Jakarta (ANTARA News) - Jika kesan terhadap Swedia dibedakan dari surga sosialis sampai masyarakat ultra kanan ala Stieg Larsson, maka pemilu 19 September lalu mempertegas kesan terhadap yang terakhir disebut (distopia ultra kanan).

(Partai) Demokrat Swedia, partai populis marjinal yang platform politiknya membidik kaum imigran, untuk pertama kalinya lolos ke parlemen, dan berpeluang menjadi penentu siapa yang memimpin negeri itu pasca pembicaraan mengenai koalisi setelah pemilu.

"Stieg akan menggemparkan tapi itu tidak mengejutkan," kata Anna-Lena Lodenius, jurnalis yang memonitor Demokrat Swedia sejak partai itu dibentuk pada 1988. Anna juga pernah menulis bareng dengan Larsson yang adalah penulis trilogi laris "Girl with the Dragon Tattoo."

Dengan berhasil mengangkat status parianya ke legitimasi parlemen, Demokrat Swedia akan bergabung dengan sesama partai kanan ekstrem di Eropa -- dari Denmark, Norwegia, dan Belanda, sampai Prancis, Belgia dan Austria.

Mengikuti jejak partai-partai sayap kanan Eropa itu, Partai Demokrat Swedia berupaya memperluas jangkauan pengaruhnya di luar konstituen inti mereka, yaitu kelompok neo Nazi garis keras dan kaum muda rasialis "skinhead."

Sebenarnya, satu-satunya alasan yang mendorong Swedia sedapat mungkin mencegah satu faksi ultra kanan terkemuka naik ke gelanggang politik nasional adalah bahwa Demokrat Swedia telah menukarkan sepatu bot dan seragamnya dengan simbol-simbol politik yang lebih nyaman. Hasilnya tidak mampu menarik minimum 4 persen suara yang dibutuhkan untuk bisa sampai di parlemen.

"Di negara-negara tetangga kita, partai-partai yang tidak berpuas diri mulai berkembang sejak merebaknya gerakan mengemplang pajak," kata Anders Sannerstedt, pakar politik dari Universitas Lund. "Demokrat Swedia sebaliknya selama 15 tahun mencoba menanggalkan citranya sebagai penyokong kekuasaan kulit putih."

Sebagai kelanjutan dari "Keep Sweden Swedish" (Pertahankan Swedia (Untuk) Orang Swedia) --kelompok anti imigran yang didirikan pada 1979 oleh para mantan anggota kelompok pro neo Nazi-- Demokrat Swedia sepertinya tidak mau terburu-buru menggapai status politiknya, sebaliknya bertahun-tahun menahan diri untuk hanya puas berperan menjadi kanal kemarahan kaum kulit putih.

Hanya di dekade terakhir lalulah partai itu mendengungkan retorika populis dengan menargetkan kaum muslim.

"Meskipun gagasan-gagasan mereka pada prinsipnya sama -mereka menjejak setiap persoalan kembali ke kaum immigran- mereka tak ragu lagi menjadi lebih dihormati," ujar Lodenius.

Kekuatan dari pesona ini paling jerlas terlihat di kota-kota dan desa-desa di daerah selatan yang padat penduduk, yang adalah basis suara utama partai tersebut.

Demokrat Swedia telah menarik pemilih yang kebanyakan dari kelas pekerja, dengan mempromosikan visi mereka mengenai Swedia yang menggabungkan konservatisme sosial dan homogenitas etnis dengan janji mengembalikan ke masa jaya negara kesejahteraan.

"Secara khsuus Partai Sosial Demokrat telah bermigrasi ke Partai Demokrat Swedia, namun mereka juga meraih suara dari alangan pemilih konservatif di kubu kanan-tengah," ungkap Lodenius.

Untuk sebuah sistem politik yang menjunjung konsensus, kemunculan Partai Demokrat Swedia telah mengguncang tatanan alam.

Para politisi dan pers telah menghabiskan bertahun tahun dalam mendebatkan apakah partai itu harus diperlakukan sama atau malah diabaikan.

