Jakarta (ANTARA News) - Percaya tidak, Bahasa Indonesia turut mengeraskan pimikiran radikal yang memicu aksi-aksi teror belakangan ini?

Anda tak wajib menyepakati pernyataan ini. Tetapi sebelum menyimpulkan pernyataan itu spekulatif, tanyalah dulu pada Nasaruddin Umar, Guru Besar Tafsir Alquran pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

"Bahasa Indonesia itu miskin," kata sang profesor pada simposium "Memutus Mata Rantai Terorisme" di Jakarta, 29 Juli 2010. Dan itu, lanjutnya, membuat orang-orang menyimpangkan pengertian dan pesan sebenarnya dari ayat-ayat Alquran.

Nasaruddin mengritik miskinnya kosa kata dalam Bahasa Indonesia sehingga terjemahan Alquran ke dalam bahasa itu sering tidak lengkap sehingga menciptakan lubang-lubang yang dapat dimanipulasi untuk tujuan-tujuan yang melenceng dari pesan sejati Islam.

Banyak kasus menunjukkan lebih dari satu kata pada Bahasa Arab dalam Alquran kerap dipadankan hanya dengan satu kata dalam Bahasa Indonesia, seperti kata "dan". Padahal, pemakaian dan konteks pengertiannya berbeda, kata Nasaruddin.

Itu belum lagi dengan kian gampangnya orang mengaku berhak menafsirkan "kalimat-kalimat Tuhan" dalam Alquran, padahal menafsirkan kitab suci membutuhkan keluhuran ilmu, kemuliaan hati dan otoritas teologis. Apalagi jika kata-kata itu sarat filosofi dan makna.

Nasaruddin menegaskan betapa kekacauan literal dan malas menelusuri konteks sejarah dan sosial budaya, telah membuat orang-orang yang tidak berhak menafsirkan Alquran, membelokkan pesan-pesan ilahiah sehingga Islam menjadi demikian terlihat keras dan pembenci. Padahal, sama sekali tidak!

Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama ini menyampaikan proposal mencengangkan mengenai kaitan radikalisme dengan semiotika.

Setidaknya ada 12 ayat Alquran yang pengertian diamputasi untuk kepentingan para radikal, kata salah seorang dari 500 tokoh muslim berpengaruh dunia ini.

Para radikal yang sebagian di antaranya adalah ideolog-ideolog teror, memangkas keutuhan pesan Alquran sekehendak hatinya demi justifikasi pemikiran dan aksi ekstrem mereka.

Itu terjadi, demikian Nasaruddin, karena orang-orang tak memahami pesan sesungguhnya dari Alquran, tidak berupaya mengenali konteks dasar keluarnya ayat Tuhan, dan tidak cukup ahli untuk menafsirkan makna bahasa.

Pendekatan semiotik ala Nasaruddin pantas dipakai, karena terorisme dan radikalisme ternyata tak berhenti oleh umpatan, slogan, dan kekerasan atas nama negara.

Bahkan, mantan Kepala Densus 88 Brigjen Pol Muhammad Tito Karnavian mengakui kebutuhan meninggikan dialog dan pertempuran di ranah intelektual melawan terorisme, yang disebutnya sebagai soft power.

Oleh karena itu, mesti ada babak baru yang dimasukkan dalam kampanye antiterorisme dan orang-orang seperti Nasaruddin Umar harus mendapat tempat yang lapang untuk menginvasi pemikiran-pemikiran keras yang memicu tindakan-tindakan ekstrem tersebut.

Menelanjangi

Para pemikir agama tak cukup hanya dengan menyebut Islam anti kekerasan.

Mereka harus bisa meyakinkan bahwa pengutipan-pengutipan ayat yang koruptif dan meninggalkan esensi Islam sebagai agama yang menyelamatkan --bukan membinasakan-- harus diakhiri.

Cerita mengenai Hamoud al-Hitar berikut mengilustrasikan keberanian seorang ulama dalam meluruskan pemikiran keras para radikal dengan mengunjungi para tervonis teroris di berbagai penjara di Yaman.

"Jika kalian bisa meyakinkanku bahwa pemikiran-pemikiran kalian dibenarkan oleh Alquran, maka aku akan bergabung dalam kalian," tantang al-Hitar kepada teroris-teroris itu. "Tapi jika aku yang berhasil meyakinkan kalian, maka kalian harus menanggalkan metode keras kalian."

