Persoalan seberat dan sebesar apa pun akan kembali pada bagaimana kita menyikapinya. Bila hari ini kita mengeluh dan merasa tidak bahagia, haruskah kita menyalahkan lingkungan sebagai penyebab ketidakbahagiaan itu?
Yakinkah Anda bila para orang tua yang hidup sehat pada usia lanjut dapat menjadi salah satu sumber pelajaran tentang kebahagian? Saya yakin sekali, terutama terhadap mereka, pasangan lanjut usia yang telah menjalani rumah tangga puluhan tahun.

Ibarat kamus, mereka adalah sekumpulan  perbendaharaan kosa-kata kehidupan yang tak pernah habis. Saya senang berada dekat mereka, saya yakin Anda juga. Mari temukan hikmah dan banyak keajaiban dari pengalaman hidup mereka.

Saat menginjak usia kepala empat sekitar tiga tahun lalu, saya punya kebiasaan baru. Ada dua pertanyaan yang sering saya ajukan kepada  para orang tua berusia di atas 70 tahun, tentunya yang sudah saya kenal baik.

Sungguh menarik, jawaban mereka ternyata sering sama. Pilihan kata-kata saja yang terkadang sedikit berbeda. Menakjubkan!

Pertanyaan pertama adalah; "Apakah Bapak atau Ibu bahagia saat ini?". Tidak jarang banyak di antara mereka terkejut dengan pertanyaan itu. Ada di antara mereka  yang menyatakan baru pertama kalinya seseorang "berani" menanyakan hal itu. "Berani" dan "tidak sopan" boleh jadi beda tipis dalam soal ini.

Biasanya, saya segera memberikan tambahan penjelasan sembari minta maaf. Saya katakan ingin belajar hidup dari pengalaman orang yang dianugerahi hidup lanjut.Biasanya mereka mau menjawab pertanyaan itu.

Pada beberapa kesempatan, banyak di antara mereka terharu menjawabnya.. Bahkan, ada yang menjawab sambil berlinang air mata, Masya Allah.

Pertanyaan kedua adalah "Apa yang membuat Bapak atau Ibu bahagia?" Pertanyaan ini umumnya tidak memperoleh respon "sedramatis" pertanyaan pertama, namun jawaban kedua inilah yang menjadi esensi tulisan Jeda kali ini.

Husodo Darusalam Dirdjokusumo (74 tahun), ayahanda sahabat saya, Heru Dewanto, misalnya. Pak Husodo dikaruniai tiga putra yang semuanya sudah dewasa dan berkeluarga. Kini, beliau dikarunia dua cucu.

Semua anaknya berpendidikan tinggi, bahkan sahabat saya ini sempat memperoleh dua beasiswa di Leeds (UK) dan Wina (Austria). Kini, Heru juga sedang menyelesaikan program PhD di Stocholm (Swedia).

Sahabat saya ini sempat jadi eksekutif beberapa perusahaan nasional dan multinasional, dan hidup harmonis dengan istri dan putranya. Kedua adik Heru juga juga tidak jauh berbeda. Saya bersyukur dapat menjadi sahabat mereka sekeluarga.

Pak Husodo menyatakan ia merasa bahagia, dan mensyukuri semua karunia yang diperolehnya. Beliau merasakan nikmat melimpah dari Allah SWT, bahkan termasuk saat-saat menghadapi kesulitan sekalipun. Pak Husodo bersyukur diberikan usia lanjut agar dapat terus menambah tabungan amaliah untuk kehidupan selanjutnya.

Beliau menyatakan  sumber ketenangan dan kebahagiaan hidupnya adalah menerima semua yang dihadapinya sebagai ketentuan terbaik dari Allah SWT, sembari terus melakukan ikhtiar sebaik-baiknya. Kesulitan dan kemudahan katanya datang silih berganti. Itulah ketentuan hidup semua orang, sunatullah.

Sebagai karyawan PJKA (sekarang PT KA), beliau menyatakan hidupnya tidaklah berlebihan, namun ia berusaha mengajarkan nilai-nilai kerja keras, ketekunan, syukur yang diiringi dengan tawakal kepada Allah SWT pada diri dan keluarganya pada saat sulit, terlebih lagi memperoleh kemudahan dalam hidup.

Nilai-nilai itu, menurutnya, telah membawanya pada ketenangan batin dalam menjalani hari-harinya sebagai pekerja dan kepala keluarga. Ia bersama istrinya (Suhermien, 69 tahun) begitu antusias membesarkan ketiga putra dengan penuh cinta. Pak Husodo semakin bahagia saat menyaksikan anak-anaknya bersuka cita menamatkan studinya, memperoleh pekerjaan, menikah dan dikaruniai keturunan.