Merasa diasingkan ke pedalaman politik antah berantah, partai itu mengungkit-ungkit status martirnya untuk menaikkan pesan anti kemapanannya.

Kini Demokrat Swedia menjadi salah satu tema pembicaraan penting di pemilu Swedia yang diselimuti intrik.

Jajak pendapat terakhir menunjukkan koalisi "incumbent" -aliansi empat partai kanan tengah- secara konsisten terus memimpin di atas kelompok oposisi beranggotakan tiga partai kubu Merah-Hijau, di mana Demokrat Swedia meraup 7,5 persen suara yang sudah cukup membuat kubu ultra kanan anti Islam menjadi ketiga terbesar di negara itu.

Itu adalah pencapaian mencengangkan bagi sebuah partai yang hanya meraih 2,9 persen pada pemilu 2006.

Namun jika kelompok oposisi tengah-kiri melesat popularitasnya menjelang pemilu, tidak mungkin Swedia berdiri dengan sebuah parleman "menggantung", pada kasus mana Partai Demokrat Swedia yang tak beraliansi dengan parpol lain, akan berada permanen di posisi suara mengambang.

Semua partai tradisional bersumpah tidak akan bekerja sama dengan partai populis ultra kanan. Tapi itu belum pasti.

Perdana Menteri Fredrik Reinfeldt telah mengisyaratkan untuk mencari dukungan dari Partai Hijau guna memotong pengaruh Demokrat Swedia. Tetapi belum jelas bagaimanakah kubu tengah kanan di negarea itu bisa berkoalisi dengan kelompok kiri.

Meski terasing di parlemen, Partai Demokrat Swedia akan segera mendapatkan amunisi dari mereka yang antipati terhadap imigran muslim.

Namun obsesi terhadap Islam ini relatif baru muncul kemudian.

Pada 1990an, ketika partai ini mengawali petualangannya dalam proses demokrasi, kaum imigran biasa digambarkan sebagai pemanfaat sejati negara kesejahteraan namun memiliki kecenderungan kriminal.

"Agama sama sekali bukan soal, meskipun fakta menunjukkan Swedia menampung banyak kaum muslim dari negara-negara seperti Iran dan bekas Yugoslavia," papar Lodenius.

Setelah peristiwa 9/11 partai tersebut tiba-tiba menyebut imigran Timur Tengah sebagai rentan secara keuangan dan memuja kultur bunuh diri.

Begitu pemilu tahun ini semakin dekat, partai tersebut melipatgandakan pesan-pesan anti Islamnya.

Pimpinan partai itu, Jimmie Akesson, dicerca tahun lalu setelah menggambarkan bertambah banyaknya penganut Islam di Swedia sebagai "ancaman asing terbesar kita sejak Perang Dunia Kedua."

Partai itu menegaskan pesannya dengan menayangkan film yang memperlihatkan seorang perempuan pensiunan kalah dari sekelompok ibu-ibu berjilbab dalam meraih dukungan pemerintah.

Salah seorang caleg penting Demokrat Swedia adalah Ken Ekeroth yang berusia 29 tahun. Pengkritik tertajam Islam ini mencapai puncak karir politiknya di partai itu meski baru bergabung pada 2006. "Kami ingin mempersulit hidup kaum Muslim di Swedia karena kami memang ingin mempersulit hidup orang yang tunduk pada ideologi totaliter."

Pemerintah Swedia tak mempunyai catatan mengenai keyakinan yang dianut sembilan juta penduduknya, tapi laporan terbaru Departemen Luar Negeri AS menaksir bahwa lebih dari setengah juta muslim hidup di negara itu, tetapi hanya sekitar seratus ribu yang taat menjalankan agamanya.

Jumlah penduduk muslim di negara itu mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan total penduduk. tapi kehadiran mereka di negeri itu dianggap simbol penghinaan oleh sejumlah orang Swedia yang rindu masa silam.

Pada paruh pertama abad lalu, Swedia hanya menampung sedikit kaum imigran. Angka ini hanya berubah setelah kedatangan pengungsi korban Perang Dunia Kedua dari negara-negara tetangga Swedia di Skandinavia dan Semenanjung Baltik.

