Jakarta (ANTARA) - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) belum merekomendasikan pemanfaatan Ivermectin sebagai obat pencegahan penyakit COVID-19, sebab belum dinyatakan lolos dalam uji klinis keamanan dan khasiat.

"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Ivermectin ini belum direkomendasikan sebagai obat untuk penanganan COVID-19," Ketua Gugus Tugas COVID-19 dari Ikatan Apoteker Indonesia Prof Cary Lestari dalam konferensi pers secara virtual yang dipantau di Jakarta, Jumat malam.

Baca juga: BPOM temukan produsen Ivermectin langgar CPOB dan CDOB

Baca juga: Ivermectin tak direkomendasikan untuk obati COVID-19 pada ibu hamil


Meskipun pada Maret 2021, Ivermectin tercantum dalam panduan WHO terkait penanganan COVID-19, tetapi obat indikasi kecacingan itu tercatat untuk keperluan uji klinik agar bisa dibuktikan secara keamanan dan khasiatnya, kata Cary.

Apoteker yang juga Ketua Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Bidang Farmasi itu menyampaikan IAI bersama para guru besar keilmuan farmakologi, analisis farmasi dan keilmuan terkait dengan pharmaceutical telah mengupas mengenai penggunaan Ivermectin untuk penanganan COVID-19.

Mereka berkesimpulan bahwa karakteristik Ivermectin sebagai obat keras, sehingga diperlukan pantauan dan resep dokter dalam pembelian serta penggunaanya.

"Sangat tidak dianjurkan penggunaan obat tersebut dengan pembelian yang tanpa resep dokter, pembelian bebas, apalagi dengan pembelian secara online (daring)," ujarnya.

IAI juga menyayangkan beredarnya informasi yang menyatakan bahwa Ivermectin dapat digunakan untuk pencegahan COVID-19.

"Untuk pengobatan COVID-19 saja, direkomendasikan hanya untuk yang indikasi keparahan. Untuk upaya pencegahan, ini sangat tidak direkomendasikan, karena sehubungan dengan adanya efek samping yang memang masih perlu ditelaah lebih dalam mengenai keamanan penggunaan obatnya," katanya.

Baca juga: Penjelasan Susi terkait Ivermectin jadi obat terapi 8 karyawannya

Cary mengatakan profil Ivermectin sebagai obat antiparasit bagi pasien indikasi kecacingan telah diberi panduan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan hanya boleh diberikan satu tahun sekali pada pasien.

"Kalau itu digunakan untuk pencegahan dalam penggunaan rutin jangka panjang, itu memerlukan satu perhatian khusus dan memerlukan pembuktian lebih jauh," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021