Jakarta (ANTARA) - Selain berisi pasal-pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) juga mengatur soal penyerangan harkat dan martabat kepala negara sahabat yang sedang bertugas di Indonesia.

Berdasarkan draf RKUHP yang diterima di Jakarta, Minggu, pasal-pasal yang mengatur tentang penyerangan harkat dan martabat kepala negara sahabat termuat pada BAB III tentang tindak pidana terhadap negara sahabat.

Pada pasal 226 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri wakil dari negara sahabat yang bertugas di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Baca juga: Anggota DPR sarankan RKUHP tidak perlu dibahas sejak awal

Tidak hanya bagi kepala negara, ancaman pidana dua tahun kurungan penjara juga bisa dikenakan bagi masyarakat apabila melakukan hal yang sama terhadap wakil negara sahabat yang sedang menjalankan tugas di Indonesia.

Selanjutnya, pada pasal 228 ayat satu disebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum.

Kemudian memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan kepala maupun wakil negara sahabat dengan maksud isi penyerangan diketahui umum, dipidana tiga tahun penjara atau denda paling banyak kategori IV.

"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 226 sampai dengan pasal 228 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan," bunyi pasal 229 ayat satu.

Sedangkan pada ayat dua pasal 229 dikatakan bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat satu dapat dilakukan secara tertulis oleh kepala negara sahabat dan wakil negara sahabat.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan pasal-pasal yang mengatur pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP bukan untuk membatasi kritik melainkan penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

Yasonna berpendapat sebagai bangsa yang beradab perlu ada batasan-batasan yang harus dijaga oleh setiap orang. Pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam RKUHP tersebut sama sekali tak berniat membatasi kritik.

Sebab, peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik yang disampaikan oleh masyarakat, ujar dia.

Baca juga: Menkumham: Pasal penghinaan Presiden penegas batas masyarakat beradab
Baca juga: PPP tetap pertahankan pasal perzinaan di RKUHP

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021