Jakarta (ANTARA) - Konsekuensi logis bagi Provinsi Jawa Tengah yang terletak di tengah Pulau Jawa secara geografis, memiliki dampak signifikan ketika berbicara mobilitas pergerakan manusia sebelum, saat dan setelah Lebaran 2021/Idul Fitri 1442 Hijriah.

Melihat posisinya, secara otomotis frekuensi kedatangan dan kepergian orang, baik pendatang maupun orang asli Jawa Tengah, menjadi tinggi.

Migrasi warga dikaitkan dengan musim Lebaran, terutama dari arah barat, Banten, DKI Jakarta maupun Jawa Barat secara massif akan memasuki Jawa Tengah, baik yang memang tujuannya di Jawa Tengah maupun yang menuju ke Yogyakarta dan Jawa Timur.

Baca juga: PPKM dan "jogo tonggo" menghadapi COVID-19

Kebijakan larangan untuk tidak mudik oleh pemerintah sejatinya kebijakan yang relative baik untuk mencegah dan menghambat penyebaran virus COVID-19.

Namun apa daya, justru dicari celah main kucing-kucingan dan gejala ini sangat rentan karena tidak adanya pengawasan atau kontrol kesehatan.

Pengalaman adalah guru yang baik. Contoh nyata ketika selesai musim liburan kenaikan kasus COVID-19 hampir pasti terjadi. Ini akibat liburan dan mobilitas atau bukan, yang jelas kenaikan kasus COVID-19 naik secara signifikan.


Langkah Pemprov

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah didukung oleh 35 kabupaten dan kota mengambil langkah dengan menerapkan PPKM Mikro berskala RT. PPKM adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2021 untuk menangani pandemi COVID-19. Apa pertimbangannya? Berdasarkan data yang ada, Jawa Tengah kategori cukup serius kenaikan kasus COVID-19-nya. Berkisar peringkat tiga sampai lima.

Kebijakan publik yang diambil, penentuan zona per kabupaten atau kota tidak ditentukan secara makro. Staregi ini dirasa tepat, di mana berdasarkan investigasi masalah pengetrapan secara makro dirasa tidak menguntungkan karena tidak seluruh wilayah tersebut berstatus zona merah COVID-19.

Maka berdasarkan identifikasi masalah tersebut, disusunlah agenda seting dan munculah micro zona atau zona mikro. Bahkan setingkat RT. Ini kebijakan publik yang relatif tertata dengan baik. Kebijakan publik yang baik, paling tidak ada lima acuan.

Baca juga: Vaksin Merah Putih, vaksin nasionalisme dan patriotisme

Pertama, dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat. Kedua, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya, ketiga ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik, keempat untuk kemaslahatan umat, sehingga sangat bermanfaat bagi publik dan kelima, diterima oleh sebagian besar publik, diharapkan muncul partisipasi.

Point empat dan lima sangat relevan dengan kondisi masyarakat ketika menghadapi pandemic yang sudah masuk ambang membosankan. Maka kebijakan publik di mana untuk kemaslahatan umat, sehingga sangat bermanfaat bagi publik dan bisa diterima oleh sebagaian besar publik, diharapkan muncul gerakan untuk bersama sama menanggulangi peneyebaran COVID-19.

Maka langkah Pemprop Jateng dan Pemkot Semarang secara serius dan konsisten dengan para pemangku kepentingan memonitor sejak dari lingkungan RT. Angka COVID-19 melonjak naik dan masyarakat kian lalai menjaga disiplin protokol kesehatan. Penerapan micro zonasi menjadi pilihan.

Baca juga: Lebih sulit menangani protokol kesehatan dibanding proses Pilkada

Ada kasus di tingkat keluarga, perangkat RT segera lapor ke RW dan RW meneruskan ke Puskesmas terdekat. Pihak Puskesmas inilah yang melakukan pendampingan dan memonitor langkah apa yang harus diambil.

Mengapa masyarakat sulit untuk berdisiplin? Secara psikososial, masyarakat sempat merasa aman dari gempuran COVID-19 selama ini. Hal ini yang menyebabkan kedisiplinan sempat turun.

Pada saat yang sama, seiring berjalannya waktu, adanya protokol kesehatan menjadi tidak lagi ampuh untuk membuat masyarakat menjadi patuh pada aturan kesehatan.

Baca juga: Mendorong program vaksinasi COVID-19 yang menjangkau seluruh rakyat

Salah satu contoh, tradisi mudik ke kampung halaman, walau pemerintah telah mengambil kebijakan agar tidak mudik demi menghentikan rantai penularan virus. Nyatanya, mobilitas tetap berjalan. Walau tidak mudikpun karena merasa bosan tetap mengunjungi daerah wisata.

Situasi semacam ini memang mutlak diperlukan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal pengawasan atau kontrol. Ada perpaduan antara social control dengan government control.

Tanpa ini sulit diharapkan hasil yang optimal. jika government control ini bergerak sendiri, harus diikuti oleh aparatur yang kuat untuk pengendaliannya. Sebab, jika government control itu hanya berupa nasihat dan nasihat tersebut tidak berurusan dengan kesehatan dan pendidikan, maka penguatannya dinilai kurang.


Lima M

Hal-hal yang perlu dipersiapkan dengan baik yaitu manajemen mitigasi menghadapi COVID-19, dengan Lima M atau 5M, yaitu Man, Money, Material, Method dan Minute.

Man, tersedianya sumber daya manusia (SDM). Disinilah perlunya kecukupan baik dari jumlah maupun dari sisi kualifikasi. Money, kesediaan dana harus jelas sumbernya, jelas besarannya, siapa yang melaksanakan dan pertanggungjawabannya.

Material, sekarang yang sedang ramai dibicarakan adalah ketersediaan oksigen. Method, ini juga rawan saling tidak sepaham. Ada lockdown, PSBB, PPKM dan sejenisnya. Terakhir Minute atau waktu yang selalu berkejaran. Waktu tidak mungkin berhenti, barang sedetik.

*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng

Copyright © ANTARA 2021