Samarinda (ANTARA News) - Tarakan menangis, dua etnis bertetangga dekat bahkan sebenarnya bertalian darah itu terkoyak untuk tiba-tiba saling membenci dan saling membunuh.

Puncak pertikaian dua etnis Suku Tidung di Tarakan, sebuah pulau kecil di utara Kalimantan Timur dengan saudaranya Suku Bugis-Makkasar mencapai puncaknya pada Selasa malam (28/9) sampai Rabu paginya, karena dua kelompok baku serang yang menyebabkan dua korban lagi meninggal.

Awal kejadian hanya masalah sepele lima orang pemuda Suku Bugis di Perumahan Juwata Permai Minggu malam (26/9) sekitar pukul 22.00 Wita yang dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat karena pesta Miras (minuman keras) tersinggung ketika ditegur oleh pemuda, warga lokal serta menyerang pemuda tersebut.

Entah bagaimana mulanya, solidaritas serta sintimen kedaerahan tiba-tiba mengkristal saat proses pemakaman korban karena sebagaian pelayat sudah membawa senjata tajam sehingga terjadilah pertikaian berdarah.

Akhirnya, perdamaian tercapai yang disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak beserta sejumlah pejabat pemerintahan Kota Tarakan dan sejumlah tokoh masyarakat Rabu (29/9) malam di ruang VIP Bandara Juawata Tarakan.

Kesepakatan damai tersebut terjadi setelah Fokum Komunikasi Rumpun Tidung (FKRT) dan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) menyepakati sepuluh butir perdamaian. Nota Kesepakatan ditandatangani Yancong mewakili KKSS dan Sabirin Sanyong mewakili FKRT.

Awang Faroek Ishak bersama Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisyal, anggota DPD Luther Kombong, Asop Kapolri Irjen Sunarko DA, Pangdam VI Mulawarman Mayjen Tan Aspan, Bupati Kabupaten Tana Tidung Undunsyah, Wakapolda Kaltim Brigjen Ngadino, Wali Kota Tarakan Udin Hianggio, Bupati Bulungan Budiman Arifin, dan Wakil Bupati Malinau Datu Muhammad Nasir menyaksikan kesepakatan itu.

Dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak harus mengakhiri segala bentuk pertikaian dan membangun kerja sama harmonis demi kelanjutan pembangunan Kota Tarakan.

Kedua belah pihak memahami bahwa apa yang terjadi merupakan murni tindak pidana dan merupakan persoalan individu.

Selanjutnya, disepakati pembubaran konsentrasi massa di semua tempat sekaligus melarang dan atau mencegah penggunaan senjata tajam dan senjata lainnya di tempat-tempat umum.

Kesepakatan lain, masyarakat yang berasal dari luar Kota Tarakan yang berniat membantu penyelesaian perselisihan agar segera kembali ke daerah masing-masing selambat-lambatnya 1 kali 24 jam.

Sedangkan para pengungsi di semua lokasi akan dipulangkan ke rumah masing-masing, difasilitasi Pemkot Tarakan dan aparat keamanan. Apabila kesepakatan damai dilanggar, aparat akan mengambil tindakan tegas sesuai perundang-undangan.

Seluruh pihak kemudian langsung melakukan sosialisasi ke kelompok yang bertikai diawali ke kelompok massa di Jalan Gajah Mada, Simpang Tiga Grand Tarakan Mal.

Kapolda Kalimantan Timur Irjen Mathius Salempangan mengeluarkan maklumat akan menyita senjata api, senjata tajam dan sejenisnya dan menangkap pelaku yang menggunakannya tersebut untuk diproses secara hukum.

"Polda Kaltim mengeluarkan maklumat, warga yang menggunakan senpi,sajam dan sejenisnya agar disita dan dapat ditangkap untuk diproses secara hukum," ujar Kapolda.

Kesepakatan damai itu kemudian diikuti oleh berbagai organisasi mengatasnamakan warga lokal dengan warga Sulawesi Selatan, antara lain di Kutai Timur, Samarinda dan Balikpapan.

Sampit Kedua

Banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa kasus itu terus berlanjut sehingga akan terulang kembali kerusuhan bernuangsa SARA (suku, agama, antarras dan antargolongan) seperti di Kalteng pada 2001 atau lahir "Sampit Kedua" di Tarakan.

Syukurlah, meskipun dianggap terlambat ---faktor pemicu juga disebut-sebut karena polisi lamban menangkap pelaku pembunuh Abddulah--- namun berkat kerja keras pihak Polri dan TNI sehingga perdamaian dapat tercipta.

Tidak bisa terbayangkan, jika aparat keamanan dibantu jajaran TNI tidak mampu menangani kasus itu secara cepat dan tepat. Misalnya, aparat berhasil menghalau datangnya bala bantuan dari suku-suku asli Kalimantan dari kawasan pedalaman Sungai Kayan dan pedalaman Sungai Malinau.

Aparat berhasil menghalau ribuan orang dari kawasan pedalaman Sungai Kayan dan Sungai Malinau dari Suku Dayak, Tidung dan Bulungan yang menggunakan puluhan mungkin ratusan kapal bermotor lolos sampai ke Tarakan.

