Jakarta (ANTARA News) - Ahli Hukum Kelautan Prof Dr Hasjim Djalal, mengatakan, Konvensi Hukum Laut PBB United Nations Convention on Law of the Sea (Unclos) 1982 telah memperluas wilayah laut Indonesia dan kewenangannya serta hak berdaulat atas kekayaan alam, namun Indonesia dituntut untuk mengelola wilayah lautnya.

"Yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelautan ini, diantaranya tentang penetapan berbagai batas laut, khususnya perairan pedalaman, perairan nusantara, laut wilayah, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen," katanya dalam acara seminar TNI AL tentang `Implementasi UNCLOS 1982 Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan, Menjaga Keutuhan Wilayah dan Melindungi Keselamatan Bangsa`, di Jakarta, Rabu.

Selain itu, perlu menetapkan berbagai perjanjian perbatasan dengan negara tetangga, kemampuan memanfaatkan kekayaan laut secara berkelanjutan, mengamankan laut baik dari segi penegakan hukum maupun pertahanan dan mengikuti perkembangan dan implementasi konvensi Unclos 1982 di berbagai forum nasional, regional dan internasional.

"Selama tidak ada batas yang jelas, maka selalu akan terjadi benturan-benturan," katanya seraya mengatakan Unclos 1982 yang telah diratifikasi dengan UU No 17 Tahun 1985 terdapat 70 poin yang harus diimplementasikan.

Menurut dia, dari 70 poin belum ada separuhnya yang diimplementasikan.

Ia mengatakan, di dalam mengimplementasikan itu jangan melampaui tiga pagar yakni pagar pertama, kita sebagai bangsa, kedua kita satu negara dan ketiga kita satu wilayah.

Hasjim mengatakan, perluasan wilayah laut dan udara Indonesia telah menambah resources base Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan ekonomi Indonesia, perluasan hak-hak berdaulat Indonesia atas kekayaan alam di ZEE.

Namun ada kekhawatiran dimana ada perubahan mental bangsa, seperti masayarakat Indonesia tidak lagi berpikir jangka panjang, tetapi hanya berpikir lima tahunan, sehingga tidak tergambar apa yang akan dicapai.

"Dengan adanya beberapa masalah tersebut, maka kemampuan untuk memaksa laut menjadi terbuka sangat besar. Oleh karena itu, kita harus berusaha menutup laut dari kapal asing," katanya.

Menurut dia, tingkat kesiapan Angkatan Laut (AL) Indonesia hanya tingkat berlayar dan tidak untuk bertempur, sehingga akan sulit untuk bisa mengamankan seluruh lautan dalam wilayah Indonesia, baik dalam teritorial maupun dalam ZEE.

"Kita harus berpikir sampai mana laut yang kita amankan. Paling tidak harus sampai ZEE karena dalam hukum laut tidak jelas kedudukan militer di ZEE. Amerika bilang boleh, Cina bilang tidak. Bagaimana jika terjadi latihan militer atau kegiatan intelijen di ZEE," kata Hasjim seraya menambahkan persepsi bangsa Indonesia harus jauh ke depan sebagai upaya mengimbangi Cina, India dan Australia.

Di tempat yang sama, pakar bidang pertahanan dan keamanan, Andi Widjajanto, mengatakan, yang direncanakan pemerintah Indonesia pada 2024 sudah tepat dengan menutup disparitas power di wilayah laut.

"Yang harus dilakukan adalah membuat perencanaaan pasca 2024 karena secara de facto sampai 2024 lautan kita terbuka. Kita tidak bisa mencegah jika Cina dan AS membuka lautan kita," katanya.

Wakil Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Muda TNI Marsetio, mengatakan, semua negara sudah mengakui Unclos 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya, namun masih banyak negara besar yang memiliki lautnya yang meratifikasi Unclos 1982 itu.

"Ini yang menjadi masalah. Apakah ke depannya Unclos tersebut akan dipatuhi oleh negara-negara di dunia?" katanya.

Oleh karena itu, TNI AL bersama semua pihak yang terkait harus bersama-sama membangun persatuan dan kesatuan bangsa, terutama untuk mengamankan wilayah laut.

"Ada 13 stakeholder yang memiliki kewenangan di laut. Kita harus bangun secara bersama-sama," katanya.(*)
(T.S037/A033/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010