Contoh kedua adalah Tengku Nathan Mahmud (75) tahun. Saya menganggap beliau sebagai salah satu mentor yang mengajarkan nilai-nilai integritas dan totalitas dalam memulai dan menyelesaikan pekerjaan. Kami  ernah sama-sama mengelola dan mengajar di BINUS Business School. Berada di sekitar Pak Mahmud, kami turut terbawa semangatnya. Kata-katanya selalu menggetarkan.

Tahun lalu, Pak Mahmud merayakan pernikahan emas bersama Sri Siddharti (75 tahun), isterinya. Sebagai seorang PhD dan sempat menjadi CEO ARCO, Pak Mahmud selalu antusias menjalani hari-harinya baik sebagai kepala keluarga dan profesional. Kini, beliau dikaruniai tiga anak dan 10 cucu.

Saya mengagumi etos kerja, integritas dan sikapnya yang selalu rendah hati. Berbeda usia lebih dari 30 tahun tidak membuatnya berjarak dengan para koleganya yang jauh yunior. Kebiasaan mendengar efektifnya membuat kami para yunior semakin menghormatinya.

Dia tidak pernah lelah memotivasi para kolega yang dipimpinnya. Dia ladeni pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa kelas eksekutif yang sering melewati jatah jam mengajarnya. Dia baru berhenti, saat tidak ada pertanyaan lain dari para mahasiswanya. "Saya semakin bahagia, saat para mahasiswa antusias", katanya.

Menurutnya, dia melakukannya karena ingin berbagi ilmu dan pengalaman dengan anak didiknya. Berbagi ilmu dan pengalaman adalah caranya bersyukur, subhanallah. Saat ini, Pak Mahmud menjabat sebagai Komisaris Utama PT. PGN Persero (Tbk) dan masih menyempatkan mengajar paruh waktu sebagai panggilan hidupnya untuk terus berbagi.

Sekali lagi, terhadap pertanyaan yang sama Pak Mahmud juga menyatakan kebahagiaannya adalah saat menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur, merasa memperoleh limpahan nikmat yang tiada hentinya dalam menghadapi semua rangkaian ujian kehidupan.

Satu hal yang sama antara Pak Husodo dan Pak Mahmud, kebahagiaan keduanya dijalani bersama dengan istri yang dicintainya puluhan tahun. Mereka juga bersyukur karena ditemani pendamping hidup yang luar biasa.

"Selalu ada perempuan yang luar biasa di samping pria yang hebat", demikian kata seorang bijak belasan tahun lalu saat penulis menghadiri orasi Profesor AM Saefudin di Bogor. Saya tidak tahu, siapa yang pertama mengucapkan kalimat inspiratif itu.

Teman, saya yakin banyak para orang tua di sekitar kita. Tentu saja, terutama para orangtua yang telah susah payah membesarkan kita dengan kasih yang luar biasa. Sangat baik, salah satu doa yang sering kita panjatkan adalah agar mereka dikasihi Sang Pencipta, sebagaimana mereka mengasihi kita pada masa kanak-kanak.

Kasih mereka kepada anak-anaknya sepanjang masa. Belajar kehidupan dari mereka niscaya membuat kita akan semakin meyakini makna kata syukur terhadap apa pun keadaan yang kita tengah jalani hari ini dan esok. Semuanya adalah testimonial tak terbantahkan, sebab mereka telah mengalami, meski tak terungkap dengan kata-kata.

Banyak testimonial para orang tua yang menegaskan bahwa persoalan terbesar dalam kehidupan adalah mengelola keyakinan dan pikiran diri kita sendiri, ketimbang harus menyalahkan orang lain atau lingkungan.

Persoalan seberat dan sebesar apa pun akan kembali pada bagaimana kita menyikapinya. Bila hari ini kita mengeluh dan merasa tidak bahagia, haruskah kita menyalahkan lingkungan sebagai penyebab ketidakbahagiaan itu?

Teman, boleh jadi benar, masalah terbesar kita sebenarnya lebih banyak terjadi karena diri kita sendiri, karena kita kurang bersyukur? Padahal para orang tua telah mengajarkan hal itu dengan bijak meski terkadang kita lupa menimba pengalaman mereka. Wallahu'alam. (**)

*) Penulis adalah praktisi manajemen dan pemerhati kepemimpinan, tinggal di Bogor.

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009