang yang kesadaran emosionalnya lebih berkembang, akan sadar bahwa rasa lapar dapat terwujud sebagai emosi negatif, sehingga mereka bisa mengontrolnya dan cenderung tidak menjadi “hangry”.

“Pada umat muslim, ada fase di mana seseorang diajarkan untuk mengelola emosi dari rasa lapar, yaitu saat berpuasa," katanya.

Dokter yang juga bertugas di Unit Kesehatan IPB University ini mengatakan ketika seseorang berpuasa, selain mengatur dan mengaktifkan metabolisme tubuh yang jarang dipakai, seperti pengaturan pergantian kerja hormon insulin dan glukagon, puasa juga berfungsi untuk mengajarkan tubuh bahwa rasa lapar yang terjadi pada waktu pendek di bawah 20 jam bukanlah ancaman atau bahaya bagi tubuh.

Baca juga: Pakar IPB apresiasi UDP yang beraktivitas dalam Data Desa Presisi

“Sehingga orang-orang yang terbiasa berpuasa akan merespons rasa lapar dengan emosi yang netral atau malah positif,” katanya.

Oleh karena itu, kata Husnawati, rasa lapar yang menyebabkan munculnya kemarahan hanya terjadi pada orang-orang yang menganggap lapar sebagai ancaman bagi dirinya, dan adanya faktor kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Baca juga: Pakar IPB jelaskan fenomena telur dalam telur yang viral di Tiktok

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021