London (ANTARA) - Pandemi virus corona memicu rasa lapar untuk mengonsumsi berita tepercaya di masa krisis global dan kebanyakan orang menginginkan organisasi media tidak memihak dan objektif, kata Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme, Rabu.

Kepercayaan pada berita tumbuh selama pandemi, terutama di Eropa Barat, membantu keberadaan nama-nama media dengan reputasi pelaporan yang andal --meskipun ketidakpercayaan terutama terlihat pada media yang terpolarisasi di Amerika Serikat.                                                   

Mayoritas orang di seluruh negara percaya bahwa penyalur berita harus mencerminkan berbagai pandangan dan mencoba untuk bersikap netral, kata lembaga itu dalam Laporan Berita Digital tahunannya (https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/digital-news- laporan/2021).

"Kita telah melalui masa yang sangat gelap dan sebagian besar publik menyadari bahwa sejumlah organisasi berita sering menjadi cahaya terang dalam kegelapan itu," kata Rasmus Nielsen, direktur Institut Reuters.

"Ada apresiasi yang lebih besar terhadap berita yang dapat dipercaya secara keseluruhan," katanya kepada Reuters. "Sangat jelas dalam penelitian kami, di sejumlah negara, dalam beberapa kelompok usia, bahwa mayoritas besar menginginkan jurnalisme berupaya netral."

Laporan ini didasarkan pada survei yang mencakup 46 wilayah dan lebih dari setengah populasi dunia.

Revolusi teknologi yang semakin cepat berarti 73 persen orang sekarang mengakses berita melalui smartphone, naik dari 69 persen pada 2020. Sementara, banyak yang menggunakan jaringan media sosial atau aplikasi perpesanan untuk mengonsumsi atau mendiskusikan berita.

TikTok sekarang mencapai 24 persen terkait pengguna di bawah usia 35-an tahun. Tingkat penetrasi yang lebih tinggi terlihat di Asia dan Amerika Latin.

Facebook dipandang sebagai saluran utama untuk menyebarkan informasi palsu, meskipun aplikasi perpesanan seperti WhatsApp juga berperan.

Tetapi, para raksasa teknologi itu juga menjadi jalan untuk perbedaan pendapat, kata Institut Reuters itu, mengutip protes-protes di Peru, Indonesia, Thailand, Myanmar, dan Amerika Serikat.

Di AS, lebih banyak orang tidak memercayai berita daripada memercayainya. Saat Donald Trump kalah dalam pemilihan presiden AS pada 2020, permintaan akan berita berkurang.
 
Secara umum, mereka yang merasa media tidak adil adalah kalangan yang berpandangan politik condong ke kanan. Orang-orang muda berusia 18-24 tahun, orang Amerika kulit hitam dan Hispanik, orang Jerman Timur, dan kelas sosial ekonomi Inggris tertentu merasa mereka diberitakan secara tidak adil.

Tetapi, pesan keseluruhannya adalah bahwa kebanyakan orang menginginkan berita yang adil dan berimbang, dan meskipun ada masalah yang semakin mendalam bagi model bisnis berita cetak, banyak orang akan membelinya.

"Sementara jurnalisme yang tidak memihak atau objektif semakin dipertanyakan oleh beberapa orang, secara keseluruhan orang sangat mendukung cita-cita tentang berita yang tidak memihak," tulis Craig T. Robertson, seorang peneliti pascadoktoral di Institut tersebut, dalam laporannya.

"Orang-orang menginginkan hak untuk memutuskan sendiri."

Institut Reuters untuk Studi Jurnalisme adalah pusat penelitian di Universitas Oxford yang melacak tren media. Yayasan Thomson Reuters, cabang filantropisThomson Reuters, mendanai Institut Reuters.


Sumber: Reuters

Baca juga: Apple akan hadirkan kembali platform media sosial Parler ke App Store

Baca juga: Hari Media Sosial, Facebook luncurkan panduan ber-medsos
​​​​​​​

Baca juga: WhatsApp akan bisa login di empat perangkat sekaligus


 

Menara media Gaza tempat AP berkantor runtuh oleh rudal Israel


 

Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021