'climate actions' memerlukan kebijakan strategis dan kerja sama pembiayaan antarpemangku kepentingan di tingkat nasional dan global
Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan Indonesia menempatkan adaptasi pada posisi sama penting dengan mitigasi untuk pengendalian perubahan iklim dalam pertemuan tingkat menteri menjelang Conference of Parties 26 (COP26) perubahan iklim PBB.

Siti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, mengatakan dalam pertemuan "The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC" pada 25-26 Juli tersebut, telah disampaikan bahwa Indonesia menempatkan agenda adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi dalam aksi-aksi pengendalian perubahan iklim.

Indonesia juga telah menetapkan Peta Jalan Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030 yang tertuang dalam dokumen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC).

“Dalam implementasinya, kami juga melibatkan peran aktif masyarakat di antaranya melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), Ekoriparian, restorasi ekosistem mangrove dan agroforestri perhutanan sosial sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Kami juga melibatkan dan mengintegrasikan program kerja kementerian/lembaga dan subjek sektoral ke dalam program ini, termasuk bekerja sama dengan pemerintah daerah, sektor swasta, tokoh lokal dan masyarakat di tingkat tapak,” katanya.

Ia menegaskan Indonesia mempunyai komitmen tinggi terhadap adaptasi perubahan iklim. Beberapa hal terkait dengan kebijakan, program, pedoman, perangkat, dan aksi-aksi yang telah dilakukan dalam hal adaptasi perubahan iklim, disampaikan untuk menunjukkan bahwa Indonesia "led by example".

Baca juga: Keberhasilan Indonesia di COP26 menopang kepemimpinan di G20

Oleh karena itu, kata Siti, Indonesia mengharapkan hasil dari COP26 yang akan dilaksanakan di Glasgow, Inggris, pada 1-12 November 2021 adalah adanya kesepakatan negara-negara dalam hal tujuan dari Global Goal Adaptation (GGA).

Dalam pertemuan hibrid yang dilaksanakan Pemerintah Inggris selaku tuan rumah COP26 Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) itu, Menteri Siti juga menyampaikan harapannya terkait dengan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan prediktabilitas pendanaan untuk adaptasi. Hal itu juga termasuk meningkatkan aksesibilitas pendanaan untuk aksi lokal.

Sebagai negara berkembang yang besar, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, katanya, tentunya Indonesia membutuhkan sumber daya yang besar.

“Saya ingin menggarisbawahi bahwa 'climate actions' memerlukan kebijakan strategis dan kerja sama pembiayaan antarpemangku kepentingan di tingkat nasional dan global. Oleh karena itu, kami terus mendorong agar mendapat dukungan yang kondusif untuk meningkatkan pendanaan iklim, termasuk melalui kebijakan fiskal dan meningkatkan akses ke keuangan global,” ujar dia.

"The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC" yang berlangsung secara hibrid selama dua hari itu terselenggara untuk memberikan kesempatan kepada para menteri lingkungan hidup di negara-negara pihak untuk berkumpul dan membahas penyelesaian poin-poin krusial untuk disepakati dalam COP26 di Glasgow nanti. Agenda pertemuan tersebut fokus membahas topik meningkatkan adaptasi, menjaga agar 1,5 derajat Celsius tetap hidup, kerugian dan kerusakan, menyelesaikan "Paris Rulebook" khususnya Pasal 6 dan mobilisasi keuangan untuk mengendalikan perubahan iklim.

Baca juga: Jika manfaatkan karbon biru, RI berpotensi jadi negara adidaya iklim
Baca juga: UNFCCC tunda KTT Perubahan Iklim hingga 2021
Baca juga: Indonesia dan Inggris bahas persiapan gelar dialog FACT pada COP26

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021