Jakarta (ANTARA) - Sehari sebelum memulai petualangan dalam tunggal putri tenis meja melawan Hend Zaza yang masih berusia 12 tahun, atlet tenis meja Austria yang berusia 39 tahun, Liu Jia, mengaku sulit tidur.

Liu Jia lalu menghubungi anaknya yang baru berusia 10 tahun malam itu.

"Tahu enggak ibumu ini akan bertanding melawan orang yang usianya dua tahun lebih tua dari kamu?" tanya Liu Jia kepada putrinya itu.

"Ya ibu jangan sampai kalah," jawab si anak.

Jia langsung menimpali sang putri, "Jangan membuatku tertekan!"

Jia sudah lima kali mengikuti Olimpiade dan menjadi juara Eropa pada 2005 atau empat tahun sebelum Zaza lahir.

Untunglah Jia memupus mimpi buruk dipermalukan si bocah bau kencur. Jia menang straight set 11-4, 11-9, 11-3, 11-5.

Tetapi Jia seperti tidak terlalu bangga atas kemenangan ini. Dia malah menyanjung Zaza.

"Ada orang yang harus menghadapi kesulitan. Mereka ini luar biasa, sungguh tak mudah bagi mereka. Dia juga masih kecil, mengikuti Olimpiade pada usia 12 tahun, dalam hatiku, saya sungguh mengagumi dia," kata Jia seperti dikutip Reuters.

Hari-hari Olimpiade, apalagi hari pertama dan terlebih medali emas pertama entah untuk Olimpiade itu atau medali pertama untuk negara asal Olimpian, selalu istimewa.

Baca juga: China raih emas pertama Olimpiade Tokyo

Dalam Olimpiade Tokyo 2020 ini medali emas pertama tersebut disabet petembak putri China, Qian Yang. Atlet berusia 21 tahun itu menjadi kampiun dalam 10 meter air riffle putri.

Sementara bagi Indonesia, hari istimewa itu hadir manakala lifter Windy Cantika Aisah menyumbangkan medali pertama bagi negaranya dari Olimpiade ini setelah dikalungi medali perunggu dari kelas 49 kg putri.

Namun tak cuma Yang dan Windy bagi Indonesia, yang menjadi sorotan pertama dalam Olimpiade ini. Hend Zaza si bocah ajaib dari Suriah juga mencuri perhatian, walau dia langsung tersungkur pada kesempatan pertamanya.

Adalah cara dia melewati jalan mencapai Olimpiade dan karena tempat dia bermuasal yang membuat dia menjadi terlihat istimewa dalam Olimpiade pertama dalam sejarah yang dimundurkan satu tahun ini. Usianya yang masih sangat belia, kian menebalkan bobot istimewa itu.

Baca juga: Langkah atlet usia 12 tahun, termuda di Olimpiade Tokyo terhenti

Selanjutnya jadi pencapaian
Petenis meja belia asal Suriah Hend Zaza saat beraksi melawan Liu Jia dari Austria pada babak penyisihan Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo Metropolitan Gymnasium, Jepang pada 4 Juli 2021 (ANTARA/REUTERS/LUISA GONZALEZ)


Sudah jadi pencapaian

Sekalipun kalah melawan Liu Jia, anak ini tegar. Dia bahkan mengajak lawannya itu untuk berselfie demi mengenang momen sangat berharga itu.

"Lolos ke Olimpiade Tokyo saja sudah merupakan pencapaian, saya tak diminta untuk menang, saya diminta untuk bermain bagus," kata Zaza kepada Olympics.com setelah pertandingan yang tak akan dia lupakan sepanjang hidupnya itu.

"Di mataku saya sudah mencapai sesuatu. Seorang gadis berusia 12 tahun melawan orang berusia 39 tahun dan merebut sembilan atau sembilan poin, ini sudah pencapaian," sambung dia. "Tentu saja saya ingin menang dan merebut satu atau dua pertandingan. Semoga itu terjadi pada Olimpiade mendatang."

Zaza adalah atlet termuda dalam Olimpiade 2020 dan atlet ketiga paling muda yang pernah mengikuti Olimpiade. Pertama adalah atlet senam Yunani bernama Dimitrios Loundras yang saat mengikuti Olimpiade Athena 1896, usianya baru 10 tahun. Dia memenangkan perunggu beregu senam.

Yang kedua Carlos Front, atlet dayung Spanyol yang ketika mengikuti Olimpiade Barcelona 1992 berusia 11 tahun.

Masih ada yang lebih muda lagi, tapi ini terjadi pada Olimpiade Musim Dingin, yakni atlet seluncur indah Beatrice Hustiu yang berusia 11 tahun ketika berlomba dalam Olimpiade Musim Dingin 1968.

Tapi yang membuat Zaza lebih menarik adalah asalnya yang dari tempat yang hingga kini masih diamuk perang. Dia bisa menembus Olimpiade dalam usia yang begitu muda dari negara yang sejak 2011 digulung perang yang nyaris tidak menyisakan apa-ap-apa untuk rakyatnya.