Dengan metode dialog sepercaya diri itu, al-Hitar berhasil meredakan radikalisme dan kekerasan ekstrem orang-orang Yaman rekrutan Alqaeda. Hasilnya, sejak Desember 2002, serangan teroris di Yaman menyurut, kendati Yaman dinilai banyak orang akan menjadi ibukota teror.

"364 pemuda (tersangka teroris) dibebaskan dari penjara setelah melewati proses dialog, dan tak seorang pun dari mereka keluar Yaman untuk berperang lagi di medan (jihad) manapun," kata al-Hitar.

Kita bisa mencoba metode al-Hitar, setidaknya untuk mengetahui setinggi apa kepercayaan diri agamawan kita menghadapi pemikiran pelaku teror.

Al-Hitar tak berbicara di ruang-ruang teduh untuk mengatakan kekerasan kaum ultraradikal itu salah, namun mendatangi langsung para pelaku teror untuk mengadu bukti bahwa Alquran tak pernah menitahkan umatnya menyerang orang tak berdosa.

Akademisi Islam, Walled al-Ansary, lain lagi. Dia menelanjangi pesan fatwani Osama bin Laden yang disebutnya menyimpang dari Islam.

"Osama mengatakan membunuh orang Amerika dan sekutunya, baik sipil maupun militer, itu wajib," kata Walleed. Tapi, syariat Islam tak pernah mengenal kata `militer` dan `sipil.`

"Islam hanya mengenal kombatan (muqatala) dan nonkombatan (ghoiro muqatala). Dan nonkombatan adalah termasuk wanita, anak-anak, pendeta, orangtua, dan sejenisnya," kata Walleed.

Maka itu, sebut al-Waleed, Osama telah melanggar hukum Islam mengenai perang.

"Irjaf"

Mufti Mesir (Ketua MUI-nya Mesir), Syeikh Ali Goma, bahkan menawarkan perspektif yang jauh lebih maju.

Ulama terkemuka dunia ini menawarkan asosiasi baru untuk "teroris" dengan mencopot label "jihad" pada aksi terorisme Alqaeda dan afiliasinya, termasuk di Indonesia, dengan kata "Irjaf".

"Irjafiyyun` adalah terjemahan paling tepat untuk `teroris`, yaitu mereka yang menyebabkan keguncangan," kata Ali Goma.

Dari perspektif linguistik, lanjut Ali Goma, "irjaf" berarti pengecut, penipu, dan pengkhianat karena menyerang dari belakang.

"Irjaf hanya berani menyerang yang tak berdosa. Tak ada mulianya tindakan itu, dan sangat negatif. `Irjaf` jelas berbeda dari perang," kata ulama besar ini.

Ali Goma memesankan bahan ajar penting, bahwa pemikiran-pemikiran keras seharusnya tak dilawan oleh senjata dan retorika, namun dengan menelisik akar dan makna bahasa.

Itu juga adalah pesan bahwa agamawan harus mengambil peran lebih luas pada episode-episode deradikalisasi generasi muda Islam berikutnya.

Hal penting lainnya adalah mendekati dan bukan balik membenci, merangkul dan bukan mengasingkan, memilah dan bukan membuat generalisasi, adalah cara bijak memadamkan radikalisme dan menutup katup terorisme.

Ini karena, meminjam Ketua Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail yang berada satu podium dengan Nasaruddin Umar pada simposium 29 Juli tersebut, para aktivis jihad itu berkelas-kelas.

"Ada jihad putih, jihad hitam, dan jihad abu-abu," kata Noor Huda.

Kelompok putih yang adalah ideolog dan orang-orang inti gerakan teror hampir tak mungkin dibelokkan, sebaliknya "si hitam" dan "si abu-abu" yang keyakinan spiritualnya tak sekukuh si putih, masih bisa diluruskan.

Biarlah "si putih" menjadi urusan hukum, tapi "si hitam" dan "abu-abu" yang merupakan mayoritas pelaku teror di lapangan, mesti bisa didekati untuk meninggalkan kekerasan, seperti al-Hitar melakukannya di Yaman.

AR09/T010

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010