Jakarta (ANTARA News)- Belajar sejarah ternyata tidak harus selalu serius dan bicara tentang patriotisme tidak perlu sampai dahi mengkerut. Kesan itu akan timbul setelah menyaksikan film 'Laskar Pemimpi', karya terbaru Monty Tiwa.

Betapa tidak, meski mengambil latar belakang sejarah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yang membuat Mantan Presiden Soeharto melegenda, kisah perlawanan menentang Agresi Militer Kedua Belanda itu justru dipenuhi oleh 'banyolan-banyolan' khas masa kini.

Simak saja ketika Kopral Jono, yang diperankan oleh Dwi Sasono, mengajak kekasihnya menikah dengan iming-iming akan mendapat jatah rumah dinas tentara.

"Tapi nanti 'gak' ditarik lagi kan Mas (rumah dinasnya)," celoteh Yayuk, diperankan Masayu Anastasia, sembari melenggos lincah.

Belum lagi peran kelompok musik 'Project Pop' yang memang selalu tampil konyol dan memberi warna musikal dengan menyanyikan empat buah lagu mereka dalam film yang kemudian bisa disebut sebagai film komedi musikal itu.

Meski penuh lelucon dan lagu, Film Produksi PT Kharisma Starvision Plus itu tidak sekedar bercanda.

"Kita berangkat dari keprihatinan bahwa generasi muda sekarang mulai lupa sejarah," kata Monty Tiwa sang sutradara setelah acara Tayang Perdana 'Laskar Pemimpi' di Planet Hollywood, Jakarta, Rabu (22/9).

"Harapannya film ini bisa menampilkan kembali sejarah ke dalam sesuatu yang lebih menyenangkan jadi lebih mudah diingat," sambung Tiwa.

Dan sembari berusaha membuat sejarah lebih segar, Laskar Mimpi juga ingin mengenang mereka yang tidak terekam dalam sejarah.

'Pasukan Elit' Selalu Yang Terlupakan
'Laskar Pemimpi' mulai berkisah tentang penduduk Desa Panjen yang damai, sampai pasukan Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua, pada Desember 1948.

Aksi militer Belanda itu kemudian memakan korban di desa Panjen ketika ayah Sri Mulyani (Tika Pangabean Project Pop) ditangkap oleh tentara Belanda.
Untuk membebaskan ayahnya Sri lalu bergabung ke dalam pasukan gerilya pimpinan Kapten Hadi Sugito (Gading Marten). Di markas gerilya Sri Lalu berjumpa Ahok (Odie Project Pop) seorang pedagang Tionghoa, dan Tumino (Gugum Project Pop) yang sehari-hari 'ngangon' bebek.

Selain itu bergabung pula Udjo, ningrat lokal, yang bergabung bersama Kapten Hadi karena diperdaya pujaan hatinya, Wiwid (Shanti) dan Toar (Yosi Project Pop) tentara asal Manado yang menderita rabun akut.

Dalam pasukan itu mereka kemudian diasuh oleh Kopral Jono, prajurit lugu yang bahkan telah sering diturunkan pangkatnya oleh Kapten Hadi.

Sementara itu, sesuai dengan perintah para pemimpin tentara saat itu, Kapten Hadi sedang bersiap ambil bagian untuk serangan besar-besaran atas Yogyakarta yang telah dikuasai Belanda.

Rencana itu tampaknya akan berjalan mulus sampai satu malam pasukan mereka, sekali lagi dibawah pimpinan Kopral Jono, terlibat bentrok dengan pasukan Belanda.

Akibatnya kekasih Kopral Jono dan Wiwid ditangkap Belanda sementara dari pihak Belanda harus merelakan Once Sahuleka (Oon Project Pop) yang berhasil ditawan pasukan Indonesia.

Dibakar api dendam, Kopral Jono, Udjo, dan Sri disertai Toar, Tumino, Ahok, dan Once sebagai penujuk jalan memutuskan untuk melaksanakan misi nekat, menerobos ke markas Belanda untuk membebaskankan kekasih mereka.

Tetapi alih-alih membebaskan orang-orang kesayangan, mereka malah tertangkap dan nyaris mengacaukan rencana serangan besar-besaran tentara Indonesia. Untung saja Kapten Hadi dan Letnan Bowo (Teuku Rifnu Wikana) berhasil menolong mereka.

Berang dengan tindakan Kopral Jono dan kawan-kawan, Kapten Hadi pun memecat lalu mengusir mereka dari markas.

Tetapi bara perjuangan dalam hati mereka belum padam.

Ketika seluruh pasukan utama Indonesia sedang berkonsentrasi menyerang Yogyakarta, Kopral Jono dan kawan-kawan yang sebelumnya diusir oleh Kapten Hadi diam-diam membantu laskar-laskar Indonesia.

Mereka justru mengambil bagian yang menentukan dalam serangan itu. Dengan persenjataan dan keterampilan tempur seadanya mereka mencegat bala bantuan Belanda yang sedang menuju Yogyakarta.

Sementara itu Letnan Kolonel Soeharto (Marcell Siahaan) yang tampak was-was menanti serangan pasukan bantuan Belanda hanya bisa bertanya-tanya apa yang menyebabkan reaksi Belanda begitu lamban.

"Ada satuan elit kita yang telah menghadang mereka Pak," lapor salah seorang prajurit kepada Soeharto. Mereka memang berani layaknya satuan elit dalam militer.

"Emangnya kita punya pasukan elit," tanya Kapten Hadi tercenung.
(Ber/A038/BRT)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010