Revisi terhadap pasal perzinaan dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, dan karena itu mengancam demokrasi
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menilai revisi terhadap ketentuan mengenai pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) patut dikaji dengan prinsip kehati-hatian.

Dia menilai, masalah kriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia.

"Yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat," kata Didik di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan, kriminalisasi terhadap kegiatan seks atau hubungan seks yang dilakukan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain dalam RUU KUHP memang masih menjadi perdebatan antara pihak yang pro dan kontra.

Menurut dia, pihak yang kontra menilai RUU KUHP terlalu mencampuri dan memasung kehidupan pribadi seseorang yaitu negara telah melakukan intervensi kehidupan wilayah pribadi warga negaranya.

"Revisi terhadap pasal perzinaan dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, dan karena itu mengancam demokrasi," ujarnya.

Baca juga: Pakar: Pasal perzinaan di RUU KUHP upaya melindungi perempuan

Baca juga: PPP tetap pertahankan pasal perzinaan di RKUHP


Sementara itu menurut dia, pihak yang pro menilai masalah perzinahan muncul dari "public demand" bukan pribadi atau keluarga maka diatur dalam UU, dan di banyak negara liberal, lazim terdapat hukum yang mengatur kegiatan pribadi.

Dia menjelaskan, pihak yang pro berpandangan dalam aktivitas seks, warga tidak boleh melakukan hubungan seks sedarah (incest), warga tidak boleh mengumpulkan foto-foto yang masuk dalam kategori "pornografi anak", warga tidak diizinkan berpoligami, atau kalau menggunakan contoh yang lebih ekstrem, warga tidak boleh melakukan bunuh diri dan warga tidak boleh menjadi pecandu narkotika, kendatipun kedua kegiatan itu bisa dilihat sebagai kegiatan sadar yang dilakukan orang dewasa dengan akibat yang harus ditanggung orang dewasa.

"Dengan demikian, intervensi negara terhadap wilayah pribadi tidak pernah diharamkan, bahkan dalam masyarakat liberal yang menjadi kunci adalah alasan. Sebuah kegiatan pribadi yang dipercaya berpotensi menimbulkan efek negatif atau dipandang sebagai sebuah tindakan tidak bermoral, lazim dinyatakan terlarang," ujarnya.

Didik menilai, kriteria yang harus dipenuhi dalam kebijakan kriminalisasi terhadap perilaku menyimpang harus memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai perbuatan pidana antara lain, pertama, perbuatan yang akan dikriminalisasikan adalah perbuatan yang melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat seperti adat istiadat, kesusilaan dan agama.

Karena itu menurut dia, setiap kebijakan kriminalisasi juga harus dipastikan telah sesuai pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, berdasar alasan yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis dengan berlandaskan kepada norma agama, adat istiadat dan kesusilaan masyarakat.

"Keinginan atau kesadaran untuk memasukkan nilai-nilai agama maupun adat istiadat dalam KUHP bukan suatu yang berlebihan tetapi wajar karena nilai itu adalah ajaran Allah Yang Maha Kuasa yang disebutkan dalam Mukadimah UUD 1945 dan atas kesadaran ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang disebutkan dalam Pancasila," papar-nya.

Kedua menurut dia, perbuatan yang akan dikriminalisasikan bersifat anti-sosial karena merugikan masyarakat atau menimbulkan kerusakan terhadap masyarakat.

Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan, ketiga, kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum.

"Dalam konteks itu, pembahasan yang utuh dan menyeluruh hingga tuntas diperlukan sehingga pada akhirnya dicapai konsensus yang tebaik dan tidak menimbulkan penolakan pada saat diundangkan," katanya.

Namun dia menilai, juga harus disadari bahwa undang-undang adalah juga menjadi bagian penting dalam rekayasa sosial atau "social engineering" terhadap kepatuhan warga negara terhadap norma-norma yang hidup dan berlaku secara umum di masyarakat.

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait perzinaan diatur dalam Pasal 417-419, yaitu

Pasal 417
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 418
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
(4) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(5) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 419
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021