Johannesburg (ANTARA News) - Cerita-cerita seram mengenai tindak kejahatan di Afrika Selatan, terutama di Johannesburg, yang berasal dari berbagai media saat berada di Tanah Air, membuat jantung terasa berdebar kencang saat pesawat Malaysia Airlines dengan kode penerbangan MH 203, mendarat mulus di bandara Oliver Tambo, Selasa malam.

Kata-kata peringatan, baik yang disampaikan secara langsung maupun berdasarkan laporan berbagai media mengenai kondisi keamanan di Johannesburg, kembali segar dalam ingatan.

"Jangan keluar malam kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Jangan berjalan sendirian. Jangan pernah memasuki daerah rawan. Jangan naik kendaraan umum". Itu adalah peringatan yang sudah sangat sering didengar oleh mereka yang baru pertama kali berkunjung ke negeri Nelson Mandela tersebut.

Memang sulit untuk membuang jauh-jauh kekhawatiran tersebut karena dari semua yang ditanya komentarnya mengenai kondisi keamanan di Afrika Selatan, hampir semuanya memberikan jawaban senada.

"Hati-hati di sana. Penjahat tidak segan-segan menusuk korban. Saya pernah ke sana, tapi tidak betah karena khawatir dengan keamanannya," kata seorang wanita warga Belanda keturunan Indonesia yang ditemui di bandara Soekarno Hatta, beberapa saat menjelang keberangkatan ke Johannesburg.

Beberapa saat setelah ANTARA dan rombongan wartawan Indonesia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di bumi Afrika, kembali terdengar peringatan yang sama dan kali ini lebih seram.

"Mereka tidak pernah sendiri dalam melakukan aksi kejahatan dan tidak sekedar mengancam dengan pisau, tapi dengan senapan M-16. Mereka juga beraksi secara berlapis karena di belakang mereka ada rekan-rekannya yang membantu," kata Priharjono, pelatih silat yang menjemput rombongan di bandara Oliver Tambo.

Meski berprofesi sebagai pelatih silat, Priharjono yang akrab disapa Kak Jojo oleh muridnya mengaku tidak berani macam-macam kalau sudah berhadapan dengan penjahat.

"Sejago apa pun dalam silat, kalau sudah ditodong dengan senapan laras panjang itu kita bisa apa? Kalau sudah begitu, lebih baik pasrah saja dan berikan saja yang diminta. Jangan sekali-sekali memandang wajah mereka karena akan langsung dihabisi," katanya.

Apa yang disampaikan oleh pria berusia 47 tahun yang akrab disapa Jojo itu, dibenarkan oleh Sariat Arifia, seorang pengusaha Indonesia yang juga ikut menjemput rombongan wartawan Indonesia.

Selama perjalanan dari bandara menuju penginapan di daerah Bosmont, Sariat (35 tahun), pengusaha di bidang perkapalan yang sudah lima tahun berdomisili di Johannesburg mengatakan bahwa selain tingkat kejahatan yang tinggi, buruknya sarana transportasi merupakan masalah utama di kota tersebut.

"Di sini tidak ada transportasi umum selengkap di Jakarta yang selalu tersedia selama 24 jam. Anda lihat sendiri, yang lalu lalang di jalanan hanya kendaraan pribadi," katanya.

Saat ANTARA dan rombongan keluar dari lokasi bandara menuju Bosmont, jam menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat (pukul 04.00 dinihari WIB).

Berbeda dengan suasana jalanan di Jakarta yang tidak pernah mati, jalanan di Johannesburg benar-benar sepi dan hanya satu dua kendaraan yang ditemui dan semuanya adalah mobil pribadi.

"Kalau pun ada taksi, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa itu adalah taksi karena tidak ada bedanya dengan mobil pribadi," kata Sariat yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Silat Afrika Selatan itu.

Sariat kembali menegaskan bahwa ia tidak menganjurkan siapa pun, terutama yang baru pertama kali ke Johannesburg, untuk menggunakan bus umum yang kebanyakan digunakan oleh warga kulit hitam.

"Nanti saya akan carikan mobil milik kenalan saya yang bisa disewa. Terus terang saya sangat konsern soal keamanan. Kalau tidak hati-hati nyawa taruhannya," katanya.

Berada kurang dari sehari di Johannesburg memang belum bisa menjadikan gambaran kondisi Johannesburg, maupun kota lainnya di Afrika Selatan secara utuh. Tapi peringatan-peringatan tersebut jelas tidak bisa dianggap sepele.

Berdasarkan statistik, setiap hari rata-rata terjadi 50 kali kasus pembunuhan (sebagian besar ditikam) di Afrika Selatan yang menempatkan negara tersebut sebagai daerah paling berbahaya setelah wilayah perang.

Kondisi itu pulalah yang dilihat sebagai peluang oleh perusahaan Inggris dengan memproduksi jaket anti peluru yang dipasarkan selama Piala Dunia 2010.

Pemerintah Afrika Selatan maupun Panitia Piala Dunia 2010 sudah berulang kali menegaskan bahwa mereka siap untuk melipat gandakan personil keamanan selama berlangsungnya pesta sepak bola yang akan berlangsung 11 Juni sampai 11 Juli mendatang.
(A032/B010)

Pewarta: Oleh Atman Ahdiat
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010