Kupang (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) Nusa Tenggara Timur, Abraham Paul Lyanto, meminta Malaysia untuk bersikap tegas menentukan pencabutan moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI bidang penata laksana rumah tangga.

"Malaysia nampaknya masih mengambang dalam menentukan pilihan, apakah moratorium yang telah dilakukan sejak Juni 2009 itu dicabut kembali atau dibiarkan dalam ketidakpastian," katanya di Kupang, Kamis.

Menurut dia, sikap pembiaran dari pihak Malaysia ini perlu ditelusuri motivasi dibalik ketidakseriusan itu.

"Mungkin saja kebutuhan akan tenaga Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) lebih baik didatangkan secara ilegal karena akan sangat menguntungkan dan bebas dari klaim Indonesia, apabila terjadi persoalan terhadap TKI tersebut ataukah ada motivasi lainnya," katanya.

Lyanto yang juga anggota Komite II DPD RI ini mengatakan motivasi tersebut bisa saja ada benarnya, jika dilihat dari jumlah calo TKI di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia semakin besar akhir-akhir ini dan diikuti jumlah TKI ilegal yang dari hari ke hari semakin bertambah banyak.

Berdasarkan data yang dimilikinya, hingga September 2010 realiasi penempatan TKI dari NTT ke luar negeri baru mencapai 4.000 dari target 10.000 orang.

Namun kenyataannya yang ada menunjukkan saat ini jumlah TKI yang ada di luar negeri melampaui realisasi dan target tersebut karena masih lemahnya aspek pengawasan dari pihak-pihak yang berkompeten.

Dia mengatakan dari hasil evaluasi yang dilakukan kalangan pengusaha penempatan TKI menyebutkan, sedikitnya 20.000 TKI ilegal berangkat ke Malaysia setiap bulan selama moratorium.

"Kalau para pemangku kepentingan tidak tegas dengan menindak arus TKI ilegal tersebut, lama-lama perusahaan yang legal pun akan ikut tercebur (mengirim ilegal). Kami selalu siap bekerja sama dengan pemerintah membenahi penempatan dan perlindungan TKI, baik di dalam negeri maupun di luar negeri," katanya.

Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi Malaysia yang tinggi dan program pembangunan fisik yang sedang giat dilaksanakan membutuhkan banyak pekerja asing. Sedikitnya 68 persen pekerja asing di Malaysia adalah TKI.

Iming-iming upah tinggi dan keterbatasan lapangan kerja domestik membuat jutaan orang bekerja ke Malaysia.

Calo di Malaysia menggunakan jaringannya di pedesaan untuk merekrut calon TKI pembantu rumah tangga dan segera menjemput jika sudah terkumpul beberapa orang.

Permintaan pembantu rumah tangga di pasar pekerja asing Malaysia sangat tinggi. Lagi-lagi, faktor budaya dan agama membuat warga Malaysia lebih senang mempekerjakan TKI daripada pekerja dari India, Nepal, Myanmar, atau Filipina.

Agen pekerja asing memanfaatkan peluang ini dengan menetapkan biaya sepihak. Calon majikan harus membayar jaminan 2.500 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 7,5 juta kepada agen.

"Saat pengguna jasa telah memilih pembantu rumah tangga, dia harus membayar komisi pada agen 6.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 18 juta. Sebelumnya, hanya 3.500 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 10,5 juta per orang," katanya.

Menurut Lyanto, bagi sebagian besar warga Malaysia, terutama pasangan yang sama-sama bekerja, mempekerjakan pembantu rumah tangga sangat penting. Namun, ketergantungan yang tinggi terhadap TKI tidak berbanding lurus dengan tingkat upah.

Sebagian besar TKI pembantu rumah tangga masih berusia sangat muda dan minim pengalaman, sehingga mudah dieksploitasi. Keterbatasan pengetahuan dan tekanan ekonomi membuat hak-hak para TKI itu banyak dilanggar.

"TKI pembantu rumah tangga menerima upah 300-450 ringgit Malaysia atau Rp 900.000-Rp 1,3 juta per bulan. Saat ini, KBRI Kuala Lumpur hanya bersedia memperpanjang kontrak kerja TKI sektor domestik bila majikan bersedia membayar gaji di atas 600 ringgit atau sekitar Rp 1,8 juta per bulan," katanya.

Ia mengatakan sekalipun upah rendah dan terjadi tindakan eksploitasi, namun arus pergerakan TKI terutama TKI ilegal ke luar negeri terutama Malaysia sangat tinggi, mencapai dua juta orang lebih.

Karena itu, para pemangku kepentingan yang terkait dengan penempatan dan perlindungan serta pengawasan terhadap TKI sebaiknya berkoordinasi untuk mengurangi bahkan menghentikan mafia tersebut, sehingga tidak merugikan TKI, perusahaan TKI, terutama negara Indonesia. (ANT-084/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010