Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terus mendorong pengembangan skema baru pendanaan untuk mendukung upaya mitigasi bencana atas dampak perubahan iklim.

"Saat ini pemerintah telah berhasil mendorong pengembangan skema baru termasuk blended finance dalam mendukung pendanaan dan pembiayaan perubahan iklim, misalnya: green sukuk, fasilitas de-risking untuk menarik investasi swasta dalam proyek infrastruktur yang berdampak pada perubahan iklim, dan green financing serta platform SDG Indonesia One," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.

Luhut menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional (Rakorbangnas) BMKG bertajuk "Info BMKG Kawal Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh", Kamis.

Ia menjelaskan, sumber pendanaan dengan skema baru itu dapat digunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menyesuaikan agenda pembangunan guna menghasilkan lompatan layanan informasi yang cepat, tepat, akurat dan luas jangkauannya.

"Peningkatan kecepatan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami dari 5 menit menjadi 3 menit sebagaimana diamanahkan dalam RPJMN 2020-2024 harus dapat diwujudkan demi meminimalisir potensi bahaya yang dapat mengancam jiwa manusia," tegasnya.

Luhut menegaskan bahwa pemerintah sangat menaruh perhatian kepada masyarakat dan wilayah yang terkena dampak perubahan iklim.

Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk mengantisipasi hal tersebut. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pengeluaran untuk aksi perubahan iklim mencapai Rp86,7 triliun per tahun. Sekitar 76,5 persen dari anggaran tersebut dimanfaatkan untuk aksi mitigasi dan lintas sektor, dan 23,5 persennya digunakan untuk mendanai aksi adaptasi.

Pengeluaran pemerintah untuk perubahan iklim hanya mencakup 34 persen dari total kebutuhan pembiayaan iklim per tahun. Indonesia secara konsisten mengalokasikan sekitar 4,1 persen untuk aksi perubahan iklim.

Luhut juga menyebutkan salah satu dampak kondisi iklim global adalah banjir rob. Sekitar 112 kabupaten/kota yang tersebar di Pesisir Pantai Timur Sumatera, sebagian Pesisir Pantai Barat Sumatera, Pesisir Pantura, Pesisir Kalimantan, sebagian pesisir Sulawesi dan Papua terindikasi telah mengalami kejadian banjir rob.

Adanya banjir rob juga diperparah dengan munculnya fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) yang sebagian besar terjadi di pesisir Pantai Utara Jawa antara lain Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Demak.

Luhut menyebut potensi kerugian akibat banjir rob ditaksir melebihi angka Rp1.000 triliun. Biaya tersebut harus dikeluarkan untuk pembuatan tanggul pantai dan laut, peninggian infrastruktur dan bangunan pesisir hingga biaya relokasi.

Selain itu banyak lagi fenomena lainnya karena adanya perubahan iklim yang cukup drastis. Kenaikan permukaan air laut, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi pada pulau-pulau di Indonesia yang memang sangat rentan karena kondisi geografisnya.

"Fenomena alam memang tidak dapat dihindari, namun dapat kita cegah dan kurangi dengan menjaga sumber daya alam yang kita miliki. Saat ini pemerintah berupaya untuk merehabilitasi lahan kritis mangrove seluas 620.000 hektare dengan target selesai pada tahun 2024," sebutnya.








 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021