Pretoria (ANTARA News) - Bagi para pemain dan pelatih negara-negara lain, Vuvuzela bisa menjadi kutukan, tetapi bagi kubu tuan rumah alat musik tradisional itu menjelma menjadi senjata rahasia untuk mengatasi lawan-lawannya di lapangan hijau.

Trompet plastik Vuvuzela memang telah menjadi kontroversi sejak Piala Konfederasi tahun lalu karena beberapa pemain mengeluh mereka tidak dapat berkomunikasi dengan lancar akibat bunyi alat musik itu yang sangat keras.

Pelatih Thailand, Bryan Robson, juga mengeluhkan hal yang sama ketika timnya dikalahkan Afrika Selatan 4-0 di laga uji coba 16 Mei silam.

Akan tetapi menurut Pedro Espi-Sanchis, seorang pakar musik dari Spanyol, vuvuzela adalah alat musik khas Afrika yang awalnya dibuat dari tanduk Antelop atau Kudu.

Alat musik itu sering digunakan sebagai alat untuk mengumumkan upacara adat atau acara-acara meriah di Afrika Selatan.

"Jadi seseorang mulai berpikir kita bisa menggunakan ini di stadion lalu mulai memproduksinya secara masal," kata Espi-Sanchis seperti yang dikutip Reuters.

Pelatih Afrika Selatan, Carlos Alberto Parreira juga yakin Vuvuzela merupakan ide yang brilian.

"Kami harus mencoba memanfaatkannya. Kami ingin itu berbunyi lebih dan lebih keras lagi," ucap Parreira yakin.

Espi-Sanchis menegaskan vuvuzela jika ditiup bersamaan dalam stadion bisa menghasilkan nada dan irama yang menawan.

"Masalahnya adalah tidak ada yang berusaha mencoba mensinkronkan suara vuvuzela di seluruh stadion, jadi semua vuvuzela di stadion memainkan irama yang sama," usul Espi-Sanchis.

"Jika orang-orang di Eropa bisa bernyanyi lagu yang sama d i stadion maka kita bisa memainkan irama yang sama di sini," ujar Espi-Sanchis.

FIFA dan otoritas Afrika Selatan sendiri mengatakan alat musik tradisional itu telah menjadi salah satu identitas Piala Dunia Afrika Selatan.

"Sekarang vuvuzela berada dalam Piala Dunia. Itu adalah bagian dari Piala Dunia ini," tegas Danny Jordaan, ketua penyelenggara Piala Dunia.
(Ber/A024) 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010