Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat umumnya tetap mempercayai dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, meski Penijauan Kembali (PK) yang dituduhkan kepada mereka oleh Kejaksaan Agung ditolak Mahkamah Agung.

"Penolakan PK itu rekayasa dan membuktikan hukum kita lemah," pandang Patar Kristian, mahasiswa Politik Trisila Dharma, Jakarta, Senin.

Patar yakin Bibit dan Chandra orang yang baik. Dia bahkan merasa mengenal latar belakang kedua punggawa KPK itu sehingga tidak mungkin mereka menyuap atau menyalahgunakan wewenang seperti dituduhkan sejumlah pihak berperkara kepada mereka.

Pernyataan senada disampaikan Andi Subhan dari GAGAK (Gerakan Gantung Koruptor).

"Rekayasa itu benar dan mengecewakan rakyat, karena terbukti hukum kita itu diskriminatif," kata Andi.

Andi bahkan mengaku bahwa dia dan seluruh keluarganya sangat yakin kasus Bibit-Chandra rekayasa belaka, yang dilakukan oleh musuh-musuh KPK.

"Yaitu para koruptor, untuk melindungi kepentingan dan kasus korupsi mereka," tuduh Andi.

Sementara Wasil Umara, mahasiswa UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, menyebut ada tebang pilih dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Wahyu Tanoto, karyawan swasta di Jakarta, mengamini pendapat Wasil, dan menyebut penolakan KPK itu bola panas yang dipolitisasi oleh segelintir kelompok yang merasa kepentinganya diusik oleh manuver hukum KPK.

Wahyu menduga penolakan PK itu adalah pintu masuk untuk memenjarakan dua pimpinan KPK, lalu kemudian melemahkan atau bahkan mendelegitimasi lembaga antikorupsi itu sehingga para tersangkut perkara korupsi melenggang aman dari segala tuntutan hukum.

Wahyu lalu meminta Presiden tegas dengan tidak membiarkan kasus hukum dibiarkan direkayasa.

Ketegasan serupa dimintakan oleh Wasil. "Kita kan dipimpin oleh Presiden SBY. Kalau PK Bibit Chandra saja ditolak berarti ada tebang pilih dihukum kita," katanya.

Dugaan Wasil seirama dengan Susilawati, karyawati swasta yang bekerja di sebuah kantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Perempuan muda ini menilai, karena hukum di Indonesia sangat tebang pilih dan hanya tegak terhadap orang kecil, maka tak ada harapan dan tempat bagi rakyat kecil untuk mempercayai penegakan hukum di negerinya sendiri.

"Di Indonesia, orang yang berani dan jujur malah dijebloskan ke penjara, sedangkan yang terang-terangan korupsi malah dibiarin. Saya sudah lelah melihat kebohongan seperti ini," katanya parau.

Sementara, Darmono, seorang penjual rokok asongan di seputaran Rasuna Said, Kuningan, menyebut Bibit dan Chandra adalah pemberantas korupsi terpercaya di Indonesia.

"Kalau mereka ditangkap atau dipenjarakan oleh musuh KPK, apa lagi yang bisa kita harapkan dari upaya pemberantasan korupsi? Apalagi untuk rakyat kecil seperti saya," katanya repetitif.

Rekayasa Koruptor

Bibit Samad Riyanto sendiri mengklaim dirinya telah berbuat benar dan bertindak dalam koridor hukum.

Mengenai opsi yang mungkin diambil Kejaksaan Agung terhadap mereka, termasuk opsi "deponering" (pengesampingan perkara), Bibit mengatakan dia akan memposisikan diri sebagai obyek pasif.

"Apapun opsinya silakan saja. Yang jelas, saya tidak melakukan itu. Kasus saya adalah kasus yang direkayasa oleh koruptor," tegas Bibit.

Sementara M. Yasin, seorang wakil ketua KPK lainnya, menyampaikan sejumlah hal yang disebutnya sebagai jawaban terhadap penolakan PK oleh Mahkamah Agung itu.

Pertama, demikian Yasin, Bibit-Chandra tetap pemimpin KPK karena sampai saat ini belum ada keputusan yang mengatur pemberhentian sementara Bibit dan Chandra.

Kedua, KPK bukan pihak berperkara sehingga KPK menunggu keputusan Kejaksaan Agung.

Ketiga, perkara Bibit Chandra itu erat kaitannya dengan proses hukum Anggodo, dan yang bersangkutan telah ditetapkan bersalah oleh pengadilan sehingga penyuapan yang dituduhkan Anggodo kepada dua pemimpin KPK itu tidak pernah terjadi.

"Tidak ada bukti dari penyuapan itu dan rekaman juga tidak ada," tegas Yasin kepada pers di Kantor KPK, Jakarta.

Yasin menekankan bahwa penyerahan uang suap yang dituduhkan kepada dua pemimpin KPK itu tidak pernah terjadi, karena Bibit memiliki alibi kuat sedang berada di Peru melaksanakan tugas KPK.

Dia menyatakan, Bibit-Chandra tidak diberhentikan sebagai Wakil Ketua KPK, dan memori PK itu justru menggambarkan kedua wakil ketua KPK itu sedang mengemban tugas.

Mereka berdua, menurut Yasin, tidak menyalahgunakan wewenang karena dengan mencegah Anggoro (tersangkut perkara korupsi) justru Bibit-Chandra sedang menjalankan tugasnya.

Yasin memastikan KPK jalan terus, meski penolakan PK diakuinya mempengaruhi kerja KPK, termasuk penyelidikan dan penyidikan perkara-perkara hukum yang sedang ditanganinya.

"Mau tidak mau penolakan ini menggangu kerja kita," aku Yasin. (*)

editor: Jafar Sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010