Jakarta (ANTARA) - Infrastruktur seperti ketersediaan jalan raya, pelabuhan, dan akses listrik, yang memadai, dinilai penting sebagai pertimbangan masuknya investasi di wilayah yang memiliki lahan pertanian berskala luas di luar Pulau Jawa.

Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), yang dikutip di Jakarta, Rabu, menunjukkan investor utama infrastruktur di lahan pertanian masih terbatas kepada petani individu dan pemerintah.

Petani individu, asosiasi petani dan penduduk setempat kebanyakan berinvestasi di infrastruktur berskala kecil sementara pemerintah bergerak di infrastruktur berskala besar.

"Beberapa investor memang bersedia membangun sendiri infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung usaha mereka. Namun, margin yang tidak terlalu besar pada budi daya kebanyakan tanaman pangan biasanya berujung kepada keputusan untuk akhirnya tidak berinvestasi di sektor ini," terang Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu.

Selain infrastruktur, masalah kejelasan kepemilikan lahan, terutama di pedesaan, serta potensi konflik agraria antara warga setempat dan investor, merupakan risiko investasi yang signifikan dan mempengaruhi keengganan berinvestasi di sektor hulu pertanian Indonesia. Akibatnya, investasi swasta di sektor hulu pertanian masih terbatas.

Mengatasi isu lahan, lanjut Donny, membutuhkan reformasi secara meluas yang bisa meningkatkan kejelasan kepemilikan lahan, terutama di wilayah pedesaan di Indonesia.

Dia mengatakan menyusutnya lahan pertanian akibat konversi ke penggunaan nonpertanian seiring dengan bertambahnya populasi juga menambah persoalan.

Tingkat konversi lahan di Indonesia mencapai 187.720 hektare/tahun, dengan kebanyakan lahan beralih fungsi menjadi perumahan dan kawasan industri

"Pemerintah sebenarnya sudah merespons urgensi reformasi kebijakan melalui deregulasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, masih dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan teknis untuk mengatasi rumitnya proses serta persyaratan untuk mendapatkan izin investasi, serta transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan," kata dia.

Menurut Donny, diperlukan peningkatan kapasitas kelembagaan, terutama bagi kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait perdagangan dan investasi sektor pertanian, serta pemerintah daerah agar lebih siap mengakomodasi penanaman modal asing (PMA).

Donny melanjutkan upaya memangkas birokrasi, seperti yang diukur melalui peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia (Ease of Doing Business Index), juga tetap perlu terus dilanjutkan.

Pada 2020, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 190 dalam kemudahan berbisnis pada indeks tersebut, namun pada indikator lainnya, peringkat Indonesia tidak terlalu baik.

Indonesia berada di peringkat 146 dalam hal pelaksanaan kontrak, peringkat 139 dalam hal pembukaan usaha, peringkat 117 dalam hal perdagangan lintas negara, peringkat 111 dalam hal penanganan izin konstruksi, dan peringkat 107 dalam hal pendaftaran properti.

Pemerintah sudah mencoba menyederhanakan persyaratan bagi investasi yang sangat rumit, tidak efisien dan birokratis. Namun, investasi di sektor pertanian hanya 3 persen sampai 7 persen total realisasi PMA antara 2015-2019.

Baca juga: Jaga persediaan pangan, Kementan uji kompetensi penyuluh pertanian
Baca juga: Kementan-FAO luncurkan Program Ketahanan Kesehatan Global
Baca juga: Mentan: Pemulihan ekonomi dapat melalui pengembangan riset pertanian


Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021