Jakarta (ANTARA) - UU Otsus Papua yang telah disetujui DPR RI untuk disahkan dalam Rapat Paripurna pada Kamis (15/7) lalu mengamanatkan pembentukan sebuah badan khusus dalam rangka percepatan pembangunan di Papua.

Pembentukan badan yang bernama Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3) itu tercantum dalam Pasal 68A Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Otsus Papua baru.

Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Otsus Papua Komarudin Watubun mengatakan pembentukan BKP3 berangkat dari refleksi Pansus dan Pemerintah bahwasannya selama ini program-program di Papua yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian maupun lembaga tidak selaras.

Oleh karenanya, Komarudin menyebut kehadiran BKP3 diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua.

Secara tersurat, Pasal 68A ayat 1 UU Otsus yang baru menjelaskan bahwa badan khusus yang dibentuk itu bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otonomi khusus dan pembangunan di wilayah Papua.

Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas berpandangan bahwa BKP3 tampak serupa dengan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk pada tahun 2011 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Baca juga: Pembaruan UU Otsus dan upaya sejahterakan orang asli Papua

Ia mengatakan kehadiran badan maupun unit semacam itu sesungguhnya cukup positif untuk memastikan koordinasi di antara para pemangku kebijakan terkait, serta demi mendorong sinergi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota.

Kehadiran UP4B sendiri bermula dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Perpres itu mengatur bahwa pelaksanaan dan percepatan pembangunan dilakukan oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang selanjutnya disebut UP4B.

Dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, memfasilitasi serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Papua menjadi tugas yang diamanatkan kepada UP4B dalam Perpres tersebut.

Regulasi lanjutan berupa Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat lantas menjadi dasar hukum berdirinya UP4B.

Letnan Jenderal TNI (Purn) Bambang Darmono kemudian dipercaya memimpin unit yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden itu.

Dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas UP4B, Pasal 8 ayat 1 Perpres Nomor 66 Tahun 2011 juga mengamanatkan pembentukan Tim Pengarah yang bertugas memberikan arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang dilaksanakan oleh UP4B.

Susunan Tim Pengarah terdiri dari Wakil Presiden sebagai Ketua, dan dibantu oleh tiga Wakil Ketua yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Baca juga: Tokoh: Revisi UU Otsus untuk kesejahteraan rakyat Papua

Tim Pengarah juga terdiri dari 31 anggota yang terdiri dari 21 menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, serta Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan.

Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kepala Badan Intelijen Negara, Gubernur Papua, dan Gubernur Papua Barat juga turut menjadi anggota dalam tim tersebut.

Tim Pengarah berwenang meminta penjelasan kepada UP4B mengenai segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Aksi. Selain itu, UP4B dapat berkonsultasi pada Tim Pengarah bila diperlukan.

Pesan untuk BKP3

Selain dasar hukum pembentukan, BKP3 juga sedikit memiliki perbedaan dengan UP4B secara struktur. Jika Wapres dalam UP4B berperan sebagai Ketua Tim Pengarah, UU Otsus baru mengamanatkan RI-2 untuk memimpin langsung BKP3 sebagai Ketua.

Dalam melaksanakan fungsi BKP3, Wapres akan didampingi oleh tiga anggota yakni Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Men PPN/Bappenas), dan Menteri Keuangan (Menkeu).

Satu yang juga membedakan, Pasal 68A huruf c UU Otsus baru juga menyebutkan bahwa satu orang perwakilan dari setiap provinsi di Papua ditetapkan sebagai anggota BKP3.

Meskipun menilai bahwa kehadiran badan atau unit semacam itu cukup positif, Cahyo Pamungkas menilai pada kenyataannya UP4B menjadi cerminan bahwa kehadiran badan serupa bisa saja tidak akan efektif sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diharapkan.

Menurut peraih gelar Doktor bidang Ilmu Sosial dari Radboud Universiteit Nijmegen Belanda itu, potensi tersebut dapat terjadi akibat persinggungan kewenangan antara UU Otsus dengan UU lain di kemudian hari.

Baca juga: Pengesahan UU Otsus sebagai wujud komitmen pemerintah untuk Papua

Selain itu, Cahyo mengatakan pengakuan dari pemerintah daerah terhadap badan maupun unit tersebut masih menjadi pertanyaan mengingat badan khusus tersebut terbentuk dan berasal dari “atas”.

Cahyo menilai bahwa pada implementasinya, UP4B terbukti kurang berhasil karena justru menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah serta kurang efektif untuk melakukan koordinasi, baik di Jakarta maupun di Papua.

Namun yang patut dicatat, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam Rapat Paripurna UU Otsus mengatakan bahwa pembentukan badan khusus yang diamanatkan regulasi tersebut menjadi bagian dari upaya perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua.

Selain itu, Pasal 68A ayat 4 UU Otsus juga mengamanatkan pembentukan lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua. Komarudin Watubun mengatakan bahwa hal tersebut merupakan simbol kehadiran Istana di Bumi Cendrawasih.

Mengingat UU Otsus telah disetujui untuk disahkan, Cahyo pun berpesan agar badan khusus itu dapat secara efektif mengimplementasikan ketentuan-ketentuan di dalam UU Otsus agar tidak mengulangi kekurangan maupun kesalahan UP4B di masa lalu.

Sementara menurut akademisi Adriana Elisabeth yang juga pernah menjadi Ketua Tim Kajian Papua LIPI, persoalan substansial juga harus menjadi fokus dari BKP3, lebih dari sekadar kehadiran simbolis.

Paling tidak terdapat dua hal yang dapat menjadi cerminan agar BKP3 tidak mengulangi kekurangan UP4B di masa lalu. Pertama, BKP3 dalam melaksanakan tugasnya kelak juga harus didukung oleh orang-orang yang memahami persoalan riil di Papua yang selama ini belum bisa tertangani.

Permasalahan tak kasat mata seperti rasa kekecewaan, ketidakpuasan, dan sebagainya dalam tataran masyarakat Papua juga harus secara cermat diatasi disamping terus memperbaiki persoalan pembangunan fisik, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, serta infrastruktur.

Baca juga: KSP: UU Otsus Papua akselerasi kemajuan kesejahteraan

Kedua, membuka komunikasi dengan lebih banyak mendengar aspirasi masyarakat Papua dibanding memaksakan program-program juga menjadi pelajaran yang dapat diambil dari kekurangan UP4B.

Cara berkomunikasi yang baik dan mendengar berbagai aspirasi yang kemudian diikuti dengan menghadirkan respons tepat dinilainya dapat menjadi hal konstruktif yang bisa dilakukan oleh BKP3.

Ketentuan lebih lanjut mengenai BKP3 sendiri akan dimuat dalam peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang dalam Pasal 75 UU Otsus Papua dinyatakan dibuat paling lambat 90 hari sejak UU disahkan.

Kehadiran BKP3 diharapkan tidak hanya menjadi representasi yang bersifat simbolis semata, melainkan dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan esensi dari upaya percepatan pembangunan di Papua secara konkret.

Sinergi juga menjadi kata kunci yang harus benar-benar dilakukan secara nyata dalam menyelaraskan langkah semua pihak terkait di dalam pelaksanaan UU Otsus demi perbaikan di Papua serta dapat memenuhi aspirasi orang asli Papua.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021