Hal yang sama juga terjadi oleh solidaritas warga dari Sulawesi Selatan. Aparat berhasil menahan puluhan orang tanpa identitas jelas serta membawa senjata tajam yang menumpang di kapal Pelni berangkat dari Pelabuhan Parepare tujuan Pelabuhan Nunukan, daerah yang dekat dengan Tarakan.

Kekhawatiran bahwa Tarakan akan menjadi "Sampit Kedua" bisa benar namun bisa juga tidak. Berbeda kasus di Sampit, keberadaaan warga Sulawesi di Kaltim sebenarnya memiliki historis panjang sehingga memiliki pertalian darah yang erat.

Berdasarkan sejarah persaudaraan antara warga Tidung-Bulungan kian erat dengan warga dari Sulawesi ditandai dengan menikahnya, Petta To Siangka salah seorang anak bangsawan Wajo, yakni La Maddukkelleng dengan putri dari kesultanan Tidung dan Bulungan pada sekitar 1730-an yang diikuti oleh para pengikutnya.

Lintasan peristiwa lain yang membuktikan adanya pertalian erat itu, terkait dengan terbitnya UU Nomor 22 Tahun 1955 wilayah Kesultanan Tidung dan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa saat itu Sultan Maulana Djalaluddin diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai dengan akhir hayatnya pada 1958.

Kemudian pada 1959 melalui UU Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa yang diubah lagi Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan, maka bupati pertama Bulungan yang membawahi Tarakan, Tanah Tidung Malinau dan Nunukan adalah Andi Tjatjo Datuk Wiharja (1960-1963) adik ipar Sultan Maulana Djalaluddin, seorang bangsawan keturunan Bugis.

Beberapa peristiwa sejarah itu membuktikan bahwa sejak ratusan tahun silam ada pertalian darah begitu erat antara warga Bugis dengan suku asli Tidung dan Bulungan. Dua komunitas itu selama ratusan tahun hidup berdampingan dan saling menghormati. Bahkan generasi sekarang sebagian darahnya adalah darah Bugis.

Sehingga begitu terjadinya pecah pertikaian itu, membuat orang-orangtua di utara Kaltim itu merasa prihatin melihat kondisi sosial yang sudah tidak saling menghormati dan menghargai.

Faktor Konflik

Terlepas dari tinjauan sejarah tersebut, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Prof Saroso Hamongpranoto, SH menilai bahwa ada tiga faktor yang bisa menjadi pemicu konflik di Tarakan itu.

"Faktor secara khusus sudah tentu karena kelemahan penegakan hukum. Kalau kita melihat secara khusus, maka akar masalah itu karena Miras masih dijual secara bebas meskipun katanya sudah dilarang dan dimusnahkan," ujar mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unmul Samarinda itu.

Ia menyatakan bahwa berbagai peraturan sudah melarang peredaran Miras, termasuk Perda (peraturan daerah) sehingga aparat harusnya benar-benar melakukan penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera bagi pembuat dan pengedarnya.

Kemudian, warga kini dengan gampang membawa senjata tajam di tempat umum padahal seharusnya mendapat saksi berat seperti kejadian di Tarakan dan di Ampera Jakarta yang menewaskan tiga warga.

"Secara umum, kasus itu bisa bermuara dari kecemburuan sosial, ketidakpastian kebijakan publik serta kondisi stres sosial masyarakat," katanya menambahkan.

Kecemburuan sosial itu kian tajam, katanya, saat terjadi ketidakpastian kebijakan publik, misalnya putusan pengadilan yang bisa dibeli.

"Katakan saja, warga lokal sudah puluhan tahun memiliki sebuah lahan namun karena tidak memiliki dokumen-dokumen, akhirnya hakim pengadilan mengeluarkan putusan yang secara formal dianggap benar akan tetapi dari sisi rasa keadilan masyarakat sangat tidak adil," ujar dia.

Warga pendatang karena keuletannya berhasil pada sektor ekonomi sehingga bisa dengan gampang membeli oknum aparat serta keputusan pengadilan.

"Seandainya penegakan hukum berjalan secara benar tidak memandang kaya atau miskin, masalah kecemburuan serta stres sosial itu pasti tidak terjadi," katanya.

Jadi, kata Sarosa bahwa kerusuhan di Tarakan, di Ampera serta berbagai daerah di Indonesia kini merupakan sebuah cerminan tentang kondisi penegakan hukum yang masih lemah serta tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat, khususnya bagi warga yang tidak mampu secara ekonomi.

"Saya mengkhawatirkan bahwa kasus di Tarakan itu bukan yang terakhir karena bisa terjadi di daerah lain, jika akar masalah yang menimbulkan tingginya kecemburuan sosial, ketidakpastian kebijakan publik serta stres sosial itu tidak mendapat penanganan secara tepat," papar dia.

Tampaknya, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik yang melibatkan massa maupun bernuasa etnis, perlu segera menuntaskan faktor-faktor yang menjadi akar masalahnya, terutama mampu menjadikan hukum sebagai panglima untuk menghidari tingginya kecemburuan sosial serta stres masyarakat karena merasa hukum hanya berpihak kepada orang mampu.

Kondisi sosial masyarakat yang rentan bertikai itu juga mencerminkan bahwa reformasi di bidang hukum masih jauh dari harapan sehingga menjadi PR bagi Susilo Bambang Yudhoyono dalam menjalankan amanat sebagai presiden untuk masa bhakti kedua kalinya.
(ANT/A024)

Oleh Iskandar Zulkarnaen
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010