Timika (ANTARA News) - Rektor Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari, Drs Yan Pieter Karafir MEk menegaskan program perkebunan sawit dalam skala besar yang sedang dikembangkan di Provinsi Papua akan memicu kerusakan hutan sehingga perlu dievaluasi kembali.

"Saya tidak setuju dengan program perkebunan sawit karena merusak lingkungan. Lama-kelamaan betul-betul merusak struktur dan tekstur tanah," kata Karafir ketika dihubungi ANTARA dari Timika, Senin.

Karafir mengatakan, berbagai kritikan terhadap program perkebunan sawit Papua dapat berdampak buruk pada lingkungan bukan sekedar isapan jempol, namun berdasarkan hasil penelitian di beberapa tempat yang dikembangkan proyek serupa.

"Di Papua proyek sawit ini banyak yang memicu banjir. Jika rawan banjir maka otomatis humus tanah akan hancur dan lingkungan menjadi rusak," katanya.

Ia menilai, kebijakan perkebunan sawit Papua yang digagas Gubernur Barnabas Suebu dalam rangka melindungi hutan justru akan memicu kerusakan hutan dalam skala besar di Papua.

"Itu yang sama sekali saya tidak setuju. Mereka ikut trend hura-hura di luar. Saya tidak mendukung perkebunan kelapa sawit ada di Papua," kata mantan Bupati Kabupaten Jayapura itu.

Karafir menyarankan kepada para pejabat teras di Papua jika serius membangun rakyat maka harus mengembangkan tanaman-tanaman lokal yang menjadi makanan pokok rakyat untuk dijadikan komoditi industri.

Sebagai contoh, katanya, yaitu tanaman sagu dan buah merah serta berbagai jenis tanaman khas Papua lainnya.

Menurut dia, Pusat Studi Penelitia Umbi-umbian dan sagu Unipa Manokwari siap mendukung kegiatan penelitian berbagai tanaman khas Papua untuk dikembangkan menjadi komoditi industri.

"Kalau ada dana, kita siap dukung program pemerintah," ujar Karafir.

Ia mengatakan tanaman sagu di Papua dengan luas lahan sekitar 1,2 juta hektare (90 persen hutan sagu Indonesia ada di Papua) tidak saja dikelola untuk kebutuhan pangan rakyat tetapi bisa dikembangkan menjadi komoditi industri seperti penghasil etanol atau bahan bakar, bahan baku plastik, terigu dan lain-lain.

Unipa Manokwari, katanya, telah mendorong tanaman sagu menjadi komoditi industri melalui simposium internasional sagu di Jayapura tahun 2005 dengan mengundang masyarakat sagu internasional.

"Dalam simposium saat itu ada desakan yang kuat dari peserta untuk penggunaan sagu sebagai penghasil etanol dan bahan baku pembuatan plasti yang selama ini dibuat dari bahan baku minyak bumi," jelasnya.

Karafir mengatakan, penelitian sagu di Indonesia sangat tertinggal dari Jepang. Hal itu sangat disayangkan mengingat tanaman sagu di Jepang tidak ada.

"Tanaman sagu merupakan karunia Tuhan yang memiliki manfaat berlimpah untuk kehidupan manusia. Jangan menganggap tanaman sagu tidak bermanfaat lalu seenaknya ditebang," ujar Karafir mengingatkan.

Ia menambahkan, "Jepang tidak punya hutan sagu tetapi mereka sangat menonjol dalam penelitian sagu".

Tanaman sagu, katanya, bisa bekerja sama dengan bakteri-bakteri yang mengisap zat ender udara, sedangkan tanaman kelapa sawit justru merusak struktur dan tekstur tanah.

"Investasi kelapa sawit memang menghasilkan dalam waktu puluhan tahun, tapi membutuhkan investasi besar dan menimbulkan dampak lain di kemudian hari yang tidak dipikirkan oleh Pemprov Papua saat ini," ujarnya.

Staf ahli Gubernur Papua, DR Agus Sumule beberapa waktu lalu mengatakan program perkebunan sawit di Papua saat ini dikembangkan di sejumlah daerah seperti di Mimika dengan luas sekitar 3.000 hektare dan di Keerom dengan luas 7.000 hektare.  (E015/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010