Lalu, pada 1950an, Swedia mulai mendatangkan imigran dari Turki dan eks Yugoslavia untuk mengisi kekosongan lapangan kerja.

Penduduk muslim bertambah banyak pada awal 1970an, ketika Swedia makin melonggarkan kebijakannya terhadap pengungsi dari negara-negara yang dicabik perang seperti Bosnia, Kosovo, Lebanon, Iran, Iraq, dan Somalia.

Setelah 2003, Swedia menerima lebih banyak pengungsi Irak ketimbang negara Eropa lain. Sampai akhir 2009 negara berpenduduk sembilan juta itu menjadi rumah bagi sekitar 117 ribu orang kelahiran Irak.

Kent Ekeroth ingin kaum muslim meninggalkan Swedia jika mereka tidak mau berasimilasi, bahkan jika perlu memberi kompensasi uang untuk kepergian mereka itu.

Sejalan dengan kebijakan partai itu dan demi menghormati kepekaan pemilih Swedia, Eekroth membingkai membingkai argumentasianya dengan landasan kultural ketimbang rasial dengan mengklaim bahwa masyarakat Islam itu kolot sehingga tidak cocok untuk negara modern seperti Swedia.

Seirama dengan pimpinan partainya, Ekeroth menyinggung islamisasi Swedia dan mempertegas keyakinan kelompok ultra kanan yang mengingatkan "Eurabia" (arabisasi Eropa).

"Kita mengimpor banyak kejahatan yang kini banyak terjadi di Swedia, terutama melalui orang Timur Tengah dan Afrika, yang kebudayaan, nilai dan konsepsinya mengenai benar dan salah sangat berbeda sekali dengan kita," katanya.

Meski umumnya warga Swedia menolak stereotipe kultural seperti ini, kini banyak yang mengakui bahwa eksperimen negara multikultur itu ternyata memang tidak bebas dari gesekan.

Kaum imigran mendominasi statistik kejahatan, sementara segregasi sosial meluas di sejumlah kota di mana imigran-imigran yang baru datang kerap menempatidaerah-daerah yang dikenal dengan istilah-istilah miring seperti Little Baghdad dan Little Mogadishu.

Para walikota mengingatkan rusaknya prasaran dan infrastruktur kota pada batas yang mengkhawatirkan, sementara layanan ambulans dan pemadam kebakaran diserang di wilayah yang padat pendatang karena dianggap pengacau.

Banyak orang Swedia percaya bahwa negara mereka menghadapi masalah imigrasi, setidaknya masalah integrasi.

Tapi partai-partai tradisional Swedia memilih menghindari masalah itu karena takut dituduh anti imigran. Sikap ini justru membuat Demokrat Swedia memonopoli isu itu dengan pandangan miringnya.

"Adalah vital partai-partai lain bisa berdebat soal imigrasi dan globalisasi, pola migrasi dan dampaknya terhadap masyarakat, Islam radikal, dan seterusnya," kata Lodenius. "Masyarakat memiliki ketakutan yang nyata, sedangkan politisi diperlukan untuk menjelaskan bagaiman mereka sungguh-sungguh menjawab tantangan ini."

Mengabaikan "si anak nakal" berbuat semuanya tak akan membuat mereka diam, dan Lodenius menegaskan Demokrat Swedia tak boleh lagi dianggap kaum ekstrem pembangkang.

"Demokrat Swedia bukan lagi kaum Nazi dan mereka kini mewakili sejumlah kecil pemilih. Saya kira mereka maju kali ini"

Tapi Lodenius juga mengakui bahwa berunding dengan Demokrat Swedia akan merupakan penyesuaian besar-besaran bagi negara yang lama menikmati konsensus multikultural itu.

"Stieg Larsson dan saya sepakat dalam banyak hal tetapi dia bakal sulit menerima kebutuhan untuk terlibat pada banyak hal itu," katanya. (*)

Paul O'Mahony/Foreign Policy/Yudha Pratama-Jafar Sidik

Penerjemah: Yudha Pratama Jaya
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010