Sebanyak 6,8 juta warga Suriah dipaksa mengungsi ke banyak tempat di dunia, sedangkan 6,7 juta lainnya terusir dari tempat tinggalnya.

Baca juga: Warga Suriah mendamba damai setelah tujuh tahun konflik

Kota-kota mereka yang umumnya simbol peradaban manusia, hancur lebur tinggal puing, termasuk Hama di mana Hend Zaza dilahirkan.

Di kota ini pula Zaza jatuh cinta kepada tenis meja, dan terus mendalaminya dalam gairah tinggi Federasi Tenis Meja Internasional (ITTF) menemukan bakat ping pong yang fantastis dari si gadis kecil.

Sejak usia lima tahun atau pada 2014, tepat tahun keempat Suriah memasuki perang saudara super brutal yang melibatkan banyak negara, Zaza mulai bermain tenis meja.

Dia kerap bermain tenis meja di rumahnya di bawah hujan artileri yang setiap saat menyapa Hama dan kota-kota lain di Suriah.

Tetapi tenis meja sudah menjadi tambatan dia dan keluarganya dalam mencari kesenangan dan juga harapan di tengah kejamnya perang.

Baca juga: PBB: 7.000 lebih anak menjadi korban konflik di Suriah

Selanjutnya penuh ambisi
Atlet tenis meja belia Hend Zaza (kiri) dan Ahmad Saber Hamcho menjadi pembawa bendera Suriah saat parade atlet dalam upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Olympic Stadium, Tokyo, Jepang pada 23 Juli 2021 (ANTARA/REUTERS/MIKE BLAKE)


Penuh ambisi

Zaza anak yang penuh ambisi. Dia suka Harry Potter. Ding Ning yang tiga kali menjadi juara tenis meja Olimpiade adalah idolanya. Cita-citanya adalah menjadi pengacara atau apoteker.

Sejak kecil atlet tenis meja pertama Suriah yang lolos ke Olimpiade ini sudah mempesona seluruh negeri, dengan menjuarai semua kategori umur tingkat nasional.

Padahal Hama, kota di mana dia tinggal yang selalu digempur bom dan artileri itu, tak punya fasilitas yang layak. Namun Zaza terus berlatih dan fokus bertenis meja bersama abangnya.

Pada 2016, bersama abangnya itu juga, dia bertualang ke West Asia Hopes Week and Challenge di Qatar.

Di sana, dia bisa berlatih bersama pemain-pemain senior dan sekaligus berkesempatan unjuk kebolehan.

Zaza lalu memperoleh tempat guna turut bertanding dalam World Hopes Week and Challenge itu. Dari turnamen ini pula dia “ditemukan” Eva Jeller, seorang pejabat ITTF.

“Saya jarang sekali melihat pemain seusia dia yang bermain segembira itu dan berlatih setekun Zaza. Dia tak pernah menjemput bola dengan berjalan, selalu berlari. Meski tentu saja tekniknya masih perlu ditingkatkan lagi, determinasi, daya tahan dan kemauannya untuk bermain dan menang menjadi jaminan sukses pada masa mendatang,” kata Jeler dalam laman ITTF.

Meja ping pong yang sudah usang, lantai beralas beton, listrik yang sering mati sehingga atlet lebih sering mengandalkan cahaya matahari saat berlatih padahal siang hari suhu bisa mencapai 40 derajat Celsius ke atas, sungguh tantangan yang tak ditemui olimpian-olimpian lain.

Dan itu masih ditambah berbagai aturan pembatasan terkait COVID-19 yang juga berlaku di Suriah.

Jadi, betapa sulitnya situasi yang dihadapi Zaza, apalagi usianya baru 12 tahun. Tetapi semua itu tak membuat dia berhenti mengayunkan bet ping pong, sampai bet itu pula yang membawa dia unjuk gigi di luar negeri.

Pada Februari 2021, dia menjuarai Turnamen Kualifikasi Olimpiade Asia Barat di Yordania. Dia menjadi juara di sini dan tiket ke Tokyo 2020 pun diserahkan kepada dia.

“Kami mampu mengatasi segala hambatan. Kami ingin menunjukkan bahwa sekalipun kami di tengah perang, kami harus berbuat sesuatu,” kata Zaza.

Ya, pada usianya yang masih sangat belia, Zaza berhasil menghidupkan mimpi Olimpiade.

Dia memang kalah dalam Olimpiade pertamanya ini, namun petenis meja berperingkat 46 dalam kategori U-13 tunggal putri ITTF itu telah membuka jendela harapan untuk kaum muda di seluruh dunia yang bertekad bangkit dari situasi-situasi nyaris mustahil.

Baca juga: Atlet tenis meja India berlatih di rumah dengan robot
Baca juga: Kejuaraan dunia tenis meja beregu ditunda karena virus corona
 

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021